EPS 4

6 2 0
                                    

Mereka hidup di dunia ini tidak pernah tahu menahu mereka berasal darimana. Mereka cukup tau kalau mereka terlahir ke dunia ini.

Kring... kring...

Hape Alana berbunyi. Ada yang menelponnya. Alana pun langsung melihatnya. Ternyata dari kedua orang tuanya.

"Halo Alana? Apa kabar?"

"Baik, yah. Bagaimana dengan kabar kalian berdua?" tanya Alana. Mereka pun berbincang bincang tentang keseharian di rumah dan keseharian Alana di asrama.

"Alana, nanti kalau kamu sudah tamat sekolah. Kamu cepat pulang kesini ya," kata Ibunya. "Iya, Bu. Alana pasti akan pulang kesana," kataku. "Yaudah ya. Alana mau main dulu sama teman. Bye mom and dad," kata Alana. "Bye too, Alana," kata ayahnya. Telepon pun dimatikan.

Alana pergi menuju lapangan bulu tangkis. Disana ia akan bermain melawan Kinan.

Tapi, perkiraannya salah besar.

Dia justru melihat Meilin, Rara, dan Leo dibekap oleh humanitic. Disana juga ada Rifki dan Kinan tapi mereka tidak dibekap.

"Apa yang terjadi?"

"Hai, Alana. Apakah kamu bingung kenapa ada banyak humanituc disini," kata Rifki. Alana diam saja. Dia tau kenapa ada makhluk itu. Tapi, kalau pembekapan kepada teman temannya itu sudah diluar batas.

"Lepaskan teman temanku," katanya tegas. "Ohh yaa... bagaimana mungkin aku semudah itu melepaskan semua tawananku," kata Kinan. "Mau kalian apa?" tanya Alana. "Ya sudah jelas. Dirimu," kata Rifki. "Baiklah aku menyerahkan diriku. Tapi, lepaskan semua teman temanku," kata Alana. "Wahh... cukup cepat ya dibujuk," kata Rifki sambil menepuk tangannya.

Setelah semua teman temannya dilepas, Alana maju untuk menyerahkan diri.

Namun, perkiraan mereka salah.

Alana berubah 180°. Dia mengambil pedang transparan yang ia selalu bawa bawa. Pedang itu menyala berwarna biru.

Alana menyerang seluruh humanitic itu dengan ganas. Satu per satu kepala humanitic itu dipenggal oleh Alana. Rifki dan Kinan tidak menyangka hal itu akan terjadi. "Panggil humanitic  berkode 2FT" kata Rifki menyuruh Kinan. Tidak perlu disuruh dua kali, ia segera memanggil humanitic itu.

Dalam satu detik humanitic itu muncul. Alana tau, itu bukan humanitic seperti tadi. Humanitic itu lebih cerdas. Dia harus berpikir sebelum menyerang.

Saat berpikir itulah yang dimanfaatkan oleh humanitic itu. Humanitic itu sangat cepat. Humanitic menyerang Alana disaat lengah. Alana pun terkena serangannya beberapa kali.

"Kalau bertarung jangan bengong, Na,"

Aku menoleh. Rara sudah berdiri disamping Alana. "Kamu mau apa, Ra? tanyanya. "Tidak ada waktu untuk bertanya. Kita selesaikan dulu pertarungannya," kata Rara. Alana mengangguk.

Rara mengeluarkan pedang transparannya. Pedangnya berwarna kuning menyala. Mereka berdua bekerjasama. Ketika Alana berfikir untuk langkah selanjutnya, Rara menyerang humanitic itu. Begitu juga sebaliknya.

Beberapa menit kemudian, Alana dan Rara  memenangkan pertarungan. Mereka berdua benar benar kehabisan tenaga. Mungkin ini baru pertama kali mereka bertarung.

Alana pun pingsan.

------

2 jam kemudian, Alana sadar. Dia pun melihat sekelilingnya. Hutan. "Dimana aku?" gumannya.

"Eh, Na. Dah bangun lu," kata Rara. "Dimana kita, Ra?" tanyanya. "Ya ampun, Na. Sudah jelas jelas kita di hutan," kata Rara. "Eiya, aku juga tau itu. Maksudnya siapa yang ngebawa kita kesini?" tanya Alana. "Tuh mereka berdua," kata Rara. "Mereka siapa? Rifki dan Kinan?" tanya nya cemas. "Ya bukanlah, Na. Coba lu tebak siapa kira kira?" kata Rara. Alana berpikir. Tepat disaat ia berpikir orang yang dimaksud Rara datang.

"Yaelah. Lola amat si lu, Na mikirnya," kata Meilin. Ia datang bersama Leo. "Aih.. kalian kok bisa disini?" tanyanya. "Etdah, Na. Kamu tadi denger ga si kata kata Rara. Kami berdua yang bawa kalian kesini," kata Leo. "Emang ini dimana? Sepertinya ini bukan kawasan sekolah," katanya. "Ya emang bukan," kata Leo. "Terus ini dimana?" tanya Alana lagi.

"Di Mars,"

Alana memasang raut muka bingung.

"Yaelah, Na. Yakali di Mars beneran. Ini di kampung halamanku," kata Meilin. "Ehh nanti ke sekolahnya gimana?" tanya Alana. "Masih ae mikirin sekolah. Udah elah gosah sekolah," kata Rara santai.

Mereka berempat pun bercerita tentang dirinya masing masing. Alana selalu ada pedang di baju yang ia pakai. Entah siapa yang menaruhnya. Rara, sudah tahu dari lama. Ia juga yang waktu itu pertama kali melihat Alana dengan humanitic. Sedangkan Leo dan Meilin belum tau apa yang mereka bisa lakukan. Mereka hanya tau teknik berteleportasi dan berbicara dengan alam.

"Eh..."

"Kenapa, Na?"

"Ini kan sudah mau malem. Kalian serius mau tidur di hutan belantara kea gini?" tanya Alana. Meilin pun tertawa. "Na, ini bukan di dunia kita biasanya. Aku tidak tau tempat ini namanya apa. Hutan ini tidak ada hewan atau serangga yang membahayakan. Aku sudah memeriksanya," kata Meilin. Alana pun manggut manggut.

Matahari pun terbenam. Bintang bintang di langit mulai bermunculan. Alana sangat senang melihat hal itu. Langit disini lebih banyak bintangnya ketimbang di kota. Sekitar jam 9 malam, mereka pun tidur.

Disini petualangan mereka akan di mulai.

Alana: Future in PresentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang