Sekejap, suara teriakan yang berasal dari meja di sebelah kananku membuat perhatianku, Kak Dira, dan bahkan Senpai yang lagi sibuk sama hp-nya, teralihkan. Aku mendapati tiga orang cewek remaja di meja sebelah kananku histeris melihat salah seorang temannya yang berambut pendek kecokelatan, bertubuh paling mungil diantara yang lainnya, mengenakan kaos dengan luaran cardigan cokelat terang dan celana jeans, sedang megap-megap karena sesak napas. Ketiga cewek remaja itu terlihat sangat kebingungan dan ngga tau harus ngapain. Hal tersebut menarik perhatian sebagian penghuni restoran. Seorang pramusaji menghampiri mereka dengan berlari dan beberapa detik kemudian wajahnya ikut dipenuhi dengan ekspresi kebingungan.
Aku memperhatikan cewek itu. Kursinya sejajar dengan kursiku. Tampak bercak kemerahan di kulitnya. Bibirnya sedikit bengkak. Aku terlonjak. Anafilaksis!
Kak Dira menarik pergelangan tangan kiriku sebelum aku berhasil membuat langkah pertama. Ia menghentikanku. "Jangan, Mel!" Ucapnya.
Aku menatapnya. "Kenapa?"
Kak Dira ngga mengemukakan alasannya.
"Kak... KODEKI Pasal 17, setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas perikemanusiaan"
"Kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya," Kak Dira melanjutkan kalimat pasal 17 yang sengaja kupenggal. "Lagian lo sama gue belum resmi jadi dokter, hukum itu ngga berlaku buat kita berdua," lanjutnya.
Kucondongkan tubuhku. Wajahku berada sepuluh sentimeter dari wajah Kak Dira. "Aku ngga melihat siapapun yang lebih mampu dari kita di ruangan ini. Kalau ada, pasti dia udah lari dari tadi buat nolong," aku berbisik dengan nada cukup tegas. Mempertahankan ekpresiku tetap tenang, walaupun di dalam hati menjerit panik.
Aku bertindak seperti ini bukan untuk menjaga nama baikku, Mel, mahasiswa kedokteran yang sehari lagi jadi dokter muda, mengabaikan seseorang yang perlu pertolongan. Sama sekali bukan itu. Hal itu dapat dengan mudah kuatasi. Aku hanya takut ngga bisa menolongnya. Sudah sejak lama aku memiliki kebiasaan ngga bisa tinggal diam jika melihat orang yang perlu bantuan. Apalagi jika gawat darurat seperti ini.
Kak Dira menghela napas. "Satu menit... Kalo dalam satu menit masih ngga ada yang nolong dia... Lo boleh maju, Mel."
Aku melemparkan pandanganku dari mata Kak Dira ke arah langit-langit. Sama sekali ngga percaya dengan yang ia katakan.
Senpai tergelitik untuk ikut campur. Ia berdiri dan menarik kedua bahuku. Memaksaku untuk kembali duduk. "Lebih baik kamu duduk supaya ngga ada yang engeh kalo kamu Melanie Renata." Senpai mengalihkan pandangannya ke arah meja di sebelahku. Spontan aku mencari-cari apa yang dia lihat. Benar saja, bukannya menolong, tapi beberapa pengunjung restoran sudah mengangkat hp-nya untuk mengabadikan kejadian ini. Kedua tangan senpai memaksaku untuk kembali duduk. "Jangan sok pahlawan, Mel."
Aku menghembuskan napas dengan sangat berat sambil menatap Senpai. Kak Dira dan Senpai. Mereka berdua entah kenapa menghadangku. Aku konsentrasi melihat detik arlojiku. Menunggu satu menit berlalu agar aku bisa berlari menolongnya. Ini membuatku tegang setengah mati. Please, anafilaksis itu mengancam nyawa!
Tepat setelah empat puluh detik berlalu, ada seorang pengunjung yang baru saja datang, memperhatikan kerumunan, lalu berlari ke arah cewek anafilaksis disebelahku. Pria yang kayaknya berusia empat puluh tahunan itu menyebutkan namanya, dr. Wistara. Memperkenalkan diri sebelum menolong cewek itu.
Melihat kehadirannya membuatku bisa kembali bernapas dengan lancar setelah empat puluh detik hampir ikut megap-megap karena takut sesuatu akan terjadi pada cewek remaja itu.
Sesuai perintah dr. Wistara, pegawai restoran dengan cepat menghubungi rumah sakit terdekat.
Cewek remaja yang duduk disebelah cewek megap-megap, merogoh tas cewek megap-megap itu untuk mencari obat, sesuai instruksi dr. Wistara. Beberapa detik kemudian aku bisa melihat epinephrine auto injector ditangannya yang langsung diberikan ke dr. Wistara. Dengan cepat pria itu menyuntikkan epinefrin ke paha kanan bagian luar dari cewek itu, jarumnya menembus jeans cewek berambut kecokelatan itu dan pasti berhasil menembus kulitnya menuju otot.
Dengan cepat dr. Wistara menyusun tiga buah kursi agar cewek itu bisa berbaring dan meletakkan dua bantal yang diberikan oleh pramusaji tepat di kaki cewek itu sehingga letak kakinya lebih tinggi. Dengan penuh tanggung jawab, dr. Wistara menjaga keadaan cewek remaja itu tetap stabil hingga ambulans datang.
Aku bisa melakukan persis seperti yang dr. Wistara lakukan kalau saja ngga dihentikan oleh Kak Dira dan Senpai. Tapi, yang paling penting, cewek anafilaksis itu sudah tertolong. Melihat keadaannya membuatku lega.
"Tadi kenapa aku ngga boleh maju, kak?" Aku menatap Kak Dira.
Kak Dira menatapku tanpa menjawab. Kurasa ia sedang merangkai kata di otaknya.
"Apa yang dia lakukan benar, Mel. Aku setuju," Senpai ikut bicara.
Aku menelengkan kepalaku ke arah Senpai. Menagih penjelasan atas kalimatnya yang menurutku ngga masuk akal.
"Kemampuan diagnosis kamu mungkin hebat, Tapi, kamu belum memiliki kompetensi apapun. Jika terjadi hal yang ngga diinginkan, siapa yang akan bertanggung jawab?" Nada suaranya persis seperti seorang kakak yang memberi nasehat pada adiknya. "Kamu bukan pahlawan, Mel. Terkadang ada saatnya untuk ngga nekat nolong orang, meskipun dalam kesulitan. Karena kamu ngga pernah tau kapan hal yang ngga diinginkan akan terjadi. Dan zaman sekarang, semua hal bisa diputarbalikan hanya dengan sepotong cuplikan video atau foto. Kalo tiba-tiba kamu dituntut, gimana?"
Aku menatapnya ngga percaya. Kalimat senpai sepertinya sudah mewakili pemikiran Kak Dira. Suasana di atas meja mendadak jadi canggung. Aku dengan cepat mengubah ekspresiku. Memasang senyum palsu. Berpura-pura menerima kalimatnya hanya demi mengembalikan suasana menjadi seperti semula.
***
Senpai memarkir mobilnya di carport yang terletak di sisi kanan rumah. Granite tile berwarna abu-abu dengan tekstur kasar menghiasi seluruh lantai carport. Beberapa buah skylight yang dipasang secara tidak teratur memperindah atap carport yang berwarna hitam keabu-abuan. Beberapa mobil sport milik Senpai dan beberapa mobil Eropa favorit Om Tito dan Tante Greta memenuhi carport. Mobil putih dan mini cooper-ku juga ikut memenuhi carport rumah senpai. Tertata rapi diantara mobil-mobil yang lain.
Sudah tiga setengah tahun aku tinggal disini. Terpisah jauh dari orang tuaku yang berada di Boston, Amerika. Aku sangat yakin bisa mendapat izin untuk pindah ke Jakarta dan tinggal disini karena pertama, Tante Greta adalah sahabat ibuku sejak kecil. Dia sayang banget sama aku, udah kayak anaknya sendiri. Kedua, sebelum pindah ke Indonesia, sudah hampir sembilan tahun aku tinggal di Boston bersama orang tuaku, juga Senpai dan orang tuanya. Rumahku dan rumah Senpai ketika di Boston sangat dekat. Keluarga Senpai, sudah seperti keluargaku sendiri. Begitu juga sebaliknya. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku dengan Senpai dan keluarganya karena orang tuaku jarang di rumah. Terlalu sering business trip. Makanya, aku cukup kesepian waktu Senpai dan keluarganya pindah ke Jakarta. Jadinya, aku memutuskan untuk ikut pindah ke Jakarta saat kuliah.
Btw, bisa aja sih aku tinggal di rumah kakek atau di rumahku yang di Jakarta, tapi aku lebih memilih tinggal di rumah Senpai yang sudah seperti kakak kandungku sendiri. Dan supaya ngga kesepian. Apa gunanya pindah ke Jakarta kalau ujung-ujungnya tetep kesepian, kan?
Aku naik ke lantai dua menuju kamarku yang didominasi warna putih, dihiasi berbagai furnitur berwarna cokelat terang. Terdapat meja rias berwarna putih dengan cermin seukuran badan, di lengkapi lampu-lampu di tepinya. Juga ada banyak jendela sehingga setiap pagi, cahaya matahari bisa seenaknya menelusup ke dalam kamar. Dan ada sebuah smart tv ultra high definition ukuran besar menggantung di dinding tepat di seberang kasur.
Setelah memanjakan diriku di kamar mandi, aku mengenakan piyama berlengan panjang dan celana panjang dengan corak bunga. Kurebahkan diriku di ranjang, lalu menarik bed cover warna pastel sampai menutupi wajahku. Jantungku mendadak berdegup lebih cepat. Aku benar-benar gugup menghadapi hari esok. Stase bedah! Pokoknya aku harus do my best! Demi mimpiku, jadi dokter bedah paling keren se-Indonesia.

KAMU SEDANG MEMBACA
Represi [HOLD]
ChickLit"Kata kakak tingkat, yang paling berat di masa koas itu ada dua. Pertama, stase perdana, apapun. Kedua, stase bedah. Aku? Jackpot! Harus mengalami kombinasi dua hal itu." - Mel [HOLD]