0.1

433 49 3
                                    

Mark menekan tuts-tuts piano yang basah oleh embun pagi yang masuk melalui atap bangunan yang hampir roboh. Udara sejuk khas hutan membuatnya memejamkan mata, menikmati alunan nada yang diciptakan oleh kelincahan jari jemari rampingnya.

Lalu bagaimana bisa ada piano, yang mana keadaannya masih amat baik, disebuah bangunan kecil ditengah hutan belakang sekolahnya? Mark tidak tahu, yang ia tahu hanya piano ini sejenis piano tua, yang jika dijual mungkin harganya cukup mahal.

Mark melirik arloji yang melingkar dipergelangan tangannya. Jam 6:50. Dua puluh lima menit lagi bel berbunyi, dan Mark bukanlah salah satu dari siswa-siswa yang hobi terlambat. Jadi, ia dengan segera memakai jas sekolahnya, meraih tasnya, lalu berlalu meninggalkan piano aneh itu sendirian.

.

.

.

Hari ini Mark pulang agak terlambat karena ada kegiatan sekolah. Arlojinya sudah menunjukkan pukul 7 lewat seperempat, dan langit sudah mulai gelap.

Kaki jenjangnya ia langkahkan menuju parkiran sekolah. Kebetulan tempat parkir sekolahnya berada tepat disamping gerbang utama, jadi Mark bisa melihat halte disebarang jalan dengan jelas.

Seorang laki-laki?

Setahu Mark, yang ada kegiatan disekolah itu hanya klub Basket, klub yang membuat Mark harus pulang malam seperti ini. Dan Mark yakin jika laki-laki itu bukanlah salah satu anggota klubnya.

Mark membawa langkahnya menuju ke halte. Lalu berdiri kikuk disamping laki-laki yang terus menunduk itu. Ia juga tidak tahu apa yang membuatnya berjalan ke sini, bukannya segera pulang sebelum ibunya mengamuk.

Beberapa menit Mark lewati bersama kesunyian, laki-laki itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya, badannya gemetar dan Mark yakin laki-laki itu kedinginan.

"Umm, hai."

Sungguh, Mark ingin mengutuk mulutnya yang tiba-tiba mengeluarkan sapaan sok akrab seperti itu.

Laki-laki itu mengangkat wajahnya sedikit terkejut, dan Mark bisa melihat bagaimana kilatan bola mata indah itu ketika menatapnya, "Hai." balasnya ramah. Ia bahkan melambaikan tangannya pada Mark. Manis sekali.

"Belum pulang?" Mark mendudukkan bokongnya di dudukan halte yang dingin, mungkin efek angin malam yang lumayan kencang.

Laki-laki itu mengangguk, masih dalam keadaan memeluk dirinya sendiri, "Iya, aku menunggu bus datang. Aku tidak tahu kenapa, tapi busnya datang terlambat kali ini." ia mengerucutkan bibir kecilnya.

"Oh ya, kita belum berkenalan." laki-laki itu mengulurkan tangannya, dan disambut ragu oleh Mark, "Namaku Lee Donghyuck."

"Mark Lee."

Mark cepat-cepat melepaskan tangannya. Sungguh, tangan laki-laki bernama Donghyuck ini dingin sekali. Jadi Mark menyerahkan coatnya pada Donghyuck, agar ia tidak kedinginan lagi.

"Terima kasih." Donghyuck merapatkan coat pemberian Mark lalu kembali tersenyum dengan bibir pucatnya, "Kau siswa disini, ya?"

"Iya."

Singkat, jelas, dan awkward. Mark sekali lagi mengutuk mulutnya yang tiba-tiba kelu. Sial.

"Kau... Sekolah dimana? Seragam kita tidak sama."

Mark baru menyadarinya, Donghyuck memakai seragam berwarna merah maroon, dan Mark belum pernah melihat seragam itu sebelumnya.

TINNN TINN

Suara klakson bus mengagetkan Mark. Ia tanpa sadar menatap Donghyuck yang perlahan bangkit dari duduknya.

Ia berjalan pelan kearah Mark sembari tersenyum, ia memberikan coat Mark kembali ke pemiliknya.

PIANO | MarkHyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang