Tenggelam

187 3 1
                                    

Berbahagialah kalian orang-orang yang bisa beradaptasi dengan cepat terhadap tempat, dan orang-orang baru, karena kalian tak pernah merasakan bagaimana sulitnya memulai percakapan, dan berpikir bagaimana caranya untuk berkenalan.

Pada saat itu, meskipun aku sudah memutuskan untuk bisa bergaul, aku tetap tidak bisa. Aku masih tetap menjadi siswa culun dengan potongan rambut belah samping yang suka menyendiri duduk dibangku paling belakang. Saat kegiatan belajar mengajar, aku selalu mengerjakan sendiri, meski aku kadang bingung, aku tidak tahu harus bertanya pada siapa. Dalam 1 meja, kami ada 2 orang, tapi... teman satu mejaku juga adalah orang yang sama sepertiku, tak pandai bergaul, penyendiri, dan pendiam." Ohh Irpan, malangnya nasibmu, nak" Itulah yang ada dipikiranku.

Saat jam istirahat, aku tak pernah ke kantin, bahkan keluar kelas. Aku tetap duduk dibangkuku sendiri sampai jam istirahat selesai. Ahhh, aku benar-benar menyedihkan. Aku bingung, sebenarnya aku yang tak bisa berteman dengan mereka, atau yang mereka tak mau berteman denganku. Saat dilema seperti itu, aku hanya terus terdiam, memperhatikan mereka berkumpul, bicara, bercanda, dan tertawa bersama. Ya... aku benar-benar seperti anak bawang dikelas itu. Ingin menangis, tapi malu. Tak menangis sesak di dada. Mungkin, ini yang dinamakan cinta. Oke, cerita ini sudah lari dari jalur. Stop berbicara soal cinta saat ini, kita harus fokeus pada nasib malangku, iya, FOKEUS, STAY FOKEUS.

Satu-satunya hal yang paling aku tunggu hanya "Bel pulang". Betapa bahagianya aku jika bel itu sudah berbunyi. Setidaknya, kalau sudah pulang, sampai dikost, aku bisa dengan bebas menggalau (menggalau? bahasa apa ini?), melingkari kalender, menghitung hari sambil menangis. Benar-benar seperti seorang idiot aku ini.

Hari-hari yang aku jalani terasa membosankan. 1 hari serasa 1 tahun, dan 1 tahun serasa 1 hari (Lahh? apaan sih, pan?) ya, pokoknya gitu deh, intinya aku bosan. Tak ada satupun hal yang bisa membuatku nyaman dikelas  itu, aku merasa tersisihkan, terusik, hina dina dimata mereka (lebay, kan?) . Aku serasa melangkah karena terpaksa. Tak bisa dipungkiri, keseharianku itu sangat berpengaruh pada proses belajarku. Tak sekalipun aku bisa fokus belajar, pikiranku tiap saat hanya ingin pulang, pulang, dan pulang. Aku sekolah seakan tak ada niat.

Dari segi kemampuan, atau standar kompetensi, jika dilihat dari nilai, aku tidaklah terlalu jauh dari teman-teman sekelasku. Bagaimanapun juga, aku belum pernah berada dibawah 3 besar  selama SMP (sombong). Meskipun kadang aku minder, aku tahu seberapa sanggup aku mengimbangi mereka disetiap mata pelajaran, kecuali... TIK. Di sekolahku yang sebelumnya, aku belajar komputer, sebatas teori tanpa praktek. Otomatis, aku berada jauh dibawah yang lainnya dalam hal ini. FYI, jangankan menyalakan komputer, menyalakan HP tulalit saja waktu SMP, susahnya minta ampun. Kalian tahu kan HP jadul nokia yang pake senter? HP yang meskipun dilempar 10.000 km dengan kecepatan cahaya sekalipun dia akan tetap kuat dan utuh? nah, menyalakan itu saja, aku harus baca buku panduannya sampai habis. Norak sekali memang. Ehh, kok jadi bicarain HP tulalit? Skip.

Tak terelakkan lagi, nilaiku jauh dari harapan. Anjlok. Meski serajin apapun aku mengerjakan soal, PR, Ulangan, aku tak pernah bisa menarik perhatian para guru. Saat itu, guru-guru kami sangat senang kalau muridnya berani menjelaskan ataupun mengerjakan soal dan PR yang mereka berikan langsung kedepan. Dan... aku tak punya keberanian untuk itu. Jangankan untuk mengerjakan soal ke depan, mengerjakan soal dibangku sendiri sambil dilihatin saja, aku udah gemetaran, keringat dingin, panas dalam bibir pecah-pecah dan sembelit. Ehh, ya pokoknya gitu deh, aku gampang gugup.

Buat sebagian orang, mungkin akan mengerti apa yang aku rasakan saat itu. Mungkin ada diantara kalian yang juga merasakan apa yang aku rasakan. Setiap hari, aku selalu merasa sepi, sedih, dan takut. Tak peduli sebarapa banyak pun orang disekitarku, aku selalu merasa sendiri, mungkin itulah kesepian yang sebenarnya. Keadaan dimana kita dikelilingi banyak orang namun tak satupun yang mengerti dan memperhatikan kita. Aku merasa  sedih. Sedih akan diriku yang tak bisa berbaur dengan sekitar, sedih karena aku sudah terlalu nyaman dengan duniaku sendiri, dan sedih karena aku selalu takut untuk memulai sesuatu. Itu sungguh menyedihkan. Dan juga, aku takut. Aku takut tak bisa mewujudkan harapan kedua orang tuaku dan juga adik-adiku. Aku takut tak bisa menjadi seperti seseorang yang ada dalam ekspektasi mereka. Aku takut jika aku harus menjadi satu harapan yang gagal. Perlahan, aku meyadari bahwa, menjadi orang yang sangat diharapkan terkadang sangat menyakitkan, itu beban yang terlalu berat untuk ditanggung. Mungkin, terkadang menjadi harapan itu menyenangkan, tapi itu tidak berlaku jika kita tak bisa memenuhi harapan itu. Semua akan berbanding terbalik, dan sedikit demi sediki akan menyakiti diri sendiri. Setiap kali aku berpikir seperti itu, pertanyaan-pertanyaan bodoh pun muncul dalam benakku. " Apa menjadi seseorang yang diharapkan memang menyenangkan? atau, apa mungkin menjadi orang yang tak diharapkan itu lebih baik?". Entahlah, aku bingung dengan semua yang ada dalam pikiranku, aku tak mengerti apa yang sebenarnya aku mau. Aku seperti berada ditengah samudera yang luas, sejauh mata memandang semua seakan sama, namun nyatanya beda. Perlahan tapi pasti, aku lelah, terjatuh, lalu tenggelam tanpa tahu tujuannya kemana, dan hanya bisa berharap arusnya kan membawaku ke tempat yang semestinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 09, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Anak RantauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang