Sudah hampir dua jam pelajaran pikiran Gama dipenuhi dengan Albetha. Kemana gadis itu pergi? Gama melihat ke arah pintu, mengharapkan gadis itu tiba-tiba masuk ke kelas. Ia kembali memfokuskan pandangannya kepada guru yang sedang menjelaskan tentang perang dunia kedua walaupun pikirannya sama sekali tidak berada di kelas.
Apa Betha bolos? batinnya.
Akan tetapi, yang Gama tahu, Albetha bukan tipe murid yang suka bolos. Sebisa mungkin dirinya akan hadir di kelas, meskipun pada akhirnya dia tertidur di kelas. Albetha tidak suka membolos.
"Gama Hezkiel," sontak Gama menoleh ketika namanya dipanggil. Bu Rena sedang menatapnya tajam, "apa kamu mendengarkan penjelasan saya?"
Baru saja Gama ingin menjawab, bel sekolah berbunyi. Sepertinya dewi fortuna sedang berpihak pada dirinya.
"Beruntung bel berbunyi. Kalau tidak, sudah saya hukum, kamu." Bu Rena meletakkan spidol di atas meja lalu berkata, "oke pelajaran sampai di sini. Kalian boleh keluar."
Semua murid sibuk membereskan alat-alat tulisnya dan mulai keluar dari kelas, begitu juga Gama. Langkahnya terhenti saat seorang laki-laki mencegatnya.
"Thanks, ya, bro traktirannya. Berkat lo, gue bisa makan siang. Kebetulan gue lupa bawa uang."
Gama mengernyit. Laki-laki itu menepuk bahu Gama kemudian pergi meninggalkannya yang dilanda kebingungan. Traktir? Gama belum membayar apapun mengingat dirinya tadi marah terhadap Albetha. Lalu siapa yang sudah membayarnya?
Apa jangan-jangan perempuan itu yang sudah membayarnya? Jika memang iya, lalu ia mendapat uang dari mana? Setahunya, Albetha tidak memiliki uang jajan yang banyak. Bahkan untuk membeli makan siang sehari-hari saja ia suka meminjam uang Gama.
Gama langsung pergi menuju kantin dan mencari keberadaan Albetha. Namun hasilnya mustahil, ia tidak menemukan bahwa perempuan itu ada di sana.
Tak tahu harus mencari kemana, Gama mengambil sebuah minuman dingin dari kulkas lalu membayarnya.
"Minum aja, nih, den Gama?" tanya Mbok Na.
"Iya, mbok," jawabnya sambil tersenyum.
"Tumben gak bareng non Betha?" tanya Mbok Na sambil memberi kembalian dua lembar dua puluh ribuan.
Gama terkekeh. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Gama dan Albetha bersahabat. Dari guru, murid, sampai cleaning service pun tahu mereka berdua dekat. Di mana pun Gama ada, di sana Albetha juga ada.
Bukan karena takdir.
Namun karena Albetha suka mengikuti kemanapun Gama pergi. Ya bagaimana lagi? Albetha hanya dekat dengan Gama. Apalagi mereka dekat sudah sejak lahir. Kalau katanya, sahabat sudah dari embrio.
"Padahal tadi non Betha traktir temen-temennya, lho, den. Baik banget ya dia." Ucapan Mbok Na membuat Gama tersadar dari lamunannya. Apakah ia tidak salah dengar? Albetha mentraktir teman-temannya?
"Traktir?" tanyanya memastikan.
"Iya, den. Bahkan kayaknya dia belum makan demi traktir teman-temannya."
Belum makan? Gama tahu di mana Albetha sekarang.
"Makasih, ya, Mbok," ucapnya lalu segera melangkahkan kaki menuju tempat itu. Satu tempat yang tidak mungkin ia salah.
Sesampainya di sana, Gama langsung membuka pintu dan menemukan seorang perempuan sedang berbaring di atas tempat tidur. Benar dugaannya bahwa Albetha berada di UKS.
Gama menghampiri perempuan itu, menarik kursi yang ada tidak jauh darinya, lalu duduk di samping tempat tidur. Gama memegang kening Albetha untuk mengecek suhu tubuhnya. Merasa ada yang menyentuh, Albetha membuka matanya.
"Kebiasaan banget, sih, Beth. Bikin orang susah aja," ucap Gama.
Albetha terdiam, tidak menanggapi ucapannya. Dia sudah biasa mendengar ucapan menyakitkan dari Gama. Bisa dibilang, Albetha sudah kebal.
"Jam berapa sekarang?" tanya Albetha.
"Jam 3."
"Jam 3? Lo serius?" Albetha terkejut. Berarti, ia sudah tidur 4 jam di UKS.
Albetha segera bangun dari tempat tidur tetapi langsung dicegah oleh Gama.
"Mau kemana lo? Lo 'kan masih sakit."
"Gue ada janji sama Pamela. Lagian, gue udah mendingan, kok," ucapnya lalu bangun dari tempat tidur. Albetha menemukan tasnya berada di atas meja. Ia mengerutkan dahinya lalu bertanya, "tas gue lo yang ambilin, Gam?"
Gama mengangguk.
"Oh, makasih," ucap Albetha lalu mengambil tasnya dan pergi melangkah menuju pintu UKS.
"Lo pulang, gue anter." Langkah Albetha langsung terhenti. Ia terkejut. Gama mau mengantarnya pulang? Pasalnya, Gama paling anti mengantar pulang dirinya. Katanya, Albetha lelet, Albetha ribet, dan dirinya bukanlah supir Albetha. Namun kali ini, Gama mau mengantarnya pulang. Mungkin tadi Gama salah makan, pikir Albetha.
Albetha semakin terkejut ketika Gama menarik tangan Albetha keluar dari ruangan UKS. Ia dibawa menuju parkiran. Sesampainya di motor Gama, Gama langsung memberikannya helm dan naik ke atas motor, yang disusul oleh Albetha. Benar, sepertinya Gama salah makan hari ini.
×××
Gama memberhentikan motornya di depan rumah minimalis bergaya Eropa itu. Albetha segera turun dari motor lalu memberikan helmnya kepada Gama.
"Thanks, ya, Gam," ucapnya.
"Hmm," balasnya.
Keduanya terdiam, tidak ada yang mengeluarkan suara sama sekali.
"Yauda, masuk sana," kata Gama memecah keheningan.
"Ehh... iya..." Albetha membalikkan badannya lalu melangkah hendak masuk ke dalam rumahnya.
"Beth." Albetha segera menengok mendengar dirinya dipanggil, lalu membalasnya, "iya?"
"Istirahat, jangan sakit lagi. Gue gasuka," ucapnya lalu melajukan motornya.
Albetha terdiam. Degupan jantungnya memacu. Bisa dipastikan saat ini pipinya memerah. Apakah Gama khawatir padanya?
Albetha mencubit tangannya, memastikan kalau ini kenyataan.
"Aww..."
Sakit. Berarti ini bukan mimpi. Albetha segera masuk ke dalam rumah dan berlari menuju kamarnya. Ia belum pernah merasa sesenang ini sebelumnya.
×××
To be continue
Jangan lupa vote and comment yaa😚💕Vrie
KAMU SEDANG MEMBACA
Albetha
Teen FictionAlbetha dan Gama. Albetha yang cerewet, dan Gama yang cuek. Mereka sudah dekat sejak kecil. Kalau kata Albetha, sahabat dari embrio. Namun suatu kejadian yang membuat mereka menjauh. Kejadian yang membuat keduanya berubah. Hingga akhirnya mereka te...