Sehari Sebelum Tempur

5.1K 197 17
                                    

Langit sangat jernih. Warna birunya berkilauan memikat hati siapapun yang melihat. Posisi matahari pun semakin tinggi sejak kemunculannya dua jam yang lalu.

"Mel, kita harus berangkat, maksimal sepuluh menit lagi ya kalau ngga mau telat," suara dengan nada berat yang berasal dari balik kamarku terdengar cukup jelas.

Mel, begitulah orang-orang memanggilku, penggalan dari Melanie Renata. Cewek biasa yang tinggi badannya 170 cm. Kata orang badanku kayak model, tapi aku ngga peduli. Aku lebih mentingin isi kepala dibanding cover-nya.

"Oke," aku menjawab sekenanya sambil sedikit berteriak agar terdengar sampai ke balik pintu yang tertutup rapat. Aku menatap cermin. Memastikan penampilanku sudah oke. Biasa, cewek. Blus putih lengan pendek, jeans panjang hitam, arloji Rolex warna perak. Sip, sudah siap.

Setelah keluar kamar, aku menuruni tangga dengan sedikit berlari, tapi tetap hati-hati. Tangga langsung terhubung dengan ruangan luas dengan langit-langit tinggi dilengkapi furnitur berukuran besar bergaya modern kontemporer. Ruangan didominasi dengan warna coklat terang pada dindingnya, dilengkapi jendela-jendela tinggi yang tersusun beraturan, dan dihiasi tirai yang warnanya senada. Lantainya terdiri dari marmer berwarna putih tulang dengan gurat-gurat cokelat.

"Mel, kamu ngga sarapan?," suara lembut memanggilku dari arah belakang.

Kubalikan badanku dan menemukan sang pemilik suara berada disana. Menanti responku. Rambutnya yang setengah ikal dibagian bawah dibiarkan tergerai. Kulitnya yang halus terlihat dibagian yang ngga tertutup blus warna pastel. Rok tiga perempat yang senada menjuntai dengan indah.

Kakiku melangkah dengan cepat ke arahnya. Kedua lenganku terbuka lebar dan dengan perlahan memeluknya. "Nanti saja, aku berangkat dulu, tante!" Aku melepaskan pelukanku, tersenyum, dan mengedipkan mataku berkali-kali seperti orang kelilipan. Berlagak sok manis.

"Kamu itu..." Ia memprotes sikapku dengan lembut. "Hati-hati ya."

Iya iya, aku tau tante melihatku dikejar waktu, jadi batal untuk bilang nasehat kesukaannya kalau aku itu calon dokter, tapi sama sekali ngga perhatian sama badanku sendiri. Tante sering banget melontarkan kalimat itu. Well, aku memang sangat tau teori untuk jadi sehat. Tapi, susah banget menerapkannya kalau lagi super sibuk. Aku ngga sendiri dong pastinya. Banyak mahasiswa kedokteran yang mengalami hal serupa. Ngga percaya? Tanya saja sendiri.

"Siap, aku berangkat ya, tante!" Aku melambaikan tanganku pada Tante Greta. Ia adalah teman terdekat ibuku. Mereka berdua itu sepasang sahabat sedari kecil. Walaupun harus terpisahkan oleh jurusan yang berbeda ketika kuliah, ibuku kuliah di bidang bisnis dan Tante Greta kuliah di bidang sastra, namun persahabatannya tetap bersemi sampai saat ini. Friendship goals banget!

Laki-laki berusia tiga puluh dua tahun berkulit sawo matang yang badannya sedikit lebih tinggi dariku sedang berdiri di ambang pintu.

"Yuk, kak!" Aku menepuk ringan lengan atas kiri Kak Yudha. Tau ngga? Wajahnya sering kali berhasil membuat orang yang dia temui memujinya dengan dua kata 'manis deh'. Ew, gula kali. Tapi, aku ngga bisa menyangkalnya karena itu fakta. Selain manis, dia punya kelebihan lain, yaitu sangat setia. Padaku. Maksudku, bukan setia seperti seorang kekasih. Melainkan, dia sudah bersamaku sejak aku duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Konon katanya sih, orang tuaku mengenalnya di sebuah panti asuhan ketika usianya masih sangat kecil. Semua kebutuhannya dipenuhi oleh orang tuaku. Dia gigih. Hobi belajar. Ngga aneh kalau semua itu bikin orang tuaku terpesona sampai rela membiayai pendidikannya. Kejujuran hatinya memikat hati orang tuaku hingga ia dipercaya menjadi asisten pribadiku. Plis, zaman sekarang susah cari orang jujur, ketemu Yudha? Itu jackpot! Ia membantuku mengatur seluruh kegiatanku. Selain itu, ia juga mengelola keuanganku. Menanyakan uangku harus di investasikan kemana untuk bisnis dan harus didonasikan kemana untuk menolong orang. Kak Yudha yang mengurus semuanya. Aku terima beres. Dan, tentu saja, ia juga membuat laporan yang super detail untuk orang tuaku terhadap segala yang kulakukan. Dia seperti mata-mata. Ngeri. Kalau aku macem-macem, bisa digantung sama ibu dan ayah!

Represi [HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang