dia?

38 0 0
                                    

"Nda, ada kafe bagus nih. Ke sana, yuk?"

Ajakan Tristan saat itu membuat gua terkejut.

Dan sekarang, gua sudah ada di kafe yang ditunjukkan oleh Tristan yang berada di kawasan pinggir Jakarta.

Kita berdua sedang menikmati secangkir caramel macchiato.

Sama seperti cangkir kopi ini, hidup gua pun sangat pahit dan tidak menentu.

Gua melihat ke arah Tristan, doi daritadi adem anyem. Sesekali ia menyesap setetes demi setetes cangkir kopi. Perlahan ia tersenyum ke arah gua, sembari meletakkan cangkir kopinya.

"Gimana? Udah enakan?" Tanyanya.

Gua diam. Maksudnya?

"Gua lihat tadi lu kayaknya lagi sedih. Jadi, gua bawa aja lu ke sini." Jawabnya, seolah bisa membaca pikiran gua.

Oh. Soal Rauf, ya?

Anak-anak tadi teriak heboh sewaktu Tristan bilang bahwa ia akan mengajak gua ke kafe ini, cuma berdua.

Gua gak peduli ekspresi Rauf saat itu, gua sendiri juga gak mau tau.

Karena saat itu, perasaan gua menolak semuanya. Termasuk perasaan terhadapnya.

Perasaan gua sangat transparan ternyata.

Gua menggeleng pelan. "Cuma lagi mikirin sesuatu, kok."

"Mikirin apa? Boleh gua tahu?" Ia bertanya dengan lembut dan kemudian ia tersenyum.

"Kalau gua bilang pasti lu bakal ketawa."

"Gapapa, bilang aja. Gua gak bakal bocor ke yang lain. Gua tahu saat ini lu lagi butuh teman curhat." Sahutnya yakin.

Saat ini, gua tidak punya pilihan lain selain setuju.

Oke, gua tau ini terlalu cepet. Beneran deh.

Belum ada seminggu gua mengenal Tristan, tetapi gua sangat terbuka padanya.

Dan gua bukan tipe orang kayak gini.

Gua bakal benar-benar terbuka kalau gua sudah nyaman dengan orang itu.

Mungkin, gua udah nyaman dengan sosok Tristan. Mungkin, gua sudah menyukai kehadirannya.

Seperti saat ini, ia mendengarkan ocehan gua dengan seksama. Tidak memotong, tidak juga mengelak.

Gua tahu, gua bakal nemu kawan yang tepat. Mungkin.

Selesai bercerita, ia pun mulai mengeluarkan pendapatnya.

"Lu udah pernah bilang perasaan lu?"

Gua menggeleng. Karena, gua sendiri gak yakin bakal terbalaskan atau enggak.

Terlebih, gua gak mau memutuskan tali persahabatan ini. Terlalu erat.

"Terus tadi lu cemburu karena April itu?"

Gua diam. "Emang iya?"

"Mungkin. Jadi lu cemburu?"

Gua mengangguk. Sedikit.

Ia menutup mata dan berusaha memikirkan sesuatu sembari menyesap kopinya.

"Bilang sama gua, Nda. Apa yang ingin lu lakukan jika saat ini yang di depan lu bukan gua, melainkan Rauf."

Gua tersentak. Buat apa?

"Gua gak bakal bilang Rauf soal ini. Percaya sama gua."

Gua kembali terdiam.

hate & love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang