Enam

7 0 0
                                    

Rafael langsung turun dan membantuku naik ke mobil. Sebelum aku berterima kasih, ia sudah langsung berputar menuju tempat kemudi. Sementara Miran aku lihat duduk di seat tengah tepat di belakang Rafael.

"Hai. Aku lama ya?" Kata Rafael yang sedang sibuk memasang sabuk pengamannya.

"Enggak kok. Terima kasih ya sudah mau jemput. Ngomong-ngomong ini kamu mau kemana?"

Rafael melempar senyum sambil fokus terhadap jalanan, "yaa seperti biasa lah, persiapan buat tanding. Latihan," kata Rafael yang disusul tawanya yang renyah, "kamu mau kemana? Kok kayaknya tegang gitu? Buru-buru gitu?"

"Aku mau ke...." aku mendadak diam karena sejatinya aku tidak tau betul alamat rumah Miran. Aku menoleh ke belakang, ingin bertanya tapi tentunya itu akan menjadi hal yang sangat bodoh. Sudah pasti Rafael tidak dapat melihat keberadaan Miran.

"Samira?"

"Ah iya?" Kataku kaget.

"Kamu mau kemana?" Tanya Rafael.

"Ngg... sebentar aku...." Aku benar-benar tidak tau mau jawab apa. Dengan ponsel di tanganku, aku pura-pura sibuk. Memainkan layar ponsel seolah-olah mencari sesuatu di salah satu pesan masuk.

Perjalanan berlalu dengan keheningan dan arah tujuan yang tidak jelas. Kesulitan seolah-olah datang dari banyak cara. Aku memutar tubuh ke belakang dan pura-pura merenggangkan punggung, lalu mendapati Miran masih di tempatnya. Sebelum kembali ke posisi semula, aku melemparkan kode padanya, tapi ia hanya memberiku tatapan bingung.

Dasar hantu aneh. Atau justru akulah yang bodoh. Huft.

"Mau kemana sih? Rumah? Atau gimana? Biar aku pake maps kalau kamu gatau jalannya."

Aku memberi senyum kecut. Aku mungkin tau arah jalannya. Sayangnya aku tidak tau alamatnya! Satu-satunya cara yang paling realistis adalah bertanya pada hantu menyusahkan di belakang kami itu. Andai aku bisa menelepon Kalista supaya mendapat alamatnya dengan cepat.

Telepon?

Aku langsung memainkan layar ponsel, berpura-pura menekan nomor, lalu meletakkan hp di telingaku, seolah-olah ada sambungan di sana, "halo? Pak? Pak Ran bisa dengar saya?"

"Apa yang kamu lakukan, Mir?" Bagus sekali, sahutan dari Miran. Hantu bisa peka juga rupanya.

"Ah iya Pak. Ini saya tidak tau alamat tujuan Bapak. Bisa saya minta alamatnya?" Kataku, dengan suara lebih kencang.

Miran yang menyebalkan itu tertawa, sebelum akhirnya menyebut alamatnya dengan jelas. Menyebalkan sekali dia harus membuatku terlihat bodoh begini.

"Terima kasih Pak. Mohon nanti kalau bertemu saya ingin bicara khusus. Terima kasih sekali lagi," kataku kemudian berpura-pura memutus sambungan.

"Jadi kemana?"

Aku menyebut alamat yang sebelumnya didiktekan Miran, lalu Rafael menyahutinya dengan anggukan seolah tau jelas tujuan kami, dan kembali fokus dengan kemudinya.

Aku menoleh sedikit dan memandang Miran dari bahuku, dia sedang terkikik. Dan menjulurkan lidah menghinaku.

Ingin kumasukkan saja dia ke botol!
***

Aku terbangun saat mendapati tubuhku diguncang-guncang. Aku juga mendapati Rafael dengan jarak yang sangat dekat. Aku tertidur rupanya. Dan Rafael sedang berusaha membangunkanku.

"Maaf aku melewatkan perjalanan dengan tidur, Raf," kataku setengah sadar.

"Bukan masalah. Kamu kelihatan belum pulih betul. Kita sudah sampai. Benar ini rumahnya?" Tanyanya.

Samira dan Ujung Waktu MiranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang