Tiga

13 2 0
                                    

Sofi sudah duduk disampingku begitu mendengar aku menjerit lagi. Pukul 6 pagi, sekilas aku melihat ke arah jamnya yang terlalu besar untuk pergelangannya yang kecil itu. Wajahnya suntuk sekaligus mengantuk dan mulutnya manyun, pertanda sedang kesal, "kamu dalam sehari sudah menjerit dua kali. Ada apa?"

"Ada apa? Apa kau tak lihat ada hantu?" Bentakku. Aku, menutup seluruh wajahku dengan kedua tangan serta berusaha menghilangkan bayangan Miran yang muncul lagi di mimpiku. Begitu nyata ketika kurasa ia meraih tanganku.

Semalam, entah apa yang kulihat. Sosok yang berdiri menghadap jendela sambil tersenyum hangat kearahku. Ah hangat apanya! Aku justru ketakutan. Apalagi saat ia memperkenalkan namanya adalah Miran. Astaga bulu kudukku terasa berdiri sekarang.

"Aku tidak lihat apapun!" Balasnya. Sambil duduk di kursi sebelahku. Ia menyodorkan minum kepadaku dan aku menolaknua lembut.

"Aku melihat orang yang baru saja dikuburkan kemari—"

Ucapanku mendadak terhenti saat aku melihatnya lagi. Miran, sekali lagi. Sosoknya itu masuk lewat pintu yang separuh terbuka itu kemudian keluar ruangan. Seolah tidak ingin datang saat ada Sofi disana. Haruskah aku mengatakan pada Sofi bahwa ada orang yang sudah meninggal datang menjengukku? Astaga itu konyol. Tapi begitulah kenyataannya.

"Ada apa?" Ulang Sofi, sambil memandang ke arah aku memandang.

Aku menghela nafas berat, "aku diteror."

"Astaga kamu ini sudah kelas 2 SMA dan masih bicara seolah kamu masih kelas 2 SD. Teror apa yang berhasil menembus keamanan rumah sakit?" Katanya sambil memberi senyum mengejek.

"Aku serius Sof. Urusanmu untuk percaya atau tidak," kataku sebelum akhirnya dipotong oleh suara pintu dibuka.

Jantung berdegub kencang. Apa jangan-jangan itu Miran. Tapi bagaimana mungkin seorang makhluk bisa menyentuh benda? Ah bahkan selama bertahun-tahun aku tidak memercayai keberadaan hantu tapi dalam semalam, hidupku seolah terbalik.

"Keterlaluan."

Suara Ibu. Ini lebih menyeramkan. Sosoknya menyembul dari balik pintu dengan pakaian yang sudah berbeda dengan yang dikenakannya saat pergi kemarin. Wajahnya merah padam, tampak marah. Sepertinya ada yang membicarakan padanya tentang kepergianku kemarin sore.

"Kamu pergi. Bukankah begitu, Nona Samira?"

Aku terkesiap. Ibuku menggunakan 'nona', sebuah kata-kata yang hanya dikatakannya saat marah padaku. Sosok ibuku berubah sangar dan tidak kukenali meski wajahnya tetap wajah Ibu.

"Ibu, sudahlah. Aku sedang tidak ingin berdebat," aku membuang muka.

"Kalau kamu tidak ingin berdebat dengan Ibu, tidak seharusnya kamu pergi tanpa izin pada Ibu. Setidaknya izinlah pada Sofi," bentak Ibu

"Ibu tidak mengerti!" Aku berusaha berkilah.

"Apa yang tidak Ibu mengerti?" Ibu membalas bentakku dengan nada lebih tinggi, "apa? Apa yang tidak kumengerti, Nona?"

Aku hendak membuka mulut sampai akhirnya aku melihat kembali sosok Miran berdiri agak jauh di belakang Ibu, sosoknya itu menempelkan telunjuknya dibibirnya sambil menggeleng.

"Tidak ada," jawabku, mengikuti isyarat Miran dengan ketakutan. Takut dengan sosok Miran.

Aku membuang muka, berusaha menghilangkan ilusiku tentang Miran sambil mengalihkan pandangan ke arah Ibu memandangku dengan tatapan tajam sebelum akhirnya beranjak meninggalkan tempatnya dan duduk di sofa, "Ibu lelah. Kamu pikir akan mudah bagi Ibu untuk berbicara denganmu dengan nada tinggi?" Dari tempatnya, Ibu memandangku sambil menghela nafas panjang, "hari ini Ibu akan disini sampai nanti pukul 8. Sof, kamu bisa beristirahat selama ada aku disini," kata Ibu.

Selama ada aku disini. Seolah-olah Ibu akan disini selama seharian. Omong kosong sekali. Sofi kemudian pergi

Aku memandangi Miran yang memandang kearahku sebelum akhirnya berjalan kearah sofa. Duduk di sebelah Ibu Dan sialnya, Ibu tidak memberikan respon apapun.

"Bu, apa Ibu tidak merasakan apapun?" Kataku pelan. Masih menatap Miran yang sedang menatapku juga sambil memberi senyum lebar. Dia tampan, tapi mana bisa sebuah ilusi kukatakan tampan?

"Tidak," kata Ibu, "memang apa yang harus Ibu rasakan? Hanya ada lelah," kata Ibu kemudian merebahkan tubuhnya. Dan kakinya itu...... menembus tubuh Miran.

Miran. Adalah. Hantu.

Aku menatap mata hantu itu lekat-lekat. Dan hantu itu menatapku balik, seolah tidak sadar bahwa kedatangannya itu mengganggu.

"Ah iya Ibu harus mengambil berkas Ibu di mobil. Ibu tinggal sebentar jangan kemana-mana," tiba-tiba Ibu bangkit dan beranjak meninggalkan sofa. Sementara hantu itu tetap disana. Begitu Ibu keluar dari ruangan, aku kembali memandanginya.

"Kenapa kamu memandangiku seperti itu?" Kata 'sosok' Miran di hadapanku.

Aku membuang muka, dan meraih sesuatu di meja. Sebuah sendok aluminium yang kemudian kulemparkan ke arah hantu itu. Sendok yang malang itu menembus tubuh Miran.

"Heihei, kenapa? Kenapa kamu melempar barang kearahku?"

"Menurutmu?" Tanyaku sambil melempar garpu kearahnya.

Dia langsung beranjak dan berdiri tepat di depan kasurku, "kenapa? Ada yang salah denganku?"

Aku melempar sebuah tisu saku kearahnya. Dan reaksinya masih datar, "hentikan" katanya pelan, "apa aku menakutimu?"

"Dasar sinting!"

Miran membuang muka, "aku datang dengan baik. Kenapa kamu malah memusuhiku?"

"Karena kamu sudah mati. Miran sudah mati. Dan kamu pasti bukan Miran!"

"Sayangnya aku memang Miran. Kenapa tidak boleh aku datang? Aku menjengukmu. Kamu sedang sakit. Apa sebuah kesalahan menjenguk teman yang sedang sakit?"

"Kamu bukan temanku. Baik kamu, ataupun Miran yang masih hidup."

Hantu itu berjalan mendekat kearahku, dan aku tentu saja bergerak menjauhinya, dan tangannya terulur kearahku, "kalau begitu mari berteman," katanya tanpa menunjukkan wajah yang menyesal.

"Jangan konyol!"

Dia masih mengulurkan tangannya seolah-olah aku harus menyalami tangannya yang tidak nyata itu, "dengar Miran, kamu sudah mati. Dan aku mengenalmu. Aku tidak perlu menjadi temanmu untuk tau siapa kamu. Kamu cukup terkenal untuk menjelaskan siapa kamu dihadapanku. Lebih baik kamu datangi keluargamu dan jelaskan bahwa kamu masih hidup," kataku.

"Aku sudah mati, Samira. Aku tidak hidup," katanya. Suaranya mengecil dan terdengar lesu.

"Kalau begitu pergilah! Kamu menggangguku. Kamu menakut-nakutiku," Bentakku.

"Aku butuh bantuanmu—"

"Aku tidak ingin memberimu bantuan," selaku. Astaga aku pasti melukainya. Tapi sungguh aku sedang menutupi rasa takutku.

"Samira, kumohon. Aku butuh bantuanmu. Mungkin ini akan sedikit membahagiakanku. Setidaknya sangat. Bukan sedikit,"

"Aku tidak mau. Aku tidak mau nenolongmu. Kamu bisa minta tolong ke orang lain. Ke orang yang bisa melihat dan mau menerima permintaan konyol dari seorang hantu."

"Kumohon. Aku hanya bisa meminta ini darimu," katanya pelan, "kumohon," katanya lagi dengan suara lebih pelan.

Aku menatapnya tak percaya. Menatap Miran dengan wajah panjangnya, dan hidungnya yang nyaris sempurna itu. Menerka-nerka lagi bahwa sosok yang mungkin saja primadona itu sudah mati. Dan sosok itu sedang berdiri memelas dihadapanku untuk meminta bantuan.

Aku menghela nafas berat, "memang apa yang bisa kulakukan untukmu?"

Wajahnya yang awalnya memelas itu berubah jahil, senyumnya mengembang lebar, "aku tidak bisa memberi tahukan semuanya sekarang, tapi sungguhan kamu mau menolong?"

Aku mendecak, "sudahlah jangan banyak bertemu lagi. Itu malah membuatku berubah pikiran. Tapi, sepertinya akan adil kalau aku juga bisa mendapat sebuah balasan atas pertolonganku," kataku.

Hantu Miran itu memandangiku dengan tatapan pertimbangan,  lalu tersenyum lagi seolah segala masalah dapat selesai dengan senyumnya saja,"aku bisa membuatmu bahagia."
_________

Samira dan Ujung Waktu MiranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang