Prolog - 1

42 0 0
                                    

Ada yang lebih membahagiakan dari pada saat kau mati mendahuluiku, mengetahui hatimu masih menjadi milikku.


Dia bernama Arya, ia hidup dalam diriku, pada tubuhku, aku menghirup udara dari nafasnya. Seakan berlawanan dengan waktu, nafasnya tak sedalam dulu, aku mulai terengah dibuatnya. Aku tak lagi merindukannya, namun aku tak berhenti menunggunya, hanya dia, untuk mempertanyakan suatu jawaban yang pernah ia janjikan.

Sore kembali pulang ketika hari ini aku masih belum bertemu dengannya. Merah dengan gradasi orange pada suatu titik melebar di barat, dikelilingi oleh langit gelap dan awan yang bertumpang-tindih saling bersandar menahan massa air jenuh, siap menjadi hujan, gedung-gedung nampak seperti garis-garis panjang dari goresan tinta hitam.

Seperti sore pada tanggal dan bulan yang sama di tahun-tahun sebelumnya, aku menerima kejutan ulang tahun dari teman-teman di tempat kerjaku, kue ulang tahun lengkap dengan lilin berbentuk angka menunjukkan bertambahnya usiaku. Meniup api pada lilin lagi, memotong sedikit kue lagi lalu menyimpan sisanya ke dalam lemari es di kantor, dan lagi. Jam di tanganku memberi aba-aba untuk bergegas kembali ke rumah. Aku berpamitan setelah menyampaikan terima kasih pada beberapa orang di ruangan.

"Nan, aku balik dulu" seruku pada Nancy.

"Aku nanti dulu, hati-hati dijalan," jawab Nancy bersamaan dengan memelukku.

Aku berjalan kaki menuruni gedung mengarah pada halte di depan tempat kerja. Lampu jalanan berwarna kekuningan telah menyala, tersusun lurus nampak seperti titik-titik bercahaya. Aku menyandarkan pundak pada tiang penyangga halte, menunggu Bus. Sekilas aku teringat ucapan Nancy, ia menyamakan hatiku dengan halte sebagai pemberhentian sesaat untuk ke halte-halte berikutnya. Sore ini, aku belum mendapatkan jawaban dari Arya, tak ada keraguanku padanya namun kepalaku semakin berdengung, oleh perseteruan antara memihak waktu ataukah harapan.

Aku memandang kosong ke arah jalan kedatangan bus, namun pikiranku masih terusik ingatan lima tahun lalu, tepat lima tahun pada hari ini. Andai saja tak selama itu, aku tak akan berpikir keras dengan keputusanku.

Suara klakson bus membubarkan lamunanku, aku melangkahkan kaki, bergantian menaiki bus dengan beberapa orang yang mengantri bersamaku. Aku memilih duduk di dekat jendela, selain berjaga-jaga agar tak perlu menjawab pertanyaan orang di dalam bus, sangat jarang aku bisa memilih tempat duduk sesukaku seperti sekarang, setiap hari selalu penuh dengan orang-orang sepertiku yang akan kembali ke rumah dari bekerja. Tak ada yang aku lakukan selain memandang ke luar jendela, mengamati bangunan dan segala hal yang berlalu sepanjang jalan, hingga hujan turun tanpa pemberitahuan, tak mengizinkan gerimis sekedar menyapa mendahului kedatangannya, lalu ia mendadak berhenti, pergi tak berpamitan, menyisakan embun pada kaca jendela.

Terasa berusia belasan tahun, pikiranku tak terkendali dipenuhi oleh bayangan wajah Arya, semakin lama semakin sering, semakin ada, hingga tanganku tak malu dengan penumpang bis lainnya, bahkan dengan usiaku, ia bergerak menulis nama Arya, menggambarinya dengan bulatan-bulatan kecil lalu mencoretnya tak beraturan pada sisa kaca berembun. Jalanan basah setelah hujan membuat pengendara berhati-hati dengan memelankan laju kendaraan. Aku meliriknya dari balik jendela. Suara klakson bersahut-sahutan meminta didahulukan dalam kemacetan lalu lintas.

Jika dugaanku benar, bus akan tiba di halte tujuan sekitar sepuluh menit lagi. Berpuluh kali lagi pergantian angka pada jam digital di pergelangan tanganku. Entah kenapa, aku merasa tak perlu mempedulikan perkataan bahwa pengalaman setahun merupakan waktu yang cukup lama untuk telah mengingat jalan dan halte pemberhentian tanpa membaca petunjuk atau arahan kondektur. Pada kenyataannya, aku tak bisa mengingatnya, terlebih jika hari telah gelap.

Aku kembali hanya memandang keluar jendela, membiarkan otak mengambang tak memikirkan apapun, hingga suara kondektur menyadarkanku untuk segera membaca nama halte di kiri jalan lalu turun dari bus. Aku terheran ketika menginjakkan kaki setelah turun dari bus, tak nampak jalanan basah, tak ada udara dingin setelah hujan, namun kaki lebih berat dari biasanya membuatku berjalan mempercepat langkah. Aku tiba di depan rumah setelah berjalan seratus meter.

Di teras rumah, ada sebuah pot bunga terbuat dari kaca berdiameter tiga puluh centimeter dengan tiga kaki penyangga, menampakkan tanah dan akar dari tanaman Mahkota Dewa yang tumbuh di dalamnya, cantik sekali, bunga pemberian Mbak Ulan. Tanganku meraba di bawah pot, mengambil kunci untuk membuka pintu rumah lalu menguncinya lagi dari dalam, memastikan tak akan ada orang yang dapat masuk tanpa seizinku. Aku melepaskan sepatu, lalu bertelanjang kaki, membawa tasku ke kamar, meletakkannya di atas meja. Aku duduk di atas tempat tidur, mengambil gawai dari saku jaket. Tanpa aku sadari, aku telah membuka folder penyimpan foto dan mengamati satu per satu wajah Arya di dalam foto, wajahnya lima tahun lalu seakan masih kemarin. Aku masih mendengar tawanya di telingaku, merasakan geli di dada dengan hadirnya bersamaku, merasakan senyumnya di hadapanku. Aku membaringkan badan, masih ingin membolak-balikan foto melihat wajah Arya.

Aku ingin menemui Arya, keluhku. Aku bangun dan berdiri melangkah ke depan cermin, melepaskan ikatan rambut dan mengurainya seperti kesukaan Arya, sekalipun ia tak melihat dan tak kunjung menghubungiku. Tahun ini, berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, aku tak lagi mengutuknya dengan dendam dan ancaman pertanyaan bertubi-tubi tentang kepergiannya, melainkan menyambutnya jika ia datang kembali, kalaupun tidak, aku akan menunggunya lagi, sehari lagi, sebulan lagi, setahun lagi, bahkan jika harus seumur hidup yang pendek ini.

EpiphyllumWhere stories live. Discover now