Miran, berjongkok di antara ilalang. Seolah menjauhkan diri dariku. Dia sama sekali tidak bicara apa-apa setelah pulang dari rumahnya.
Ibu Miran, seperti dugaan terbesar, tentu saja menangis terus, bahkan sampai aku pulang. Beliau tidak berhenti dari sesengguknya sampai setengah jam bahkan mungkin lebih, sebelum akhirnya memberikanku pelukan lagi. Beliau tidak bicara lagi setelah pesannya itu, dan tentunya, mulai mengalihkan pembicaraan tentang Miran. Tentang bagaimana putranya itu selalu membanggakan. Aku tau bahwa itu hanya sebuah upaya untuk memulihkan hatinya yang belum benar-benar pulih.
Sementara Miran di waktu yang sama, berdiri menghadap jendela, menjauhi kami. Aku tidak bisa melihat rautnya, dan aku bisa pastikan ia menangis meski aku tidak tau apa ia bisa menangis. Kemudian setelah dua jam aku menemani ibunya dengan mendengarkan ceritanya yang sejujurnya aku tertarik sekali, Miran memberi isyarat untuk pergi.
Dan di sinilah kami. Sebuah taman dengan ilalang yang tumbuh subur dan sebuah danau yang tenang. Miran memintaku berhenti di sini saat perjalanan pulang, dan membiarkan supir taksi menurunkan kami. Aku menuruti permintaannya itu. Hatinya pasti masih terluka sekali.
"Miran?"
Tidak ada jawaban. Dia pasti melamun.
Aku menyeret krukku mendekatinya, berjalan perlahan untuk menghampirinya.
"Diam di sana. Jangan kemana-mana. Disini licin. Aku tidak mau kamu jatuh."
Aku spontan berhenti. Dan Miran kemudian beranjak dari tempatnya dan menghampiriku, dengan tatapan yang kosong. Aku jadi kembali ke bangku tempat aku duduk sebelumnya.
"Miran, maafkan aku...."
"Maaf untuk apa?" Akhirnya, setelah berjam-jam aku bisa melihat matanya lagi.
"Maaf membuat ibumu terluka"
"Tidak. Aku yang melukainya. Aku yang.... aku yang membuatnya sakit," Miran membuang mukanya sekarang.
Andai aku bisa memeluknya.
"Duduklah Mir. Kami mau aku lakukan sesuatu untukmu?"
"Tidak. Tetap saja di sini. Aku akan duduk di sampingmu," katanya kemudian duduk.
Hening panjang. Hanya ada suara kicau burung dan suara desir angin di antara kami. Baik aku dan Miran seolah enggan memecah keheningan. Tapi aku tidak bisa terus diam dan membuatnya bungkam juga. Aku harus mencari sesuatu untuk dibincangkan dengannya.
"Mir, pagi itu apa yang memangnya kamu lakukan?"
Miran menoleh ke arahku, bingung, "apa yang aku lakukan? Tidak ada."
"Untuk orang yang tepat itu.... apa memang yang sudah kamu lakukan?" Aku tau. Aku tau ini bukan sesuatu yang pantas aku ungkit. Aku hanya tidak tahan dengan hal ini.
"Aku...." Miran terdiam. "Aku berbuat apa... aku... memeluk orang yang kucintai sebelum meninggal," katanya.
"Di sekolah? Wah.... berani sekali."
Miran tersenyum, "tapi kan tidak ketahuan. Tapi aku tau Bunda tau. Maka dari itu aku bilang begitu tadi padanya."
"Bundamu tau darimana? Bukankah setelah itu kamu tertim.....pa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Samira dan Ujung Waktu Miran
Teen FictionSamira tau bahwa Miran mencintainya sedemikian rupa. Samira juga tau bahwa Miran dengan segala upayanya berusaha membuatnya untuk jatuh cinta juga. Tapi Samira tidak tau, waktunya tidak banyak.