Albetha menatap perempuan yang duduk di meja seberang mejanya sambil mengaduk-aduk es teh manisnya.
Perempuan di depannya itu memang cantik. Sangat cantik. Senyumnya sangat manis. Ia juga murah hati, terlihat dari banyaknya teman yang duduk di sekelilingnya. Tidak sepertinya, hanya menempel pada Gama saja.
Tidak salah kalau Gama tertarik padanya. Irene terlihat sangat anggun, tidak seperti Albetha yang pecicilan.
"Lo liatin siapa, sih, Beth?" tanya Erina.
Albetha hanya menunduk memperhatikan es teh manisnya. Es batu yang tadinya masih banyak, kini sudah mencair hampir seluruhnya.
Erina melihat ke arah depan, memastikan siapa yang Albetha perhatikan dari tadi.
"Ohh... Irene, ya?"
Albetha tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Ia hanya menarik napas lalu menghembuskannya kasar.
"Kenapa, sih, Beth? Lo boleh kok cerita sama gue," ucap Erina sambil mengelus punggung Albetha.
"Hmm..." Albetha berpikir sejenak, lalu kembali berucap, "Gama."
"Gama kenapa?"
"Kayaknya Gama suka, deh, sama Irene."
"Bagus dong. Itu tandanya dia normal."
Albetha menatap Irene sejenak, kemudian kembali berbicara dengan Erina. "Ya, bukan itu masalahnya. Gue takut aja kalau Gama udah jadian sama Irene, nanti dia gak ada waktu lagi buat gue."
"Lo cemburu ya?"
Albetha menatap Erina dengan mata membulat. Cemburu? Albetha cemburu? Mendengar pertanyaan itu membuat Albetha salah tingkah. "Ah, haha, gak mungkin, lah, gue cemburu. 'Kan gue sahabatnya," ucapnya pelan.
"Kalo gak cemburu, kenapa lu keliatannya khawatir banget?"
Iya, yah. Kenapa ia harus khawatir? Ahh, tapi perasaannya tetap tidak enak. Mungkin Albetha hanya khawatir Gama meninggalkannya? Secara Albetha tidak memiliki teman dekat lain selain Gama seorang. Ya, Albetha yakin pasti karena hal itu.
"Oh, iya, Beth," Erina mengeluarkan secarik kertas dari kantung roknya lalu memberikannya kepada Albetha, "Ini titipan dari Angel. Lo disuruh ikut jadi panitia untuk pentas seni akhir tahun."
Albetha mengambil kertas tersebut lalu membacanya. Sebuah formulir untuk menjadi panitia pentas seni. Pikirannya langsung mengarah kepada Gama. Gama pasti ikut pentas seni, group band-nya pasti akan tampil.
"Hm... tapi kan lo tau sendiri, Rin. Gue paling males ikut gitu-gituan," keluh Albetha.
"Yaudah, lo pegang dulu aja formulirnya. Siapa tau nanti lo berubah pikiran."
Albetha kembali mengamati formulir di genggamannya. Selama Albetha bersekolah di SMA Fajar Utama, ia tidak pernah bergabung dengan kegiatan apapun. Malas. Beda dengan Gama yang selalu aktif di berbagai bidang.
"Oh, Irene juga ikut. Gue denger-denger, dia daftar jadi panitia penata panggung," celetuk Erina tiba-tiba.
Apa? Irene ikut? Jadi penata panggung? Kalau begitu, Gama akan sering bertemu dengan Irene. Gama kan mengisi acara, pasti sering ketemu dengan panitia penata panggung. Lalu, Gama akan semakin tertarik pada Irene, memuji-mujinya karena aktif dalam kegiatan sekolah. Selanjutnya Gama akan membandingkan Irene dengan dirinya yang malas. Alhasil, nama Albetha akan semakin jelek di mata Gama.
Tidak. Hal ini tidak bisa dibiarkan. Albetha harus ikut acara tersebut untuk membuktikan pada Gama kalau Albetha bisa lebih baik dari Irene.
"Gue balik dulu ke kelas, Rin. Mau isi ini formulir dulu," ucap Albetha yang dibalas anggukan oleh Erina.
×××
"Oke, nanti gue kabarin.""Makasih, ya, Angel," ucap Albetha sambil tersenyum puas ketika menyadari bahwa ia sudah mendaftarkan dirinya menjadi panitia pentas seni.
Sekarang, waktunya memberi tahu Gama kalau Albetha-nya sudah berubah. Albetha-nya? Sejak kapan panggilan itu ada? batinnya.
Sepertinya Albetha mulai gila. Bagaimana tidak? Ikut kepanitiaan sekolah tidak pernah terpikirkan olehnya selama ini. Kalau bukan karena Gama, Albetha tidak akan mau ikut.
Albetha memberhentikan langkahnya ketika ia hendak masuk ke dalam kelas Gama. Samar-samar ia mendengar suara orang berdialog di dalam sana. Albetha mengintip melalui celah pintu, memastikan siapa yang sedang berbicara.
Belum sempat mendengar percakapan mereka, tiba-tiba seorang perempuan membuka pintu kelas, membuat Albetha terkejut.
"Albetha?" tanya perempuan itu, "Ngapain di sini?"
Albetha mengerutkan dahinya, bingung, mengapa perempuan ini bisa berada di dalam kelas Gama.
"Irene? Ah... Gue mau ketemu Gama."
"Ohh, Gama di dalam. Gue duluan, ya," ucapnya sambil tersenyum manis.
Albetha terdiam di depan pintu. Ada urusan apa Irene dengan Gama. Sejak kapan mereka saling kenal? Kalau seperti ini, Gama bisa-bisa semakin tertarik pada Irene. Apalagi, senyumnya tadi manis sekali. Jika Albetha laki-laki, pasti ia sudah meleleh meliat senyum Irene.
"BETHA!" teriak seorang laki-laki, membuat Albetha terkejut. Gama, laki-laki yang ia cari, sedang berdiri di hadapannya.
"Ngapain lu berdiri di depan kelas gue?"
"Emm... itu, gue..." Albetha menarik napas lalu membuangnya perlahan, "Emm... itu, gue daftar jadi panitia pentas seni," jawab Albetha gugup.
Gama mengernyitkan dahinya, sedikit tampak terkejut mendengar perkataan Albetha. "Lo ikut panitia? Tumben amat. Yakin lo?"
Albetha mengangguk mantap.
Seketika Gama mengangkat tangannya, menyentuhkannya pada dahi Albetha. "Gak panas. Lo gak sakit, kok."
"Siapa yang sakit? Gue emang gak sakit," balas Albetha sambil menyingkirkan tangan Gama pada dahinya.
"Ohh, pasti ada yang lo taksir, ya. Good luck, deh, kalo gitu. Gue mau ke ruang panitia dulu," ucapnya lalu pergi meninggalkan Albetha.
Ia terdiam di tempat. Bingung, sekaligus kesal. Mengapa Gama bisa berkata begitu? Kalau memang ada yang Albetha taksir, pasti itu Gama. Tunggu. Naksir Gama? Sepertinya Albetha sudah mulai gila.
×××
KAMU SEDANG MEMBACA
Albetha
Teen FictionAlbetha dan Gama. Albetha yang cerewet, dan Gama yang cuek. Mereka sudah dekat sejak kecil. Kalau kata Albetha, sahabat dari embrio. Namun suatu kejadian yang membuat mereka menjauh. Kejadian yang membuat keduanya berubah. Hingga akhirnya mereka te...