Part 2

57 7 0
                                    

Rea mulai siuman. Sesekali matanya mengerjap, menampar pipinya sendiri, mengusap susa-sisa keringat dan air mata. Rea kira ini hanya mimpi, ternyata ini adalah manifestasi mimpi terburuk yang pernah ada.

Beberapa orang yang duduk di sekitar Rea mulai sibuk memberikan air, mencarikan makanan, obat, minyak kayu putih, dan sebagainya. Tapi, yang Rea butuhkan sekarang bukan itu. Rea butuh Elvan, di sini, memeluknya dalam keadaan yang begitu menyedihkan. Rea butuh melihat Elvan baik-baik saja, menggenggam tangannya dengan erat tanpa rasa takut kehilangan. Rea butuh ikut pulang ke pangkuan Tuhan, menyusul cintanya yang meninggalkan Rea seorang diri.

Air matanya kembali turun membasahi pipi. Sesekali dia berusaha untuk tidak meraung, menahannya hanya menjadi sakit yang berada di hatinya. Wanita itu patah untuk ke berkian kalinya. Malahan ini adalah patah hati yang paling menyakitkan seumur hidupnya. Ditinggalkan oleh seseorang yang sudah terlalu dicintai. Seseorang yang namanya selalu berada di hati.

Kehidupan terus bergulir. Menghabiskan waktu. Rea menyesal tidak resign dari perusahaannya dulu di Kalimantan supaya mempunyai banyak waktu bersama Elvan. Rea menyesal telah menyia-nyiakan semua hal. Tentang keberadaannya, tentang cintanya, dan tentang bagaimana mereka berjuang untuk kembali ke kehidupan sebaik mungkin. Ia tak mampu lagi bicara. Hanya dapat menangis tanpa suara, menatap foto Elvan yang sedang tersenyum seolah berusaha menggoda Rea. Dipejamkannya mata sipit itu. Air mata semakin menderas. Hati Rea rasanya diremas-remas. Pedih itu begitu harfiah, memekakkan asa Rea yang sedang goyah. Patah sudah hilang arah, tak tau lagi ke mana harus melangkah.

Satu dua orang mulai pulang ke rumahnya masing-masing. Setelah tiga hari kematian Elvan rumah keluarga Abraham mulai sepi. Menyisakan Olive, Abraham, Alvaro, Farid, dan tentu Rea. Beberapa kali Aditya turut serta hadir ketika acaranya senggang. Datang bersama Khairunnisa, istrinya yang berparas ayu. Ikut menyemangati Rea seperti sahabat sendiri. Memeluk Rea yang sudah tak mau makan sejak tiga hari yang lalu.

Rea hanya terkurung sepi. Terkungkung sedan yang sunyi. Senandung Elvan menyanyikan lagu milik Westlife yang berjudul Soledad selalu terngiang di telinga Rea.

"If only you could see the tears
In the world you left behind
If only you could heal my heart
Just one more time
Even when I close my eyes
There's an image of your face
And once again I come to realise
You're a loss I can't replace

Soledad
It's a keeping for the lonely
Since the day that you were gone
Why did you leave me
Soledad
In my heart you were the only
And your memory lives on
Why did you leave me
Soledad

Walking down the streets
Of Nothingville
Where our love was young and free
Can't believe just what an empty place
It has come to be
I would give my life away
If it could only be the same
Cause I can't still the voice inside of me
That is calling out your name

Time will never change the things you told me
After all we're meant to be
Love will bring us back to you and me
If only you could see."

Bibirnya menyungging senyum penuh luka. Memori-memori itu terus berpendar, bersauh di pelabuhan hati Rea yang sudah terlalu rapuh dan lemah. Perempuan itu terus bersenandung, sambil menatap bilur air hujan yang membasahi jendela kamar Elvan. Menghirup sisa aroma tubuh Elvan yang masih tertinggal di ruangan itu.

"Ikhlaskan, Mbak, Doakan ia masuk surga. Ayo kita bacakan Yasin untuk mendiang, ya," ajak Icha--nama panggilan Khairunnisa.

Rea tetap diam. Memeluk lututnya, mengigit bibirnya. Menangis tak henti-hentinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 05, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KENDATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang