5. A Beautiful Dancer

215 13 10
                                    

5. A Beautiful Dancer

Dari kecil, Disti tak punya teman. Ia hanya sibuk belajar karena takut dapat nilai jelek. Ia bukan tidak pandai bergaul, dia hanya tidak ingin mengecewakan ayahnya, tak ingin membuat ayahnya marah. Mungkin, hanya akulah satu-satunya teman baik Disti, meski di sekolah ia populer dan terlihat humble dengan yang lain, sesungguhnya ia tak pernah membuka diri seutuhnya. Ia sangat tertutup dalam beberapa hal, tapi dalam banyak hal, Disti adalah simbol gadis bertalenta nan modis pada zamannya.

Seperti hari itu, hari di mana sekolah kami mengikuti lomba dance antar-SMU di Jakarta. Aku masih ingat bagaimana Disti dipercaya sebagai Ketua Komite Dance sekolah. Ia bertanggung jawab sebagai penyelenggara, koreografer, dancer, dan juga perekrut talenta-talenta siswa-siswi SMU kami. Yang paling kuingat, Disti sibuk sekali saat itu. Di sekolah, aku hampir-hampir jarang melihat dia.

"Dan, ke aula yuk?" kata Nanang padaku di jam istirahat pertama.

"Ngapain?"

"Lihat timnya Disti latihan nge-dance,"

Aku melirik Nanang pelan. Aneh, mengapa tiba-tiba aku tidak rela jika Disti ditonton orang-orang?

"Males ah," ucapku. Berbohong.

"Ya udah, gue sendiri yang," kata-kata Nanang terhenti begitu kutarik bahunya yang segera pergi. "Kenapa?"

"Gak usah ke aula,"

Nanang mengerenyitkan dahi, bertanya-tanya. Dan aku tak bisa memberi alasan konkret dalam pelarangan ini.

"Kita ke kantin aja, makan,"

"Yakin, Dan? Ini Disti lho," kata Nanang masih setengah heran.

Aku mengangguk dan segera menarik bahunya dengan keras, memaksanya mengikuti langkahku. Meski aku sangat ingin melihat Disti, rindu, tapi aku tak sanggup melihat Disti ditonton banyak orang. Entah kenapa. Tiba-tiba aku jadi seperti orang yang posesif begini, beranggapan bahwa tak ada yang boleh melihat Disti kecuali aku.

Dalam tatapan heran, Nanang berjalan mengikutiku ke kantin. "Katanya si Amir nembak Disti, Dan?"

Deg! Dari mana Nanang tahu?

"Tahu dari mana?" tanyaku penuh selidik.

"Ya tahulah, anak-anak cewek pada patah hati, ngobrolin di kelas,"

"Emang anak-anak cewek tahu dari mana?"

"Dari anak kelasnya Amir sih katanya, pada mergokin Amir nulis surat cinta buat Disti,"

Aku mengangguk paham. Heran, kenapa tiba-tiba saja aku menjadi risih dengan kehadiran Amir?

"Kenapa gak lu tembak aja si Disti, Dan?" Nanang melirikku. Wajahnya cukup serius.

Aku menggeleng.

"Nanti dia pergi, pacaran sama Amir gimana?"

"Gak bakal. Amir gak bakal jadi pacar dia,"

"Sok tahu lu," Nanang cekikikan. "Amir tuh gantengnya bajingan, makhluk Hawa mana yang gak naksir sama Amir?"

"Bagi Disti, gue yang paling ganteng," balasku sambil cekikikan juga.

"Heran, lu kasih pelet apa sih, si Disti?"

"Sialan," kutepuk kepala Nanang dengan ringan. Ia kemudian menghindariku, lalu segera kukejar berusaha melayangkan tendangan ke bokongnya. Tapi ia melesat cepat dibarengi suara tawa puas.

Ternyata aku pernah merindukanmu, Disti.

***

Your Secret DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang