Part 1

67 5 0
                                    

"Kandungan Ibu Revani sangat lemah, Pak. Ia akan rentan keguguran. Mesti dijaga baik-baik. Karena kondisi tubuhnya yang kurang subur. Banyak istirahat, dan jangan sampai banyak beban pikiran."

Wanita paruh baya yang mengenakan jas putih dan mengalungkan stetoskop di lehernya itu memperbaiki kacamatanya ketika Elvan menarik napas panjang. Mencatat banyak hal penting di atas kertas berwarna biru. Memberi stempel berwarna ungu. Tercetak jelas namanya dan pendidikannya.

"Nanti, setelah enam bulan ke atas, rajin-rajin konsultasi ya, Pak. Menghindari bayi yang terlahir sungsang."

Elvan mengangguk. Meraih kertas yang diberikan oleh dokter tersebut. Ia menjabat tangan dokter itu, kemudian berlalu menuju apotek. Rambutnya yang berantakan tambah kusut ketika ia menyisirnya dengan jemari. Tapi, itu tidak mengurangi ketampanan wajah Elvan. Lelaki itu tetap menjadi perhatian banyak orang.

"Ini obatnya boleh saya tinggal, 'kan? Antrian juga masih panjang sekali."

Apoteker di dalam ruangan ber-AC itu mengangguk sambil tersenyum ramah. Lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu berjalan cepat menuju lift. Ruang yang Rea pakai adalah ruang VVIP. Letaknya di lantai enam.

Elvan tersenyum ketika mendapati mata Rea terpejam. "Hei," sapanya. Rea tetap diam, pura-pura tidur.

Cup ....

Sebuah kecupan mendarat mulus di kening Rea. Membuat wanita itu langsung tersenyum dan membuka mata. Tidak bisa ber-acting lagi.

"Everything gonna be okay?"

Lelaki itu tersenyum mengangguk. Mengusap kepala Rea dengan sayangnya. Ah, betapa cantik istrinya. Wajah oval yang dilengkapi dengan hidung bangir itu terlihat sempurna. Apa lagi jika tersenyum.

"Ko!" panggil Rea lirih.

"Hm?"

Hening. Deru mesin pendingin ruangan mendominasi. Bergetar meniup-niup pewangi ruangan yang sengaja digantung di depannya.

"Kalau nanti aku melahirkan, lantas ternyata hanya satu yang bisa dipilih, aku mohon pilih bayi kita, ya," ujar Rea memegang tangan Elvan.

Elvan terdiam.

"Aku tahu sejak awal. Kandunganku lemah, aku rentan keguguran. Itu juga berarti, aku rentan gagal melahirkan."

Elvan mengusap kepala Rea.

"Koko sayang kamu. Apa pun yang terjadi. Vani, seandainya kita bisa memilih, Koko ingin kamu pergi lebih dulu. Biar Koko yang menanggung pedihnya ditinggalkan. Jangan kamu yang merasakan."

Rea memeluk Elvan. Entah mengapa hati Rea terasa resah sekali. Seolah awan hitam meliputi hatinya. Gundah, gelisah, takut. Rea takut ada yang akan menjadi tidak baik-baik saja.

"Entah kenapa, rasanya resaaaah sekali. Seperti sebak, mencekam di dada," ujar Rea seraya mengeratkan pelukannya pada Elvan. Suaminya balas memeluk dan mengusap punggung lemah itu.

"Semuanya akan baik-baik aja, Sayang. Koko mau beli makanan ke minimarket di seberang jalan, mau titip sesuatu?"

Rea menggeleng sambil tersenyum layu pada Elvan yang menggenggam erat tangannya. Seolah rapat sekali, Rea tidak ingin ditinggalkan oleh Elvan sedetik pun. Kali ini saja.

Lelaki dengan bibir seimbang itu tersenyum. Dikecupnya kening Rea ketika hendak pergi. "I still love you, Babe."

Tubuh tegap dan tinggi itu berlalu. Menyisakan bayangan seseorang berjalan di balik kaca buram. Rea menutup matanya. Meresapi rasa tak nyaman dan kegelisahan yang semakin besar.

KENDATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang