BAB 1

101 13 0
                                    

"I knew he didn't love me, but i adored him anyway."

-Arasely.

**

Ada dua hal yang aku benci, bahkan ketika dua hal itu ada pada diriku sendiri aku tetap membencinya.

Yang pertama, huruf depan namaku yang berawal dari A. Aku membenci namaku yang berawal dari huruf A hingga membuatku harus berada di absen paling awal sejak SMP.

Mungkin kalian menganggapnya sepele tetapi bagiku tidak. Karena namaku itu, aku berada di absen paling atas yang mengharuskan aku untuk selalu maju paling pertama jika ada test di sekolah. Ah, untuk sebagian besar orang memang terasa biasa saja jika hanya maju ke depan dan mengerjakan soal. Tapi bagaimana jika aku, seorang gadis yang selalu gemetar gugup dan berkeringat dingin berada di posisi seperti itu? Terlebih jika itu mata pelajaran seperti fisika, kimia dan matematika? Ah, rasanya lebih baik menenggelamkan diri atau bersembunyi di bawah meja bersama permen karet yang biasanya sengaja ditempel di sana oleh kakak kelas terdahulu.

Yang kedua, aku membenci perasaan yang kumiliki terhadap Zach, sahabatku sendiri. Aku membenci hal itu karena aku selalu berpikir, mengapa aku harus mengaguminya? Yang akhirnya rasa kagumku berubah menjadi suka dan berkembang menjadi cinta? Cinta yang sangat dalam hingga membuatku rasanya ingin mati karena terus-menerus menahannya.

Aku semakin membenci perasaanku saat kenyataan di hadapanku secara terang-terangan memberitahu bahwa sampai kapanpun Zach hanya menganggapku sahabat, tidak akan lebih dari itu. Sangat sial memang.

Zachary Alfarezel Hadantha adalah most wanted guy di sekolah, laki-laki yang sudah dua kali memenangkan OSN itu dengan ketampanan luar biasa dan sikap humorisnya membuat orang-orang banyak menyukainya. Termasuk aku.

"Araaaaa.." Panggil Zach tiba-tiba membuat lamunanku terhenti.

"Ra, bekal gue mana?" tanyanya.

"Emang lo nitip ya?" kataku bertanya balik. Jantungku mulai berdegup cepat tak beraturan saat menatap matanya.

Zach mendengus, "Lo pasti lupa bawa bekal buat gue, kan?"

Aku terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat kembali apa yang dikatakan Zach. Saat beberapa detik terdiam akhirnya aku menatapnya lagi dan terkekeh melihat ekspresi cemberutnya.

"Gue lupa hehe, maaf deh. Lagian kan tadi pagi juga gue buru-buru karena takut telat,"

"Kebiasaan lo, lupa mulu. Udah tua sih, jadi pikun!"

"Songong,"

"Biarin." Zach duduk di sampingku lalu mengambil kotak bekal bergambar tazmania milikku yang berada di kolong meja dan mulai memakan isinya dengan santai.

"Sumpah Zach itu belum gue makan sama sekali, awas aja sampai lo habisin."

"Nggak kok, ntar gue sisain. Tempatnya doang,"

"Anjir,"

"Enak, pasti bukan buatan lo kan?"

"Sok tahu, itu tuh buatan gue sendiri."

"Ngibul! sejak kapan lo bisa masak? Masak air aja pancinya kempas-kempis gara-gara airnya kering."

"Seriusan gue, beneran gue buat sendiri bekalnya. Asal lo tahu gue tuh udah mulai belajar masak dari kemarin."

"Oh, bagus-bagus. Jadi mulai sekarang lo masakin gue terus ya. Biar gue lebih irit hehe.."

"Pengin banget?"

"Ya elah pelit deh, sekalian latihan juga buat jadi istri idaman di masa depan."

"Hm."

Kami akhirnya fokus dengan kegiatan masing-masing, Zach meneruskan makannya dan aku kembali melamun dengan segala imajinasiku.

Awalnya aku masih terdiam saat Zach mengajakku berbicara, hingga perkataan selanjutnya membuatku spontan menatapnya.

"Ra, gue lagi deket sama Sania." ucap Zach seraya menutup kotak bekalku.

"Sania? adek kelas yang cakep itu ya?" tanyaku memastikan.

Zach mengangguk, "He-em, menurut lo gimana?"

Pikiranku langsung berkecamuk dan hatiku mulai merasa sesak. Ini bukan pertama kalinya Zach meminta pendapatku tentang cewek yang ditaksirnya, hanya saja aku masih belum terbiasa oleh rasa sakit yang aku terima. Menyusahkan sekali mencintai si playboy satu ini, makan hati terus!

"Woy! Kok lo diem sih?"

Aku tersentak kaget dan langsung menatapnya kesal. "Rese,"

"Menurut lo Sania gimana?" tanyanya lagi.

"Cecan, baik sih kayanya. Tapi gue nggak suka, doi high class banget menurut gue." sahutku.

"Ya elah Ra, gayanya masih wajar kok, nggak berlebihan banget ah."

"Terserah lo, lagian yang suka sama dia kan lo, bukan gue. Nggak masalah dong kalo gue nggak suka sama dia."

"Harusnya sebagai sahabat yang baik lo dukung gue dong, bantuin gue supaya cepet taken."

"Dih, berjuang sendiri lah. Cupu banget mau PDKT aja masih minta bantuan gue."

Setelah aku mengatakan itu kami saling terdiam, jujur saja aku tidak mau membantunya karena tidak menguntungkan sama sekali. Apa yang kuterima jika aku membantunya? Tidak ada. Yang ada aku justru sakit hati lagi dan lagi.

Jika aku mencintainya memang harus membuatnya bahagia, tapi apa aku harus membuatnya bahagia dengan cara membunuh hatiku sendiri?

"Ra,"

"Ha?"

"Lo suka sama siapa sih? Dari dulu kita sahabatan lo nggak pernah pacaran, cerita-cerita dong sama gue."

"Ada sih, tapi dia terlalu jauh buat gue capai."

"Siapa?"

Mengabaikan pertanyaannya aku terus berbicara. "Gue tahu dia nggak cinta sama gue, tapi gue tetep memuja seolah dia itu satu-satunya."

"Siapa?" ulangnya lagi.

"Kepo." Aku mengalihkan pandanganku ke tembok dan menutup mata supaya Zach berhenti bertanya.

Tak menyerah, Zach justru terus bertanya, "Siapa sih cowoknya? Anak sini juga? Gue kenal nggak?"

Aku menoleh padanya dan menatapnya dalam, entah dia menyadari atau tidak. "Lo kenal, dan ya dia sekolah di sini juga."

"Hmm.. Lingga? Revin? Mikey? Anjas?" Zach menyebutkan nama-nama cowok popular yang sebenarnya teman dekat cowok itu juga.

Aku menggeleng. Zach menompang dagu, sibuk berpikir menebak cowok yang kusukai.

"Zach," panggilku.

Zach menoleh seraya mengangkat alis.

"Kalo gue pacaran, pendapat lo gimana?" tanyaku.

Zach terkekeh, "Seneng lah, karena akhirnya sahabat gue menemukan tambatan hati. Asoiiii.."

Aku tersenyum miris. Dalam hati aku mengerti karena pada akhirnya cintaku akan tetap bertepuk sebelah tangan.

**

A & Z [SLOW UPDATE] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang