Mr Cold's POV
Di tengah-tengah tidurku satu-satunya yang bisa kurasakan adalah panasnya ruangan ini. Padahal suara AC yang sedang bekerja masih dapat terdengar jelas. Jadi dugaanku tentang mati lampu sama sekali tidak mungkin terjadi. Dan AC ini tidak mungkin sudah rusak mengingat ini hari pertama pemakaiannya.
Kukerjapkan sekali dua kali kelopak mataku yang terasa masih ingin menempel satu sama lain. Cahaya terang langsung menerpa mataku begitu mereka berhasil membuka sempurna. Pantas saja panas. Seluruh ruangan diterpa sinar matahari pagi yang menyelinap masuk dari jendela kamar di samping tempat tidurku, mengubah ruangan ini menjadi rumah kaca yang sangat sangat pengap.
Pertama-tama aku cuma menatap diam ke langit-langit, berpikir apakah penting untuk meringkuk keluar dari ranjang hanya karena sinar matahari sialan itu. Dan jawaban yang muncul adalah iya, aku harus rela meninggalkan ranjang yang nyaman ini sebentar jika ingin mendapat tidur yang nyenyak lagi. Ruangan ini terlalu panas untuk diabaikan.
Ahhh... menyebalkan. Gumaman kekesalan kukeluarkan karena tubuhku terasa sangat pegal dan sangat menolak untuk berjalan ke jendela yang hanya berjarak kurang satu meter dariku. Sebaiknya gorden nganggur di sebelah jendela itu melakukan tugasnya dengan baik atau sia-sia semua perjuanganku.
Kakiku sudah bersiap melangkah ke lantai yang dingin itu, tapi tiba-tiba ada sesuatu yang menahanku untuk bergerak lebih jauh. Kukira selimut yang kupakai tidak sengaja membelit tubuhku. Jadi aku berbalik ke arah tempat tidur dan menemukan bahwa bukan selimut yang menahanku, tapi sepasang tangan yang sedang melingkari posesif perutku.
Kenapa aku bisa lupa? Satu penyebab lain kenapa aku merasa kepanasan. Ada sebuah penghangat gratis yang mulai dari kemarin malam dan untuk malam-malamku berikutnya selalu tersedia untukku. Penghangat ini jugalah yang menyebabkan aku tidak bisa bergerak sekarang.
Perlahan aku mencoba melepaskan pelukan yang dibuat oleh kedua tangan lembut dan kecil ini. Tapi berbeda dengan penampilannya, tautan kedua tangannya sangat kuat dan tidak bisa terpisahkan. Aku gagal melepaskan diri dan hanya membuatku semakin kepanasan. Pelukannya semakin erat setiap aku mencoba menjauh. Bahkan bernafas jadi cukup sulit karena pelukannya. Kalau begini hanya ada satu cara tersisa untuk melepaskan diri dan menggapai gorden itu juga menyelamatkan hidupku. Membangunkannya.
Aku jauhkan rambut-rambut halusnya ke belakang telinganya dan berbisik cukup kencang, "Janet, lepaskan aku sebentar."
Tidak ada jawaban dan tindakan yang kuharapkan dari orang di sebelahku. Hanya terdengar suara dengkuran yang sama seperti sejak pertama aku terbangun. Artinya dia masih sepulas tadi. Dapat kurasakan lengannya masih menarikku ke arahnya dengan erat. Kebiasaan jelek Janet, memelukku seakan sedang memeluk bantal guling.
Bukannya aku tidak suka dipeluk. Faktanya aku malah ingin dia memelukku setiap saat, apalagi saat-saat kulit kami berdua bisa langsung bersentuhan tanpa terhalang apapun. Tapi setiap saat Janet memelukku dalam tidurnya, dia selalu tidak kepikiran kalau dia sedang memeluk suaminya sendiri, bukan guling (kami bahkan tidak punya bantal guling). Jadi pelukannya selalu sangat erat (dan mematikan).
Yaahh... Aku juga tidak bisa menyalahkan Janet jika menganggapku sebagai bantal guling. Karena pada awalnya akulah yang menganggapnya tidak pernah ada. Aku selalu menjauhi dirinya dengan dendam yang tidak masuk akal sebagai alasanku, bahkan ketika tidur. Sehingga mungkin muncullah kebiasaan ini.
Berkali-kali kulakukan hal kejam menyakitkan kepada Janet yang lugu dan rapuh ini. Saat itu aku tidak tahu akan sangat menyesal seperti sekarang telah melakukannya.
Tapi kemarin segalanya telah berubah. Paling tidak aku sudah berubah. Setelah aku menyadari permata macam apa yang sedang berusaha kubuang, aku lakukan apa yang kulakukan kemarin. Bersumpah sekali lagi akan terus mencintai wanita di sampingku ini di setiap kondisi. Kunikahi dirinya sekali lagi setelah men'cerai'kannya. Kali ini pernikahanku kumulai dengan ketulusan cintaku padanya, bukan dendam lagi. Hal itu aku janjikan pada Janet kemarin dan untuk selamanya. Aku sangat bersyukur dia mau mencoba mempercayaiku sekali lagi walau pilihan menolakku lebih baik untuknya.
Jadi, ini kedua kalinya dia memelukku dengan sekuat tenaga sampai aku tidak bisa bergerak sama sekali. Rasanya satu dua tulang rusukku akan patah jika pelukan mematikan ini terus berlanjut setiap malam. Padahal ketika dalam keadaan sadar Janet sangat tidak berdaya jika berhadapan denganku. Sekarang akulah yang tidak berdaya di dalam pelukannya.
Rambut panjangnya berkali-kali menggelitikku ketika dia menggeser kepalanya lebih mendekatiku. Siksaan yang menyiksa tapi juga menyenangkan. Aku hanya bisa mengambil nafas pasrah ketika dia masih tertidur setelah aku mencubiti pipinya berkali-kali. Janet tidak akan bangun dalam waktu yang singkat dan kemungkinan ia melepaskanku dalam tidurnya adalah nol persen. Kenapa? Sudah dua puluh menit berlalu berlalu dan dia tidak bergerak sama sekali telah menghilangkan harapanku.
Sepertinya aku harus berusaha berteman dengan panas dan pelukan mematikannya mulai hari ini.
**
"Dan..." Terdengar suara bisikan yang membelai pelan telingaku. Aku hanya mengabaikannya karena godaan untuk terlelap masih menguasaiku sepenuhnya.
"Dan, bangun." Suara itu kembali muncul dan kali ini disertai dengan sedikit tepukan di pipiku. Tapi aku masih hanya tetap diam bergeming mengabaikan gangguan-gangguan kecil itu.
"Daniel..." Pipiku yang malang sekarang dicubit oleh Janet yang kesabarannya sudah menipis. Awalnya kukira dia hanya akan mencubitku sebentar sepertiku tadi dan akan menyerah sebentar lagi. Tapi cubitannya tidak berhenti bahkan setelah beberapa menit lewat. Tidak kusangka dia bisa sengotot ini hanya untuk membangunkanku.
"lima menit lagi..." Pintaku sambil menjauhkan pipiku dari tangannya. Bukan menjauh juga sebenarnya, tapi lebih menyelinap masuk ke lekukan lehernya.
Setelah memohon tambahan waktu Janet melepaskan cubitannya, tapi sekarang tangannya malah menargetkan kedua mataku yang masih tertutup. Kedua mataku dipaksa untuk membuka lebar-lebar dengan ditarik berbarengan ke atas dan ke bawah.
"kau sudah mengatakan hal yang sama sejak setengah jam yang lalu, Dan. Sekarang juga kau harus bangun."
Aku mengerutkan dahi mendengar perkataan Janet. Memang tadi aku sempat bermimpi mendengar Janet memanggilku, ternyata itu nyata. Tapi aku benar-benar masih ngantuk sehingga aku tidak memenuhi permintaan Janet yang satu ini. Masih kekeh tidak ingin bangun, aku berpura-pura mengeluarkan suara dengkuran agar Janet menyerah.
Pada akhirnya Janet menyerah membangunkanku dan berhenti bergerak. Aku akan kembali tidur jika dia tidak berbisik sekali lagi, "setidaknya lepaskan saja pelukanmu ini agar aku bisa mulai bebersih dulu."
Kucoba menyadari di mana posisi kedua tanganku sekarang dan ternyata tanganku telah bersenang-senang lebih dahulu dibandingkan aku. Tangan kiriku yang menopang kepala Janet tadi sekarang melingkari bahu kecilnya dan menarik dirinya ke arahku. Sedangkan tangan kananku malah sudah berada di posisi yang strategis untuk dapat merasakan punggung mulusnya itu. Tadi Janet yang memelukku sehingga aku tidak bisa bergerak, sekarang gantian aku yang melakukan hal itu.
Rasa ngantukku langsung hilang dan berganti menjadi rasa iseng. Siapa yang sangka bangun pagi dapat berubah menyenangkan dengan seorang wanita lugu di sampingku?
Kubuka sebelah mataku untuk menatap Janet yang sedang memainkan ujung rambutnya, lalu menariknya lebih mendekat. "tadi kau juga mendekapku seperti ini, malah lebih erat. Jadi aku hanya membalasmu."
Suara Janet langsung berubah menjadi kaget. "Aku memelukmu?"
Janet merangkak sedikit ke atas agar bisa menatap langsung ke arahku. Alisnya berkerut seakan tidak percaya dan perlahan pipinya mulai memerah. Ya ampun, setelah apa yang semalam kami lakukan, mukanya masih bisa memerah karena ketahuan ingin memeluk suami dalam tidurnya? Kenapa dia masih sepolos ketika aku pertama bertemu dengannya? Dan kepolosannya ini mau tidak mau selalu memancingku untuk mengisenginya lagi dan lagi. "ya tapi tidak hanya itu, kau melakukan jauh lebih dari sekedar pelukan. Kau benar-benar tidak ingat sama sekali?"
Muka Janet semakin memerah sekarang dan dia menggelengkan kepalanya sambil menyembunyikan wajahnya dari tatapanku. Dia menanyakan hal yang sama seperti tadi, "aku memelukmu? Kau yakin?"
"tentu saja. Aku merasakan semuanya, Janet. Gerakanmu, sentuhanmu, rintihan puasmu ketika berhasil membuatku semakin lapar denganmu. Rasanya, kita berdua jadi bertukar peran tadi pagi karena kaulah yang lebih aktif melakukannya." Aku berbicara dengan penuh keyakinan dan sedikit memeragakannya agar dia tambah mempercayaiku. Setelah sedikit ciuman dan sentuhan sepertinya telah membuat Janet sangat yakin dengan perkataanku. Dan suaranya terdengar semakin panik, "tapi... tapi di mimpiku aku hanya memelukmu. Itu saja." Gumamnya dengan suara sangat kecil sampai aku hampir melewatkannya. Apa? Mimpi?
"kau bermimpi tentangku? Coba ceritakan." Rasanya agak menyenangkan menyadari ada yang bermimpi tentangmu.
"hanya mimpi biasa... tidak penting." Tolak Janet.
"tidak apa-apa, aku ingin tahu."
"aku lupa."
"kau tidak lupa. Kau hanya ingin aku tidak tahu."
"ya, aku lupa dan walau ingat pun aku tidak ingin kau tahu." Balas Janet terakhir kalinya. Janet keras kepala tidak mau menceritakan apa mimpinya. Sayangnya aku juga keras kepala ingin tahu apa mimpinya dan aku akan mengetahuinya.
Janet terdiam dan aku hanya terus memandanginya. "oke, aku tidak memaksa jika kau memang bersikeras lupa. Tapi mungkin aku bisa membantumu mengingat kembali dengan melakukan ulang apa yang kau lakukan tadi pagi. Bahkan berkali-kali jika kau masih tidak ingat juga. Bagaimana?"
Aku tidak masalah dengan hal yang baru kukatakan, toh aku menikmatinya. Tapi tidak dengan Janet. Mukanya yang mulai memerah lagi menunjukkan dia akan menceritakan mimpinya sebentar lagi.
Dan aku sengaja memanas-manasinya kembali, "kau tahu, kau benar-benar berbeda tadi pagi. Bahkan aku sampai harus beristirahat sebentar untuk bisa memuaskanmu." Aku tidak mengerti kenapa Janet bisa terjebak dalam tipuanku yang sudah tidak masuk akal ini. Apa mungkin karena sebenanya perkataanku ini semua benar? Bahwa Janet tidak sepolos dugaanku? Mungkin aku hanya belum mengenal Janet sepenuhnya.
"mimpiku hanya... ketika hari pernikahan Kak Alena dan Kak Mori saat aku mengejarmu ke lapangan parkir. Waktu itu kau terus dan terus berjalan pergi, tapi di mimpiku kau berhenti dan berbalik. Lalu aku berlari dan memelukmu. Itu saja sebenarnya. Makanya... aku kaget waktu kau bilang aku memelukmu... apalagi melakukan yang aneh-aneh!" Tegas Janet.
Mataku melebar mendengar isi mimpinya. Dulu aku memimpikan Janet dan menciumnya secara nyata, sekarang Janet memimpikanku dan berakhir dengan memelukku seperti mimpinya. Tidak perlu sesuatu yang lain lagi untuk membuktikan bahwa kami berdua sangat mirip.
Janet menjelaskan dengan wajah sedatar mungkin tapi aku dapat melihat gerak-gerik yang biasa dia lakukan untuk menyembunyikan rasa malu. Tangannya yang merapikan rambutnya ke belakang telinganya. Mata hitamnya yang tidak bisa memandangku balik. Padahal tidak ada yang salah dari memimpikan suami sendiri.
Sepertinya sifat pemalunya di hadapanku ini tidak akan hilang walau beberapa tahun lewat. Dan aku harus terbiasa untuk tidak mengisenginya setiap saat.
Tapi aku benar-benar tidak tahan untuk tidak menyentuhnya sekarang setelah kepolosan luar biasa yang dia tunjukkan padaku, makanya aku menciumnya sedikit. Mungkin banyak. Aku tidak tahu. Aku tidak menghitungi semuanya ketika sudah masuk belasan kali.
Rambut panjangnya sangat mengganggu aktivitas kami sehingga aku berhenti sebentar untuk mengikat asal rambutnya. Seharusnya aku tidak usah berhenti agar Janet tidak punya waktu untuk berpikir dan bertanya.
"jadi yang kulakukan selain memelukmu adalah menciummu?" Pertanyaan yang sangat polos keluar dari bibirnya yang tadi kunikmati. Entah dari mana Janet bisa menyimpulkan seperti itu secara aku tidak mengatakan apapun lagi.
Decakan kagum anehnya keluar dari Janet yang mengira diam berpikirku artinya iya. Dia merasa kagum dengan dirinya yang bisa mencium orang lain ketika tidur. Janet, bahkan untuk seorang playboy profesional saja aku tidak yakin dapat mencium orang tepat di bibir ketika tertidur, apalagi dirimu.
Setelah aku selesai menguncir rambutnya Janet menghadap ke arahku lagi, tapi kali ini ditambah dengan senyuman gembira. Sangat gembira. Entah kenapa sepertinya dia sangat bahagia menemukan dia bisa mencium orang sewaktu tidur. "anggap kau hanya memelukku oke? Dan pembicaraan ini berakhir sampai di sini." Aku tidak ingin dia berharap terlalu tinggi dan menemukan aku hanya berbohong. Rasa bersalahku muncul sekarang setelah melihat senyum polosnya.
"kau iri?"
"hah?"
"kau iri dengan keahlian baruku?" Janet memanjangkan kalimatnya agar dapat lebih kumengerti. Masalahnya bukan pendek panjang kalimatnya yang membuatku bertanya ulang, melainkan isinya.
"iri? Aku? Tidak, aku tidak iri." Mungkin aku akan iri jika aku seorang suami yang ingin dapat selalu memuaskan pasangannya bahkan waktu terlelap. Tapi karena sewaktu kecil aku tidak tidur sendirian melainkan bersama adik lelakiku, aku tidak jadi merasa iri.
Janet masih terus menatapku seakan-akan aku hanya menyangkal suatu kebenaran. Tatapan itu memberiku rasa tidak nyaman, lebih tepatnya bersalah. Akhirnya aku memutuskan untuk segera melakukan sesuatu agar bisa menghindari senyuman itu.
"mungkin memang sudah saatnya untuk bangun."
**
Melihatnya memandangi lama dress yang kemarin dia pakai, aku yakin aku tidak salah memilih sewaktu di butik. Dari semua dress yang ada di toko hanya dress itu yang memenuhi semua rekomendasi yang Alena berikan. Alena memberitahuku apa saja yang disukai Janet dan apa yang tidak lalu akulah yang pergi mencari. Aku tidak ingin membuat masalah dengan Mori ataupun Janet karena berjalan berduaan dengan Alena seharian. Apapun alasan kami pergi berdua, rasanya tidak terasa benar. Karena Alena dan aku sama-sama sudah saling memiliki dan dimiliki.
Pelukan dari belakang berhasil mengalihkan pandangannya padaku. Dia mencoba melepaskan diri untuk menghindari tetesan air yang jatuh dari rambutku. Aku meminta satu ciuman sebagai bayaran. Dan dia langsung menciumku tanpa mengadu mulut denganku. Suatu kemajuan untukku. Tapi dia menciumku bukan di tempat yang kuharapkan, di pipi. Karena itu aku menciumnya sekali lagi sebelum aku melepaskannya.
Sambil kukeringkan rambutku dengan handuk, aku menyuruh Janet untuk pergi mandi. "biar aku yang masak sarapan karena kau telah cukup berberes hari ini. Kau mandi saja." Ucapku pada Janet yang masih merapikan sprei ranjang. Membereskan kekacauan yang kami berdua buat (tepatnya aku) tadi malam cukup melelahkan. Pakaian berserakan di setiap tempat. Sprei ranjang malah sudah terjatuh ke lantai. Aku sudah berpakaian lengkap dan siap untuk pergi ke kantor selama Janet baru selesai berberes.
Setelah memasukkankan semua pakaian bekas ke dalam keranjang baju, Janet memberiku jawaban yang sudah kuduga. "tidak apa-apa. Biar aku buat sarapan dulu untukmu baru aku pergi mandi."
Sepertinya dulu aku pernah bilang aku tidak menyukai wanita yang terlalu penurut dan pendiam, tapi sekarang malah kebalikannya. Aku malah menunggu-nunggu kapan Janet akan langsung menuruti permintaanku tanpa berkata apa-apa. Dan hari ini jelas bukanlah yang kutunggu-tunggu itu. Tapi aku tetap punya cara untuk membuatnya menurutiku.
Kugenggam tangan mungilnya sampai dia memandangku, "aku yang kenapa-kenapa kalau kau tidak pergi mandi dan memakai pakaian yang pantas sekarang juga, Janet. Apa kau pikir semalam melakukannya membuatku berhenti menginginkanmu di tempat tidur sekarang? Justru aku malah semakin menginginkanmu..." Bisikku di telinganya. Aku melepas dasi yang baru saja kupakai untuk membuktikan aku tidak main-main.
Dan Janet langsung pergi ke kamar mandi tanpa berkata apa-apa lagi. Aku memasang kembali dasiku sambil tertawa terbahak-bahak.
Aku tahu aku akan mendapat balasan atas ini semua, tapi reaksinya yang polos selalu terlalu menarik untuk dilewatkan. Andai aku tahu balasan untuk perbuatan jahatku ini sangat merepotkanku di masa depan, mungkin aku akan berhenti tertawa sekarang. Sayangnya aku tidak tahu dan hanya tetap tertawa.
**
Nasi goreng telah tersedia di meja makan sejak beberapa menit yang lalu tapi Janet masih belum turun juga. Perutku rasanya sangat kosong sehingga detik-detik penungguan berubah menjadi menit. Berulang-ulang kutatap handphoneku dan tangga rumah sampai bosan. Sendok makan di tanganku sudah siap untuk dipenuhi oleh butiran nasi berwarna coklat muda yang ada di sampingnya.
Lalu akhirnya aku mendengar suara orang menuruni tangga selangkah demi selangkah. Aku mengeluarkan helaan nafas panjang. Ketika melihat bayangan orang, aku berniat mengeluh apa yang membuatnya sangat lama sambil memulai makan. Tapi tiba-tiba niat mengeluh itu hilang, begitu juga nafsu makanku. Aku masih lapar, tapi sekarang yang lapar bukan perutku lagi.
Supaya tidak membuat bosan mendengarku menjelaskan panjang lebar, aku merangkumnya dalam satu kalimat. Aku salah ketika mengatakan Janet yang sudah berpakaian lebih pantas dapat membuatku merasa lebih tentram.
"wanginya enak sekali." Pujinya sambil duduk di hadapanku.
Aku tidak menjawabnya. Tepatnya aku tidak melakukan apa-apa sampai Janet selesai mengambil seporsi makanan untuknya. Dia menggoyangkanku sedikit agar aku tersadar dan bergerak. Tapi percuma. Setelah beberapa saat aku akan kembali melamun menatapnya lagi.
Ada sesuatu yang aneh, tapi aku tidak tahu apa itu. Aku terus memandangi Janet untuk mencari tahu. Walau tatapan balik darinya sering memecah konsentrasiku namun akhirnya aku tahu. Janet mengenakan pakaian yang dipakainya untuk pergi ke kantor.
"kau mau kemana setelah ini" Tanyaku basa-basi.
Janet menyuruhku menunggu karena dia sedang mengunyah sesendok penuh nasi goreng. Setelah berhasil menelan baru dia menjawab, "tentu saja pergi ke kantor."
"Janet, kau sudah tidak bekerja di kantorku lagi."
"kenapa!?" Tanyanya kaget sampai hampir air yang diminumnya menyembur keluar.
"bagaimana mungkin aku membiarkanmu tetap bekerja setelah tahu tentang penyakitmu?"
Janet terlihat sangat tidak setuju dengan kalimatku, "tapi penyakit itu jarang kembali. Hanya saat-saat tertentu saja."
"aku tidak mau ambil resiko. Pokoknya kamu di rumah saja." Saat-saat tertentu itu bisa datang kapan saja ketika aku masih membiarkan dia bekerja. Alergi, stress, kedinginan, apapun di kantor dapat sedikit melukai wanitaku, karena itulah aku tidak membiarkannya bekerja lagi. Cukup sekali saja dia terpaksa menginap di rumah sakit karena perempuan-perempuan gila di kantorku itu.
Mukanya langsung berubah menjadi muram begitu mendengar keputusanku. Perasaanku juga menjadi tidak enak melihat kemuramannya ini. Apa keputusanku tidak membiarkannya bekerja tidak bijak? Tapi bukan semestinya dia senang jika tidak harus bekerja lagi?
Aku berhenti makan dan berjalan menghampirinya. Dari posisiku sekarang dia benar-benar terlihat sedih. "dengar Janet, ini untuk kebaikanmu sendiri. Lagipula kenapa kau tetap ingin capek-capek bekerja padahal aku sendiri saja sudah cukup?" Kuelus wajahnya perlahan. Menurutku lelaki lah yang menjadi pencari nafkah sepenuhnya dan tidak perlu membebani istrinya. Kecuali jika memang penghasilanku tidak cukup. Tapi sepertinya Janet punya pemikiran sendiri.
"tidak semua wanita menikah dengan tujuan hanya agar bisa bersantai-santai di rumah. Memang bersantai-santai di rumah menyenangkan, tapi juga cepat membosankan. Dan aku lebih suka bekerja di kantor dibanding di rumah." Jelasnya.
Kata-katanya masuk akal, tapi tetap, aku masih ragu untuk membiarkannya tetap bekerja. Bayangan akan menemukan Janet masuk rumah sakit lagi karena bekerja benar-benar menakutiku sampai ke sumsum tulang.
Aku masih menimbang-nimbang keputusan apa yang akan kuambil sampai Janet berbicara lagi, "kalau aku di rumah saja, aku hanya bisa bertemu denganmu pagi atau malam. Sedangkan kalau aku bekerja di kantormu paling tidak aku bisa berpapasan denganmu sekilas." Katanya sambil menunduk malu.
Senyumku mengembang seakan ditarik bersamaan ke kiri dan ke kanan. Aku mencium ubun-ubunnya lalu mengelus kepalanya untuk kepintaran yang baru dia tunjukkan, "kau tahu aku tidak mungkin menolakmu lagi setelah mendengar alasan yang terakhir."
**
Di awal-awal Janet terlihat begitu bersemangat ketika aku membiarkannya bekerja, tapi sekarang dia diam dan terlihat gugup semakin mendekat ke kantor. Apalagi saat sudah sampai.
Janet berdiri terlalu cepat sehingga kepalanya dengan keras membentur atap mobil. Aku terpaksa membantunya keluar pelan-pelan agar dia tidak terbentur untuk kedua kalinya. Rintihan kesakitannya terdengar ketika aku mengelus pelan kepalanya. Kedua matanya dipejamkan untuk menahan air mata keluar. Aku hanya bisa merengkuh bahunya sambil menunggu sakit yang dirasakannya mereda.
"kenapa kau bisa seceroboh ini?" Benar-benar. Aku sangat khawatir membiarkannya tetap bekerja jika dia berlaku seperti ini terus.
Tangannya diangkat mengisyaratkan dia tidak apa-apa, tapi kekhawatiranku masih belum juga hilang. Aku mengajaknya mulai berjalan saat Janet sudah dapat membuka matanya. Ketika kugandeng tangannya yang terasa adalah dingin dan basah. Dia tegang sampai berkeringat. Tapi kenapa dia bisa setegang ini?
"Janet..." Panggilku padanya sambil tetap berjalan.
"hm..." Jawabnya singkat.
"tanganmu berkeringat."
"ah, iya. Panas."
"kau bukan kepanasan. Kau sedang tegang."
"Sepertinya... sedikit..." Jawabnya ragu-ragu.
"kenapa?"
Kutatap matanya karena dia tidak juga menjawabku. "kenapa?" ulangku.
"ini... ini hari pertama orang-orang akan mengetahuiku sebagai istrimu. Dan aku belum tahu harus bersikap seperti apa yang pantas untuk status itu."
"bersikap seperti biasa?" Saranku.
Janet memberiku tatapan apa-kamu-bercanda. "kau tahu aku sudah tidak cukup cantik dalam penampilan. Jadi aku tidak boleh membuat sikapku terlihat tidak cantik juga."
"dan kau tahu alasanku menerimamu bukan karena penampilanmu ataupun sikapmu yang dibuat-buat."
"aku tahu... tapi orang-orang lain tidak. Aku tidak bisa percaya diri."
Janet, Janet. Kenapa kau masih saja tidak percaya diri? Tapi inilah tugasku untuk mencoba mengubahnya. Dan aku tidak akan menyerah untuk terus meyakinkannya.
Aku menyuruh Janet diam menunggu sementara aku berlari kembali ke mobil untuk mengambil sesuatu. Pandangan heran dilemparkannya ketika aku kembali dengan sebuah buku dan pulpen di tanganku.
"ingat sewaktu kita membicarakan tentang tokoh utama cerita romance punyamu?" Buku agenda yang masih kosong kubalik-balik sampai aku menemukan halaman terdepannya.
"ya?" Jawaban Janet lebih seperti pertanyaan karena tidak terdengar yakin.
"kau masih tidak yakin tentang perkataanku bahwa kau adalah tokoh utama ceritaku, bukan?"
"sedikit..."
"aku punya satu cara untuk meyakinkanmu." Aku berhenti di halaman terdepan buku dan mulai menggambar-gambar. Janet berniat mengintip apa yang kugambar tapi aku tidak membiarkannya. Setelah aku cukup puas dengan apa yang kuhasilkan barulah kutunjukkan padanya.
Kerutan di dahi Janet semakin banyak melihat gambarku. Sambil tersenyum bangga aku menjelaskan apa arti gambar dua stick man di tengah-tengah kertas. "ini aku." aku menggambar baju dan topi dan kumis pada salah satu stick man. Janet hanya mengangguk-angguk menungguku melanjutkan. "ini kamu." Kutambahkan rok dan rambut panjang juga karangan bunga di tangan stick man yang lain. Sekarang sepasang stick man itu menjadi pasangan suami istri atau mungkin sesama jenis yang sedang berusaha menikah (ternyata gambarku sejelek ini). Intinya dua stickman ini menunjukkan hubunganku dengan Janet.
"ya, lalu?"
"ini cover untuk ceritaku."
"ceritamu?"
"ya ceritaku. Ceritaku denganmu. Dari hari ini."
"untuk apa?"
"untuk meyakinkanmu bahwa ada cerita dimana aku dan kau adalah tokoh utamanya dan kita akan berakhir bahagia. Memang ini bukanlah buku cerita yang dipegang Tuhan, tapi siapa tahu suatu saat Dia bersedia membacanya dan menetapkan akhir cerita yang kubuat adalah akhir cerita yang pantas untukku. Yaitu aku dan kamu dan anak kita nantinya tanpa orang lain lagi." Aku menggambar sebuah senyuman di wajah kedua stick man yang sedang bepegangan tangan itu. Dan nampaknya senyum itu berhasil menular ke kami berdua. Nama kami berdua aku tulis di bawah stick man yang kugambar. Janet dan Daniel. Lalu aku membalik ke halaman berikutnya dan kata-kata mulai tercetak baris demi baris. Paragraf pembuka untuk ceritaku telah selesai.
Janet mendongak agar bisa membaca apa yang baru saja kutulis. Dan aku membiarkannya membaca sampai tiba-tiba air mata mengalir keluar darinya. Aku segera menyekanya dengan lengan jasku, tidak peduli apa yang akan menempel di sana.
"aku ingin kau membaca isinya nanti setiap saat kau ragu aku telah mencintaimu, karena apa yang kutulis nanti semuanya nyata kurasakan setiap hari bersamamu."
Kepalanya dia sandarkan di lenganku. "membaca paragraf pembukanya saja sudah membuatku begini, kau kira aku sanggup membaca isinya?"
"aku tahu tulisanku jelek, jadi tidak usah terlalu lebay." Pukulan ringan dilayangkan kepadaku bersamaan dengan dengan penjelasan Janet, "bukan itu maksudku."
Aku menatap ke arah gambarku sekali lagi. Jalan cerita ada, cover ada. Apa lagi yang kurang? Ah, judul. "menurutmu judul apa yang tepat untuk buku ini?"
Janet berpikir sebentar dan membisikkan sarannya padaku, yang sayangnya langsung aku tolak. "tidak itu terlalu kecewek-cewekan."
"nggak kok. Biasa saja."
"yang menulis diary itu hanya cewek. Kau ingin aku dianggap banci?"
"aku tidak memintamu menulisnya seperti buku diary. Cukup judulnya saja."
Aku menatap ke arah matanya dan dapat kutemukan niat iseng di dalamnya. Kata-kata 'diary' itu tidak akan berhenti di judulnya saja. "tetap saja tidak."
"bagaimana kalau kita suit saja? Jika aku menang buku itu harus pakai judul yang kusarankan."
Aku menerima tantangan Janet tanpa ragu-ragu. Biasanya aku sering menang dalam hal seperti ini. Tapi ternyata hari ini bukan hari keberuntunganku. Aku batu dan dia kertas.
Janet berteriak kesenangan dan menyuruhku cepat-cepat memberi judulnya di atas gambar dua stick man milikku. Berarti buku ini harus kusimpan di rumah. Aku tidak mau ketahuan membuat diary di umur segini. Argh, Mengapa Janet tidak simpatik sama sekali denganku?
Perlahan aku mengukir judul yang diberikan Janet agar terlihat indah, 'Diary of My Wedding'. Itulah judul buku yang akan mulai kutulis hari ini. Dan sepertinya rahasia terbesarku sekarang.
Buku itu kuserahkan ke tangan Janet dan dia melihatnya seperti aku telah menghadiahkan permata termahal. Tapi perasaanku mengatakan buku ini memang bernilai seperti itu untuk Janet.
"terima kasih." Ucapnya sambil memberikan senyuman padaku. Tangannya sudah tidak berkeringat dan raut mukanya sudah santai kembali. Aku masih tidak rela sebenarnya dengan judul yang dia berikan tapi itu terlalu sepele untuk dibahas dan untuk kehilangan senyuman itu.
Rambutnya yang panjang tertiup angin dan menutupi wajahnya. Jari-jari tanganku bergerak untuk meletakkan rambutnya di belakang telinganya. Senyuman yang tadi ada masih belum hilang. Kutempelkan punggung tangannya ke bibirku seraya menatapnya balik, "apapun untuk gadis pemaluku."
Dia membalasku dengan senyumannya. Dan tiba-tiba aku tahu apa yang akan kutulis untuk hari pertama.
"setiap saat seorang bidadari tersenyum, seorang iblis memutuskan untuk merangkak keluar dari neraka yang sangat dia nikmati agar dapat melihat senyuman itu lebih jelas. Kebiasaannya yang selama ribuan tahun lewat masih belum dapat iblis itu jelaskan alasannya pada teman-temannya. Dan baru detik inilah dia mengetahui alasannya...."====Continue to Diary of My Wedding====
Bagi yang cukup satu epilog, silakan baca sampai sini saja. Yang kurang nanti akan kusediakan.
Dan silakan diintip next part, sekilas tentang Jack loo
Makasih untuk yg mengoreksi keslahan yang kubuat di part 80 part 2! maaf tidak bisa membalas komen-komen, tapi tetp kutunggu komentar menarik dan memotivasinya ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold Marriage [Re-upload]
RomantikRe-uploaded until part 30 The previous and current cover made by @jennjennja. Aku tahu segalanya. Aku tahu dia datang padaku karena dendam. Aku tahu aku akan banyak menderita karenanya. Tapi nyatanya, aku tetap menerimanya menjadi suamiku. Kenapa? K...