Chapter 1 (2)

3 0 0
                                    

Kandunganku semakin membesar, namun Wiruna juga tak berkeinginan menyentuh Ambang, tak membantuku merawat anaknya, ia kembali ke rumah sekali-dua kali dalam satu minggu, terkadang untuk memberikan uang belanja atau sekedar berganti pakaian, ia pun tak pernah menanyakan keadaan kandunganku.

Di usia Ambang ke dua, Gusti melimpahkan adik untuk Ambang, aku pun luluh dengan kulit kuning langsat anak keduaku, tangisnya memecahkan sunyi di tengah gelap malam, ia menyadarkan amarahku pada Wiruna yang terlampiaskan pada keenggananku atas kelahirannya, wajahnya tak mirip dengan Ambang, ia sangat mirip dengan Wiruna, bapaknya.

Keesokan hari, Wiruna mengetahui kelahiran anak keduanya. Ia tiba di rumah saat aku sedang menimang bayi perempuan tak bernama, ia tak berbicara sepatah kata pun terhadapku, hanya menghampiriku dan mengambil anaknya, berbeda dari saat-saat sebelum kelahirannya, ia menggendong bayi kecilnya, mencium pipinya, seakan meminta maaf akan ketidakmampuannya mengendalikan diri untuk mengasihi selama dalam kandunganku. Entah setan atau malaikat yang berbisik pada telinga suamiku hingga membuatnya seakan telah lama menanti kelahiran anak keduanya.

Dua hari berlalu, sore hari, beberapa orang tetangga telah berkumpul di rumah, Wiruna mengundangnya untuk melaksanakan syukuran, memperkenalkan putri keduanya pada yang hadir dengan nama Kunang, Wiruna yang memilihkannya. Kebahagiaan yang kembali kepadaku dan Wiruna menyita pikiranku yang tak sempat memperdebatkan nama pemberiannya, aku menyetujuinya.

Wiruna telah kembali, ia berada dirumah bersamaku dan kedua anaknya jika tak bekerja. Anak keduanya yang membawanya kembali. Wiruna memilih menghabiskan waktu untuk bekerja di sekitar rumah dan merawat kedua putrinya, ia mengurus sawah-sawah di belakang rumah peninggalan ayahnya. Ia tak seperti pria lain di desa yang akan mengisi jeda dari sawah dengan pergi ke laut menangkap ikan, selama aku menjadi istrinya, aku tak pernah melihat Wiruna melaut.

Ambang tumbuh menjadi anak lincah, Kunang masih berada dalam gendonganku, usianya masih tidak lebih dari setengah tahun. Aku bergantian mengurus Ambang dan Kunang, ketika Kunang masih tidur, aku bergegas membangunkan Ambang di pagi hari untuk memandikan dan menyuapinya, setelah selesai dengan Ambang, aku mulai dengan memandikan lalu memberikan susu untuk Kunang, begitu setiap hari dan sepanjang hari-hari yang terlewati. Aku beberapa kali menitipkan Kunang pada Ambang untuk sekedar memanggil bapaknya kembali dari sawah. Ia duduk di sebelah Kunang dan aku belum pernah melihat Ambang membuat Kunang menangis selama menitipkan Kunang pada Ambang. Ambang sering diam memandang wajah dan memainkan tangan adiknya, terkadang berbaring di sebelah adiknya, seperti mainan yang akan menjadi teman bermainnya.

Hari berganti minggu hingga minggu berganti tahun. Ambang semakin banyak bertanya padaku benda dan hal disekitarnya yang tak ia mengerti, ia semakin lancar menyanyikan lagu-lagu yang didengar dari radio, Kunang pun tumbuh semakin besar, ia juga semakin pandai melagukan do'a-do'a dan shalawat yang didengar dari Wiruna, hingga aku menyadari, Wiruna lebih banyak memperhatikan Kunang dari pada Ambang.

Suatu sore, matahari masih bersinar cerah, angin sore menghembuskan bau asin laut bercampur tanaman, suara ombak berdebur bersahut-sahutan, Wiruna mengajak Kunang untuk mengantarkan Ambang belajar mengaji di sebelah rumah, hari ketiga Wiruna mencoba mengantarkan Ambang untuk mengaji, aku berdiri di depan pintu rumah memandangi Wiruna, Ambang dan Kunang berjalan bertiga. Setibanya di tempat mengaji, Ambang tak beranjak melepaskan genggaman tangan Wiruna, sama seperti kemarin dan dua hari yang lalu, ia kemudian menangis, ia hanya menangis dengan satu tangan memegang jari Wiruna dan satu tangan menutupi matanya, ia bahkan masih berdiri di halaman depan rumah, tak melepas sandal yang ia kenakan, aku mengetahui maksud dari sikap Ambang. Aku mendatangi Ambang, berbicara di hadapannya, mencoba membujuknya lagi, namun ia tetap berkeras enggan memasuki tempat yang akan menjadi tempatnya belajar, Aku dan Wiruna memutuskan mengajak Ambang pulang, sore terakhir Ambang berada di tempat belajar Al-Qur'an.

Wiruna tak berbicara sepatah kata pun atas sikap Ambang, ia hanya diam, mengabaikan Ambang dan membiarkanku bertindak mencoba merayu Ambang. Keesokan hari, aku tak lagi meminta Ambang datang dan belajar, aku membiarkannya, sebagai ganti, aku memanggil Kunang dan memintanya membantuku memasak di dapur. Tak pernah terbayang sebelumnya, Kunang mengabaikanku dan memilih merengek meminta mengaji.

"Kunang, mau melawan ibu?" seketika aku berteriak memarahinya, keengganan Ambang menjadi perdebatanku dengan Wiruna, sikap Kunang memberikanku kesempatan untuk melampiaskan kesahku, "pergi ke toko dan belikan ibu gula," Kunang tak berpindah dari tempatnya, bergulung-gulung di ruang tamu dan semakin memperkeras tangis, Wiruna yang baru saja tiba dari sawah melihat sikap Kunang dan menanyakan yang di lakukan anak keduanya. Setelah mendapatkan jawaban dari Kunang, Wiruna memintaku memandikan Kunang, aku tak dapat menolak, aku menahan amarah dan kesal pada Kunang. Wiruna bergegas mandi, berganti pakaian, shalat lalu mengantar Kunang ke tetangga untuk belajar mengaji.

EpiphyllumWhere stories live. Discover now