"Gam, tungguin gue, dong."
Albetha berlari ke arah Gama yang hendak melajukan motornya. Gama menghela napasnya. Ia yakin hari ini tidak akan setenang hari kemarin. Ya, Albetha baru saja sembuh dari sakitnya. Dan selama ia sakit, Gama bebas dari Albetha. Sepertinya, Gama harus mulai membiasakan dirinya lagi dengan ocehan dan semua keribetannya Albetha.
"Pasti mau ngehindar dari gue, kan? Ntar gue laporin Tante Beca loh! Bahkan selama gue sakit, lo gak jenguk kan? Temen bukan sih, lo?" oceh Albetha.
Gama sudah prediksi, pasti Albetha akan membicarakan mengenai hal itu. Memang selama Albetha sakit, ia tidak pernah menjenguknya. Mamanya, Rebeca, sudah sering menyuruhnya untuk menjenguk Albetha, tetapi Gama tetap tidak mau. Pikirnya, nanti Albetha geer kalau dijenguk.
"Gam, lu gak sayang gue, ya? Kita bareng dari orok tau!"
"Brisik, mau ikut, gak?" kata Gama sambil memberikan helm kepada Albetha.
Albetha tersenyum lebar. Ia tau, sekesal-kesal apapun Gama kepadanya, Gama akan tetap mempedulikan dia. Bahkan, Gama tetap membawa helm lebih yang biasa Albetha gunakan.
Albetha segera naik ke atas motor, lalu Gama segera menjalankan motornya menuju sekolah.
"Gam, tau, gak?" tanya Albetha.
"Gak," jawab Gama singkat.
"Gue belom ngomong Gama."
Gama diam, tidak meresponi Albetha.
"Waktu gue sakit, banyak yang jenguk gue lho. Ada Rani, Irene, Tisha, Pauline, Gea, siapa lagi ya, lupa gue. Padahal kan gue gak gitu deket sama mereka."
Tadinya Gama tidak tertarik pada ceritanya. Namun, ketika mendengar nama itu, seketika Gama ingin mendengarnya lebih.
"Trus?" tanya Gama penasaran.
"Trus mereka nanya-nanya tentang lo. Ternyata, mereka kira kita tuh saudara, abis katanya kita nempel terus, sih. Emang kita nempel terus, ya, Gam?" Albetha memajukan wajahnya untuk melihat muka Gama.
"Itu, sih, lo yang nempel gue terus. Duduk yang bener Beth," katanya ketika Albetha berusaha melihat wajah Gama.
"Ish." Albetha memajukan bibirnya, kesal dengan sikap Gama yang cuek.
Albetha dan Gama sudah berteman sejak kecil. Selain mereka adalah tetangga, orang tua mereka memang dekat. Dari dulu pula, Gama memang cuek dan irit berbicara. Dulu Tante Beca ngidam apa, ya, sampai anaknya irit ngomong, pikir Albetha.
"Udah sampe, sampai kapan lu mau meluk gue?"
Albetha langsung sadar dari lamunannya. Ia melepas pelukannya, lalu melepas helm dan memberikannya pada Gama. Ngomong-ngomong, sejak kapan ia memeluk Gama...
"Thanks, Gam!" ucap Albetha sambil berlari meninggalkan Gama. Gama menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku sahabatnya itu.
Gama segera turun dari motor dan berjalan menyusuri koridor kelas 10. Tak jarang banyak adik-adik kelasnya, pastinya perempuan, yang memandanginya. Gama yang memiliki paras tampan dan kepribadiannya yang tertutup memang menarik banyak perhatian bagi kaum perempuan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang bingung mengapa Gama bisa berteman dengan Albetha yang cerewet.
×××
Bel istirahat berbunyi. Murid-murid segera bangkit dari kursinya beranjak keluar kelas. Tiba-tiba Albetha berlari ke arah pintu kelas dan mencegat teman-temannya yang akan keluar.
"STOP!!!" teriak Albetha.
"Ngapain sih, Beth?" keluh Mia, salah satu teman kelas Albetha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Albetha
Teen FictionAlbetha dan Gama. Albetha yang cerewet, dan Gama yang cuek. Mereka sudah dekat sejak kecil. Kalau kata Albetha, sahabat dari embrio. Namun suatu kejadian yang membuat mereka menjauh. Kejadian yang membuat keduanya berubah. Hingga akhirnya mereka te...