3. Senapan

253 15 1
                                    

3. Senapan

"Cuit cuit!" seru Rizki begitu melihat Vera (anak kelas 1 IPA) menghampiriku.

Vera tak sendiri, dia ditemani temannya. Tak tahu siapa, aku tak kenal adik kelas. Hanya familiar saja dengan wajah mereka.

Menatapku, Vera kikuk. Seperti bertatapan dengan Presiden saja! "Kenapa, Ver?" tanyaku. Didi, Rizki, Arman sibuk cekikikan. Sedangkan Nanang, tak sama sekali peduli dengan kedatangan Vera ataupun tawa ketiga temanku. Nanang sibuk mengunyah gorengan.

"Kak Zidan," kata Vera dengan kikuk sambil memberikanku sebungkus coklat. "Buat Kakak,"

"Aw! Co cwiiiit!" Arman berseru. "Mau dong dikasih coklat jugaaaaa,"

Vera makin kikuk dan nampak tak nyaman dengan ulah Arman. Terlebih Didi dan Rizki ikut bersahut-sahutan meledek kedatangan Vera ini. Kutarik kerah baju Arman dan membisikinya sesuatu. "Gak diem, pulang sekolah bonyok lu!" kataku mengancam.

Arman langsung ciut. Wajahnya berubah seketika. Dalam sekejap, Didi dan Rizki pun diam. Aku segera mengajak Vera dan temannya menjauh dari teman-temanku.

"Maafin mereka ya," kataku memulai. Vera hanya tersenyum. "Kenapa ngasih coklat segala?"

Vera tak menjawab, dia hanya uget-ugetan tanpa kata. Dia terus memandangiku seperti aku ini adalah siaran langsung acara kuis jodoh. Temannya juga nampak heran dengan sikap Vera.

"Ver?" kataku mencoba membantunya dalam sikap kikuknya ini.

"I... Iya, Kak," katanya. Lega sekali bisa mendengar ia berbicara bahasa Indonesia. "Aku suka Kakak,"

"Oooh," kataku. "Makasih ya,"

"Kok makasih, Kak?" tanyanya heran.

Kuraih coklat darinya. "Makasih coklatnya ya," aku tersenyum sambil mengacungkan coklat pemberiannya. Aku tak menyukainya, tapi aku juga tak tega jika harus berkata jujur. Ah, dia masih kelas 1, perjalanannya masih panjang, tak ingin kupatahkan mentalnya di awal jalan.

Vera masih kikuk, raut wajahnya kegirangan melihatku mengucapkan terima kasih.

"Terus?" tanyanya lagi. Seolah menuntutku untuk menjawab perasaannya.

"Ya terima kasih!" tiba-tiba Disti datang. Menatap Vera dari kepala hingga kaki. Melihat kedatangan Disti, Vera langsung salah tingkah. Kuperhatikan, banyak anak perempuan di sekolah yang menaruh hormat pada Disti. Mungkin karena Disti itu tipikal siswi yang komplit.

"Apa lagi?" tanya Disti sambil terus menatap Vera dengan jeli. Sementara itu Vera tak sedikitpun berani menatap Disti balik.

"U... Udah, Kak," kata Vera akhirnya. "Permisi,"

Vera pun berlalu. Sementara itu Disti sibuk menatap coklat yang kupegang. "Suka coklat kenapa gak ngomong?" katanya padaku sambil bertolak pinggang.

Aku tertawa kecil. "Siapa yang bilang suka?"

"Itu lo bilang makasih ke dia?"

"Ya makasih aja atas kebaikannya,"

Disti diam. Lalu segera menarik tanganku. Menggandengku secepat langkahnya. "Gue cemburu, lo gak tahu?"

Aku tersenyum kecil, tak tahu harus menjawab apa. Disti sering berbicara blak-blakkan padaku, spontan, dan meledak-ledak.

"Lo tuh jangan baik ke semua cewek dong," katanya lagi. "Mereka semua bisa kegeeran!"

Disti terus menggenggam tanganku mengikuti langkahnya. Mengarah ke sudut sekolah, perpustakaan. Dalam langkah cepat, Disti belum juga memberikan senyuman padaku. "Cukup gue aja yang ge-er!"

Your Secret DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang