Chapter 1 (7)

1 0 0
                                    

Seorang ibu, tidak akan membiarkan anaknya terjatuh, aku akan memperpanjang umur anakku yang lain saat salah satunya telah pergi. Salah dan benar berada pada sisi mana suatu hal di pandang. Aku mengabaikan perasaan Ulan, Alang, dan Binta, namun di lain sisi, aku membaca perasaan anakku, aku ingin memberikan perlindungan pada anakku, Ambang, dan Layang akan menjadi orang yang tepat untuk Ambang. Tidak kah itu sangat adil, selalu ada dua sisi dalam satu hal.

Kehilangan hanya di rasakan untuk yang merasa memiliki yang tak dimilikinya. Ketika aku, Layang, Ulan, Alang, dan Binta bahkan Ambang dan semua yang merasa memiliki kehadiran Kunang, ada atau tanpa Kunang, Kunang hidup bersama mereka.

Cucu-cucuku, anak-anak Kunang, menyadari besarnya kasih ibu untuk anak-anaknya. Kepergian ibu menyisakan kesedihan mendalam untuk anak. Begitupun sebagai diriku, seorang ibu, kepergian anak membawa setengah dari nyawanya.

Segala yang tertulis tak dapat diingkari, bagaimanapun caranya.

Jikalau memang salahku merencanakan memulai kenyataan yang harus terjadi pada hari-hari berikutnya, aku menerimanya, karena Tuhan menunjukkan jalan dan caranya dengan mengizinkannya terjadi.

Bagaimana seorang ibu tak mencintai anaknya sama besar saat harus memutuskan menyakiti yang lain. Bagaimana seorang ibu tidak sama-sama mencintai semua anaknya. Demikian jika aku mencintai Ambang dan Kunang sedangkan keduanya adalah ibu dari cucuku. Darah mereka ada dalam diri cucuku. Darahnya menjadi gumpalan daging yang digunakan untuk menggerakkan jiwa.

Tak sepatutnya seorang anak pertanyakan kesungguhan cinta ibu pada anaknya sekalipun ibu membunuh anaknya. Cinta yang murni bukan berarti tidak meracuni, ia hanya tak terucapkan. Terangnya tertutup meski hanya sesaat. Ketika kelam yang menyelubungi, maka hanya mata hati yang dapat bersaksi.

EpiphyllumWhere stories live. Discover now