Prolog - 4

6 0 0
                                    

"Baiklah," aku mengangguk mempercayaimu saat itu, kini aku mengartikan tunggal sebagai kata lain untuk yang tak terganti. Aku melihat jelas tempat, waktu, dan caramu menyampaikannya padaku, seakan aku tak pernah terlupa perbincangan-perbincangan kita. Perbincangan masa muda kita setiap hari, setiap waktu, setiap pertemuan kita, bertahun-tahun, melahirkan inisiatif yang kita tuliskan dalam rencana perjalanan bersama memperjuangkan mimpi, mewujudkan cita-cita menciptakan legacy melalui tulisan, melalui kumpulan huruf dan angka.

Aku belajar, mungkin begitulah cara Tuhan mempertemukan kita di awal sebagai sesama pendebat untuk berakhir sebagai kritikus agar saling mengingatkan. Aku masih menunggumu, masih pada janjiku, "aku hanya akan bersamamu, menua denganmu," aku akan mengulang mengucapkannya agar kau dapat mendengar dengan jelas ketika bertemu, "aku hanya akan bersamamu, menua denganmu," janji yang selalu kau ragukan dariku, kalimat yang tak pernah kau yakini kebenarannya.

Mataku terlalu panas memandang langit, tetesan hangat lagi-lagi mendinginkannya, jatuh ke samping melewati pipi dan membasahi tikar yang belum pernah kita gunakan untuk piknik, ada kerinduan yang terbuka bagai air danau menguap, ada dahaga yang mengempiskan rongga dada, ada aliran air yang terbendung padanya. Aku ingin memecahkan, menumpahkan, namun kau tak disini, kau belum atau entah tak kembali. Ada rinduku yang sedang berlomba dengan waktu.

Entah akan menjadi seperti apapun antara kau dan aku. Aku berharap itu adalah apa yang paling kita inginkan. Kaktus yang aku beri nama seperti namamu masih menanti untuk di gantikan olehmu, ia lelah dan bosan denganku, beberapa kali meminta izin menyerah dengan ingin mengakhiri hidupnya, namun aku memohon dan membujuk rayu padanya untuk bertahan sebentar lagi sampai kau kembali, sebentar lagi saja. Ia kaktus yang aku ambil dari meja bundar di halaman samping rumahmu.

Aku pun berharap kau segera bertemu dengan yang kau cari, sebab aku sedang dalam penantian pencarianmu. Begitu cepat hingga tak terasa telah lima tahun kita tak saling berjumpa. Namun tak menjadi alasanku menghentikan keinginan bersamamu, aku tetap ingin menemuimu.

Kini daftar agenda tujuan perjalanan kita menjadi hiasan dinding di kamarku, berbingkai kaca dengan rusuk dari kayu. Kau harus segera melepasnya dari gantungan agar aku dapat mencoretnya satu per satu dengan pena berwarna kesukaanku, merah, sebagai tanda pencapaian kita. Aku memintamu, segera. Jadi kembalilah. Ada banyak hal yang aku pahami dalam rentang waktu menunggumu, penantian menjadi proses yang akan menentukan kelayakan menantikan orang yang di nanti, bertaut pada kekuatan hati dan diri penanti untuk mempertahankan pilihannya, dan selama itu cinta masih berdiri berjajar dengan cemburu, aku tak pernah sendiri.

Aku membutuhkan air, aku mulai haus setelah berkicau padamu.

Aku masih terbaring di tempat yang sama dan menunggu bergantinya hari, sepuluh menit lagi, sekarang pukul 23.50 WIB.

Mungkin begitulah cara Tuhan menyempurnakan diri kita dengan mempertemukan pada orang dengan luka yang sama, mungkin bukan untuk saling menyembuhkan, namun untuk saling mengerti dan menguatkan. Kita sama-sama sendiri. Aku diam menyandarkan kepala di pundaknya, membiarkan nafas kita bergerak seirama.

Aku terbangun, aku memimpikannya dalam tidur sepuluh menit, ia memutuskan untuk tinggal di dalam hutan yang jauh dari keramaian, bersama suku di pedalaman. Aku menunggu dan menanti sampai nanti, sedang ia telah lupa dengan perasaan mencintai, ia berjalan di jalannya, aku menemukannya di jalan itu. Sekarang pukul 00.00 WIB.

Waktu semakin tergesa-gesa berlalu tanpa sedikitpun berhenti, malam ini aku menginjak kepala tiga, satu tahun lebih muda darinya dan hampir cukup tua bagi seorang perempuan untuk masih menyendiri. "Cepatlah kembali," aku menyuruhmu, bintang di langit tak lagi dapat membentuk rasi menyerupai wajahmu.

EpiphyllumWhere stories live. Discover now