1

20 8 1
                                    

Aku membalikkan badanku dengan cepat dan takut, lalu aku berjalan menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Tadi aku melihat wajah itu. Yowel. Padahal aku sudah memastikan kelasnya bubar beberapa menit yang lalu, karena aku tahu tujuanku adalah keperpus. Yang letaknya dilantai dua, dimana aku harus melewati kelas Yowel.

"Nat!"

Aku sangat yakin itu suara Yowel. Suara bass yang aku rindukan. Dengan refleks, aku berhenti bergerak. Aku mematung sebentar sebelum akirnya sadar. Aku menolehkan kepalaku sedikit dan mendapati Yowel.

"kam.. um, sori. lo manggil gue?" tanyaku berusaha datar.

"aku-kamu aja, kaku gitu." Yowel terkekeh pelan sambil menunduk dan melanjutkan jalannya mendahului aku. Aku kembali berjalan menyamai langkahnya -dengan jarak pastinya.

"bukannya aku-kamu yang kaku ya?" tanyaku, sibuk mengamati tiap anak tangga yang aku turuni.

"engga tuh. biasanya kan emang pake aku-kamu." katanya. Aku bisa lihat dari sudut mataku saat Yowel mengatakannya, ia menyempatkan menatapku sendu. Meski hanya sesaat.
Aku hanya berdeham pelan, aku sadar betul bahwa aku tidak bisa membahas semuanya ketika semua sudah tidak sama lagi.

"ada apa?" tanyaku berusaha masuk tahap obrolan mengapa dia tadi memanggilku. Meski sakit itu terasa kembali.

"oh iya." Yowel menatapku sebentar. "jadi nerusin kemana?"

"masih SMAN 3, belum ada perubahan" aku terkekeh.

Yowel menganguk-angguk.

Kami menuruni semua anak tangga lalu berbelok kearah kiri, menuju halaman sekolah.

"kalo kamu?" tanyaku memberanikan diri bertanya dengan nada yang aku usahakan tidak ingin tahu, tapi sialnya malah terdengar terpaksa.

"SMAN 3 juga, mungkin." kata Yowel. Lalu ia mendadak berhenti berjalan. Aku menoleh heran padanya. Yah, meskipun hanya sesaat. Jujur, sudah lama sekali aku tidak melihat wajahnya dalam jarak sedekat ini, apalagi bisa berbicara dengannya. Tapi aku akui, tatapan kecewa itu masih disana. Saat dia menatapku. Bedanya, setelah beberapa bulan berlalu dia sudah tidak terlihat sekacacau, hari itu. Dia tampaknya -sudah bisa bahagia.

"kalo terpaksa, lebih baik jangan paksain. Aku duluan."

Rasanya ingin aku berkata bahwa aku tidak bermaksud seperti itu. Otak dan hatiku memang tidak bisa diajak bersahabat kalau itu sudah menyangkut dia. Tapi yang kulakukan hanyalah menatap kepergiannya dengan tatapan nanar, sampai dia tak terlihat lagi.

Aku menghembuskan nafas panjang. Membalikkan tubuhku lesu. Aku berniat kembali pergi ketempat aku seharusnya, bukannya malah menemani Yowel sampai kehalaman dan ditinggal begitu saja.

Baru saja aku menaiki satu anak tangga, perasaanku hancur. Di anak tangga paling atas, aku melihat rombongan gadis bergurau, dan aku melihatnya. Yola. Tapi dia tak melihatku. Aku tentu harus mengontrol diriku, bahwa Yowel bukan milikku lagi, jadi aku tidak seharusnya peduli dengan hal yang berkaitan dengannya.
Jadi aku tetap menaiki anak tangga, meski aku tidak bisa mengangkat wajahku yang menunduk saat rombongan Yola berpapasan denganku.

Huft. Aku mengangkat wajahku saat tiba dilantai atas. Sepanjang koridor menuju perpus, otakku tidak bisa berhenti berpikiran, pantas saja sudah beberapa menit berlalu Yowel baru keluar, pastinya karena Yola juga belum keluar. Atau misalnya pikiran-pikiran buruk lainnya. Sial sekali otakku ini. Aku sampai memukul kepalaku sendiri untuk mengusir pikiran negatif tersebut. Saking kesalnya. Otakku benar-benar membuatku tersiksa. Aku sampai tidak tahu mana yang harus aku pilih, antara otak dan perasaanku.

Aku memasuki perpustakaan, mengambil buku asal dan duduk dipojokan perpus. Aku akan menghabiskan sisa waktu istirahatku sampai bel pulang disini, karena sudah dipastikan pelajaran terakir kosong.

Aku membolak-balik buku dengan asal. Beberapa menit kemudian, aku menaruh kepalaku diatas meja, menenggelamkannya untuk tidur, dan menempatkan buku yang kubawa sebagai penghalang agar tidak ada yang melihat aksiku. Setahuku, saat aku memasuki perpus, hanya ada beberapa siswa disini,  tapi aku tidak peduli.
Aku memilih perpustakaan adalah karena tempatnya yang tenang dan sunyi, dengan diiringi alunan lagu dari radio yang tidak begitu keras, yang membuatku terkantuk dan tertidur tenang.

Aku menguap lebar dan menutup mulutku dengan telapak tanganku. Lalu aku memandang jam tanganku. Bel pulang sudah berlalu 10 menit yang lalu tapi aku tidak sadar. Aku mengucek mataku dan mengumpulkan kesadaranku. Lalu aku pun bangkit dan keluar dari perpustakaan, berjalan dengan langkah gontai, melewati kelas Yowel yang terlihat sudah sepi. Aku menuruni tangga dan menuju kelasku -dilantai satu dekat tangga.
Aku mengambil tas dan jaket biru yang tidak kumasukkan. Aku memakai terlebih dahulu jaketku lalu menggendong tasku dan berjalan keluar kelas. Kelasku pun bahkan sudah kosong.

Aku berjalan menuju parkiran sekolah. Setibanya aku langsung memakai helm dan menaiki motorku, belum juga aku menyalakan mesin, pandanganku sudah berdiam kearah motor yang sudah tidak asing. Motor Yowel. Otakku kembali menyiksaku, berpikiran kemana dia? kenapa dia belum juga pulang?  Dan sial, memori itu berputar kembali. Yowel yang kukenal tidak pernah berlama-lama setelah bel pulang berbunyi, dan ini sudah menit ke-20 sesudah bel berbunyi. Bahkan yang ku tahu, adalah saat aku terlambat 5 menit saja keluar, Yowel pasti sudah tidak akan kutemukan lagi disekolahan.

Aku pun menggeleng pelan dan tersadar sudah lebih dari lima menit aku diam diatas motor tapi tidak juga melaju. Aku menghembuskan nafas frustasi. Menyalakan mesin dan menjalankannya. Lalu melaju. Meninggalkan area sekolahan dengan perasaan yah bisa dibilang campur aduk.

_____________

Jangan lupa vote, commentnya ya guys. Enjoy the story, meskipun aku belum menempatkan moral value-nya. Hehehe.

Thanks for reading. God bless❤

NatalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang