EPS 3

6 2 0
                                    


Di asrama itu, Alana hidup seperti manusia normal. Polos adalah sifatnya. Namun, kepolosan itu bisa mendatangkan bahaya juga untuknya.

Dari tempat yang jauh, ia diawasi oleh "humanitic". Mereka ialah manusia dari masa depan yang menginginkan Alana. Berbagai cara mereka lakukukan. Seperti mengirim mata mata yang menyamar sebagai salah satu orang dan hewan di asramanya.

------
Rara melempar bola basket ke ring. Masuk. Rara pun tersenyum.

"Ra, balik ke asrama yuk,"

Rara menoleh. Ternyata teman sekamarnya, Tita. Rara mengangguk berjalan beriringan dengan Tita. Ia memperhatikan Tita dengan saksama dan bertanya kepadanya.

"Apakah kamu sama seperti Alana?"

Tita berhenti. Lalu menoleh. "Apa, Ra?" tanyanya. "Ehh... tidak tidak jadi," kata Rara. Sepertinya Rara terlalu kelewatan bertanya seperti itu.

------

"Ya anak anak. Mungkin sampai disini saja Ibu mengajar. Selamat siang," tutup Bu Rina, guru IPS. Murid murid pun menuju ruang makan. Disana mereka mengambil makanan sesuai selera masing masing.

"Na, kamu tidak makan?" tanya Kira, teman sebangkunya. Alana menggeleng. "Kenapa?" tanya Kira lagi. "Aku sedang tidak nafsu makan, jawabnya pendek. Kira pun menyerah. Dia ke ruang makan sendirian.

Di kelas, Alana menggambar tokoh anime kesukaannya, yaitu Levi dari anime Shingeki no Kyojin (Attack on Titan). Alana pun tenggelam dalam aktivitasnya itu. Sampai sampai ia dipanggil tidak mendengar.

"Alana..."

Alana berhenti menggambar. Bukan karena dia sudah selesai dengan aktivitasnya itu, melainkan ia merasa familiar dengan suara itu akhir akhir ini. Alana perlahan menoleh. Dugaan nya benar.

Alana pun berdiri dan bersiap untuk berlari. Namun, humanitic itu memeluknya. Alana pun kaget. Alana mengelak dan berlari menuju kamar mandi. Ia pun mengaca dikaca kamar mandi. "Siapa dia? Kenapa dia tiba tiba memelukku tadi? Apakah aku berhalusinasi lagi?," pertanyaan itu memenuhi pikirannya. Ia pun mencuci muka lalu kembali ke kelas.

Leo duduk di pinggir kasurnya. Dia sedang memikirkan sesuatu. "Woi, mikirin apaan lu?" tanya Rifki, teman sekamarnya. Leo mendongak. "Mikirin Alana ya?" tanya Rifki iseng. Tanpa sadar Leo mengangguk. "Wahh... beneran toh," kata Rifki menyeringai. "Eh. Maksud gw kaga. Ngapain juga gw mikirin dia," katanya. Seringai Rifki pun makin lebar.

Sementara itu, Alana sedang berjalan jalan mengelilingi asramanya. Dia merasa bosan di kamar terus. Dia pun melihat lihat setiap detail corak asramanya itu. Sangat indah.

"Ga baik cewek jalan sendiri pas malem hari,"

Alana kaget. Dia pun menoleh. "Ihh.. jangan ngagetin apa," kata Alana. "Hehehe. Maaf," kata Rifki. "Ngapain lu disini?" tanya Rifki. "Aku bosan di kamar terus. Aku pun memutuskan untuk berkeliling asrama setelah mengerjakan tugas," jawab Alana. Rifki pun mengangguk angguk.

Setelah beberapa menit berkeliling, Rifki menghentikan Alana dan memegang tangannya. Alana refleks dan langsung melepasnya. Dia memegang tangannya. "Maaf," kata Rifki. "Jangan lakukan itu lagi," kata Alana tegas. Dia masih syok dengan kejadian di kelas. Alana berjalan lebih cepat dan menuju taman. Disana, Rara dan Meilin sudah menunggunya. Mereka sudah janjian untuk melihat bintang dari taman asrama.

------

"Woi bosen neh. Masa ngeliat bintang doang,"

Rara dan Alana menengok. "Bukankah kamu yang meminta kita untuk "menginap" di taman," kata Alana. "Ya tapi ga begini juga, Na. Lagipula, yang ngerti tentang astro - apa lah itu namanya - cuma kamu doang, Na," kata Meilin. Alana terkekeh. "Terus kita mau melakukan apa?" tanya Alana.

"Kita main petak umpet saja,"

Meilin menoleh. "Bukannya lu penakut, Ra?" kata Meilin. Rara melotot. "Enak saja. Yakali cuma karena gelap gw takut. Gak lah. Ayo maen sekarang," kata Rara dengan nada sebal. Meilin nyengir.

Permainan itu merupakan awal dari masalah.

Alana menjadi penjaga. Dia harus mencari kedua temannya. Ia pun memeriksa semak semak yang ada disekitar taman.

"Duh, kemana si mereka?" batinnya
"Srek srek"

Alana mendekati sumber suara tadi. Namun, dia tidak menemukan apapun. "Mungkin aku salah dengar," pikirnya. Dia terus mencari teman temannya sampai dia capek.

"Hei kalian. Keluar lah. Aku lelah mencari kalian," teriak Alana. Seketika pandangannya gelap. Ada yang menutup matanya. Alana pun meraba tangan tersebut. Siapa tau Meilin atau Rara mengerjainya.

Namun, dia salah besar. Itu bukan tangan Meilin atau pun Rara. Melainkan....

Humanitic itu kembali lagi.

Namun, Alana tidak sadar kalau itu humanitic. "Mei, cukup. Jangan mengerjai aku lagi," kata Alana. "Alana..." humanitic itu mulai memeluk Alana lagi, tanpa membuka mata Alana. Lalu, dia memegang tangan Alana dan mengambil sesuatu dari tangan Alana. Namun, .....

"Na, kamu senyum senyum sama siapa?" tanya Meilin khawatir. Mata Alana sudah dibuka. "Eh? Berarti tadi siapa?" tanya Alana balik. "Siapa, Na?" kini giliran Rara bertanya. "Apakah kalian tadi melihat seseorang di belakangku?" tanya Alana. Rara dan Meilin pun menggeleng.

Seketika Alana merasa merinding. "Jangan jangan itu..."

"Mei. Na, kita balik saja ke kamar masing masing," kata Rara. Alana dan Meilin mengangguk. Mereka balik ke kamar masing masing.

Saat Meilin dan Alana sudah mau masuk kamar, Rara memanggil Alana.

"Na"

Alana menoleh. "Ada apa?" tanya Alana. Rara pun langsung memeluk Alana dan menangis. Dia berusaha agar Alana tidak mengetahui kalau dia menangis. "Selalu hati hati, Na. Kamu bukan anak biasa," kata Rara melepas pelukannya. Alana mengangguk dan memasuki kamarnya.

Rara sebenarnya tau kalau ada humanitic di belakang Alana tadi.

⛺⛺⛺

Alana: Future in PresentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang