2. Kelas

497 29 2
                                    

2. Kelas

Jakarta, 2007

Hari ini adalah hari pertama masuk ke kelas 2 (kelas 11 sekarang anak SMA menyebutnya). Tapi, bukannya ke sekolah, aku dan tiga orang temanku malah nongkrong di warung Babeh Rojali, tak jauh dari sekolah. Alasannya karena telat masuk, apa lagi?

Padahal, dari sekolah aku diberitahu tentang pribahasa 'lebih baik telat dari pada tidak sama sekali'. Tapi sekolah juga memberitahuku peraturan: 'kalau telat, tak boleh sama sekali masuk ke sekolah ini'.

Aneh!

Aku telat masuk karena tak dapat angkot, sementara ketiga temanku punya alasan klasik remaja SMA: kesiangan.

"Kelamaan libur, jadi keenakan di rumah kan," kata Arman sambil mengunyah bala-bala.

"Lagian kalo masuk percuma, gak langsung belajar. Cuma pada pamer sepatu baru," Rizki menanggapi.

Sementara temanku yang satu lagi--Didi--sibuk dengan sepiring nasi uduknya. Dia tak peduli sama sekali dengan obrolan kami.

"Dan!" kata Babeh Rojali padaku. "Ini duit gorengan yang kemaren, kasih Ibu lu," Babeh Rojali memberikanku uang lembaran duapuluh ribuan enam lembar.

Segera kuterima uang dari Babeh Rojali. "Makasih, Beh!" Uang itu hasil gorengan yang Ibu titipkan di warung Babeh Rojali kemarin. Aku yang bertugas mengantar gorengannya setiap hari ke sini.

"Iya sama-sama," Babeh Rojali menatapku heran, lama sekali.

"Kenapa, Beh?" kataku dengan sedikit risih.

"Untung Ibu lu gak nikah sama gue," ia menggeleng-gelengkan kepala. Aku mengerenyitkan alis, heran. Lalu, Babeh Rojali berkata lagi. "Kalau nikah sama gue, gak bakal seganteng ini lu, Dan!"

"Hahahaha!" Arman, Rizki, dan Didi terkekeh. Aku dan Babeh Rojali pum ikut terkekeh.

Tak lama, Babeh Rojali pun melayani pelanggan lain yang datang ke warungnya. Sementara kami, hanya membunuh waktu, tak tahu mau apa lagi. Arman sibuk mengisap rokoknya, Rizki sibuk menghabiskan buah, dan Didi hanya duduk di sampingku.

"Dan, kemaren lu dicariin Kak Disti," kata Didi padaku. Disti memang kakak kelas kami, tapi ia cukup akrab denganku. Dia juga menolak jika aku memanggilnya dengan panggilan 'Kak'.

"Ngapain?"

"Gak tahu, katanya pengen ketemu aja,"

"Dia main ke rumah lu?" tanyaku dengan heran. Setahuku, Disti tak pernah boleh keluar rumah oleh Ayahnya.

"Enggak. Dia nelpon," Didi melirikku. "Lu sih gak punya hape, gak ada telpon rumah juga, dia jadi penasaran terus kan sama lu,"

Aku mendengus. "Paling dia minta ditemenin curhat,"

"Cewek gitu ya, suka curhat. Ribet amat,"

Aku melirik Didi. "Gak usah heran, itu kodrat cewek. Kodrat cowok tinggal dengerin mereka aja,"

Didi mengangguk-angguk sambil menenggak tehnya.

"Lagian, kenapa lu sama dia gak jadian aja sih, Dan?" kata Didi heran.

"Mau tahu aja lu," kataku dengan sedikit tertawa.

"Ah, gak asik nih!" Didi kemudian mengambil lagi bala-bala, lalu segera ia gigit dan kunyah.

"Dan, tahu Arin gak lu?" kata Arman tiba-tiba. Ekspresi wajahnya nampak begitu serius padaku.

Aku mencoba mengingat. "Anak kelas satu?"

"Iya!" Arman berseru.

"Kenapa emang?" tanyaku heran.

"Itu inceran gue, Dan. Lu jangan tebar pesona di depan tuh cewek ya," kata Arman sambil memohon. Wajahnya nampak begitu memelas padaku.

Your Secret DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang