Awal

356 26 24
                                    

Hai perkenalkan namaku Aniya, mungkin kalian bingung ataupun bertanya-tanya ,apa arti dari nama itu ? Atau pertanyaan lain yang muncul di benak kalian, tapi nama itu mengingatkanku pada seseorang yang banyak menggoreskan kenangan dalam hidupku.

Sosok yang membuat hati ini menghangat bila melihat senyumannya.

Sosok yang banyak berkorban untuk ku.

Sosok yang memiliki hati selembut sutra.

Sosok yang terkenal pantang menyerah.

Sosok yang dikenal banyak orang.

Sosok yang begitu amat kucintai dan banyak yang mencintainya.

Sosok yang membuat hati ini teriris pilu jika mengingat kehadirannya yang meninggalkanku untuk selamanya.

🍁🍁🍁

Ibu masih sibuk di depan laptopnya, terus mengetik kata demi kata, menjadi sebuah tulisan yang ditunggu banyak orang di luar sana.

Aku sebelumnya tak percaya bahwa Ibu seorang penulis terkenal, sudah banyak karya beliau yang diterbitkan sejak SMP. Bahkan menulis adalah hal yang sudah menjadi rutinitas sehariannya, sudah menjadi hobi yang mendarah daging pada tubuhnya. Kata kakek menulis itu memang sudah menjadi kebiasaan Ibu sejak kecil yang mempunyai hobi sama persis sepertiku, walaupun beliau begitu sibuk tetap saja ia bisa meluangkan waktunya untuk kedua anaknya tercinta.

"Ibu.. lihat, gambaranku" aku menunjukkan gambar sebuah gunung, diantara kedua gunung itu muncullah sebuah matahari berwarna kuning cerah. Gambar yang sudah biasa dibuat oleh anak seumuranku.

"Cantik gambarnya" Ibu tersenyum kearahku lalu mengelus pelan rambutku yang panjangnya sebahu.

"Gambarku lebih cantik" kakak laki lakiku tak mau kalah, ia menunjukkan gambaran mobilnya.

"Iya dua-duanya cantik" Ibu tersenyum, kemudian melanjutkan kegiatanya, aku mencoba melihat laptop yang sedari tadi berada di pangkuan Ibu. Hanya ada layar yang berisi sederet tulisan, namun aku sama sekali tak mengerti, karena aku sendiri belum lancar dalam membaca.

"Ibu sedang apa sih?" tanyaku penasaran.

"Lagi buat cerita" Ibuku tersenyum. Ah.. senyum itu nggak pernah luntur sedikitpun dari wajahnya.

Senyum yang memikat ribuan pasang mata yang memandangnya.

"Ani, nggak main sama Mbak Sri?" tanya Ibuku menoleh ke arahku.

"Nggak, Ani mau sama Ibu" kataku naik ke atas kasur, kemudian duduk disamping Ibuku.

"Kalau besar apa Ani juga nulis kayak Ibu?" Tanyaku.

"Hm.. itu terserah Ani, tapi untuk Ibu, menulis adalah kehidupan Ibu sendiri"

Aku mengangguk, mencoba memahami kalimat yang Ibu katakan.

"Ani makan dulu ya? Pasti Mbak Sri lagi buat makan malam"

"Tapi.."

"Makan dulu yuk" Mbak Sri berteriak, membuat aku memajukan bibir karena kesal.

"Tuh makan dulu ya.." Ibu menoleh kearahku, mulai mengelus rambutku.

"Ibu nggak makan?" tanyaku

"Nanti Ibu nyusul" Ibu tersenyum. Aku mengagguk lalu turun dari kasur, berlari menghampiri Mbak Sri yang sedang menyiapkan makan malam.

Ibu tersenyum melihat punggung itu yang menghilang di balik pintu, tangannya mulai bergerak untuk mengetik lagi, namun suara cempreng yang khas itu kembali berseru.

Pinokio (Sudah Terbit!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang