Prolog 1

30 5 2
                                    



Jujur saya agak bingung mau nyapa bagaimana. Saya cuma mau buat cerita yang ada di kepala saya. Walaupun saya udah nerbitin cerpen, tapi cerita di wattpad itu beda.
Saya juga nggak punya banyak followers buat baca cerita saya. Jadi, bagi kalian yang udah srek sama cerita saya bisa vote, comen, dan promo sekalian hehhhe...
Oh iya. Prolognya saya bagi dua. Nanti akan saya update secepatnya.

Terima kasih




"Apakah kau tidak akan pernah mencintaiku?"

Kata itu selalu diucapkannya entah untuk yang keberapa kali. Aku sendiri sudah bosan mendengarnya. Ia selalu saja bicara tentang cinta, sementara dia sendiri memperlakukan setiap perempuan dengan baik, seakan semua perempuan yang ia temui adalah cinta sejati baginya.

"Kenapa kamu selalu bilang begitu? Tidak bosan?" aku menatap mata birunya yang bening.

Adimas, laki-laki dengan sejuta pesona. Aku juga tak bisa menyangkal bahwa wajah orientalnya yang putih berhiaskan hidung mancung, bibir merah yang tipis juga jangan lupakan mata birunya yang sebening kristal itu sangat memikat. Namun, entah mengapa aku tidak pernah merasa dia benar-benar menginginkanku.

"Tidak, Freya. Aku sudah berjuang selama bertahun-tahun. Aku tidak mungkin akan bosan." Adimas tersenyum sampai matanya hanya tampak seperti garis tipis.

Aku menengadah, langit sedang bagus malam ini. Kami duduk di bawah pohon mangga depan rumah ditemani suasana malam yang menyenangkan. Sudah jam sepuluh namun ia belum juga ingin beranjak. Aku melirik Adimas yang saat ini juga sedang menatapku lekat.

"Aww... Astaga Freya!" Adimas mengusap dahinya yang baru saja kusentil.

"Berhenti menatapku terus! Aku tidak suka!" aku menatapnya sebal. "Sudah sering aku katakan, jangan menatapku terus! Aku benci!"

Adimas tersenyum lagi. Kadang aku pikir apakah dia tidak bosan atau tidak keringkah mulutnya yang selalu tersenyum itu?

"Kamu harus terbiasa, Sayang. Kamu itu manis sekali, sampai aku tidak pernah bosan menatap kamu lama-lama." ia berujar lagi, kemudian menatap langit. "Langitnya bagus ya?"

"Jangan panggil aku begitu! Dan berhenti membual. Apa kamu tidak sedang sakit? Aku tidak pernah memasang pelet atau sejenisnya sampai kamu jadi gila begini..."

Adimas tertawa, sangat lepas hingga aku bisa melihat matanya yang sipit itu ikut tertawa. "Kamu memang ajaib yaa?"

"Sialan!"

Adimas masih tertawa, menatapku dengan binar bahagia. "Aku tidak akan bosan jika kita menikah nanti. Kamu tahu? Kamu adalah perempuan unik paling menyenangkan yang pernah aku temui."

"Terserahlah, aku tidak peduli." aku berdiri kemudian melangkah ke rumah. "Pulang sana, aku mau tidur."
Setelah itu aku menutup pintu tanpa menunggunya pergi.

"Selamat tidur Freya, Sayang!"

Aku bisa mendengar teriakan Adimas yang memecah malam. Tak lama aku mendengar suara tangis Tika, anak tetangga yang masih bayi.

"Jangan teriak-tetiak, Mas! Anak saya lagi tidur!!!"

***

Aku sedang mencabut rumput di halaman saat Adimas datang. Lelaki itu tidak tau waktu, padalah aku sudah mengatakan padanya bahwa aku tidak bisa pergi dengannya hari ini. dasar keras kepala!

"Freya, Sayang..."

"Pulang sana!" potongku cepat.

Adimas langsung berjongkok di sampingku. Jangan lupakan senyum manisnya yang makin membuatku kesal. Kenapa juga ia datang di sore minggu begini? Padahal aku sudah menolaknya untuk pergi jalan dengannya. tapi, lihatlah ini, Adimas malah datang dengan sogokan martabak manis.

"Freya!" itu Abang Jansyah, doker ganteng dambaan ibu-ibu komplek untuk jadi mantu. Bang Jansyah kelewat sopan dan tampan, sampai-sampai semua perempuan yang melihatnya pertama kali langsung jatuh cinta. Setiap ada orang yang lewat di depannya berpura-pura jatuh pun, ia akan tetap menolong walaupun sudah empat sampai lima kali perempuan itu jatuh.

"Apa sih Bang! Abang juga, ke klinik sana. Aku masih sibuk." mengacuhkan mereka lebih baik. Lebih baik kembali mencabut rumput.

"Kamu ini, Adimas sudah capek-capek datang malah kamu usir." Bang Jansyah ikut jongkok di sampingku, menepuk punggung tanganku yang belepotan tanah.

"Isshh... Abang! Aku colet tanahnya ke muka Abang baru tau rasa." geramku, aku melirik Adimas yang sudah terkikik geli melihatku. "Apa?! kamu juga mau aku bedakin pakai tanah?"

"Boleh juga, asalkan itu bisa buat kamu menerima lamaranku."

Sialan! Aku sudah sholat istiharah mengenai lamaran Adimas, dan sepertinya aku memang harus memberikan hasilnya pada Adimas hari ini.

"Kamu mandi sana, Dek. Abang jadi heran, kamu sebenarnya perempuan apa bukan. Wong hobinya main tanah mulu..." Bang Jansyah menggeleng kemudian berdiri. Ia menepuk tangannya yang terkena debu dan kembali masuk rumah.

"Abang Jansyah jelek!" aku juga berdiri, Adimas juga malah ikut berdiri. "Kenapa berdiri juga? Nggak jadi bedakan pakai tanah?"

Adimas tersenyum lagi. "Kalau kamu yang elus pipiku, kenapa tidak?" ia mengerling sambil lalu. "Aku tunggu kamu di teras, Sayang!"

"Sayang palamu peyang!"

***

Selesai mandi dan sholat ashar, aku menemui Adimas di teras. Anak itu benar-benar gigih. Aku mengambil tempat di sisi kirinya, yang tengah minum teh buatan Bang Jansyah.

"Oh, sudah selesai." Adimas meletakkan cangkir tehnya di meja. "Kamu sudah makan?"

Aku mengangguk. "Aku tidak suka basa-basi, Adimas."

Masih sambil tersenyum, Adimas meraih tanganku, hendak menggenggamnya.

Aku langsung menepisnya. "Tidak usah pegang-pegangan tangan. Bukan mukhrim!"

"Bukan tidak, tapi akan Freya."

"Terserah."

"Jadi... kamu sudah bisa menjawabnya?" Adimas menatapku lekat. Bisa kulihat keseriusannya saat ini. Tapi, aku masih merasa bahwa ia tetap gigih dan sungguh-sungguh.

Aku menarik napas sebelum bicara. "Baiklah... aku akui bahwa kamu memang laki-laki yang gigih dan keras kepala. Jika dilihat secara fisik kamu juga tampan dan mapan." aku bisa melihatnya yang tersenyum makin lebar. "Jangan senang dulu! Kamu tahu kan aku ini perempuan yang sangat jujur, aku tidak suka menyembunyikan sesuatu apalagi dibohongi. Banyak yang mengatakan bahwa aku ini perempuan barbar karena perkataanku yang ketus walaupun aku mengenakan hijab. Apa kamu tidak risih jika nanti kita menikah keluargamu akan risih dengan mulut ketusku ini?"

Adimas menggeleng. "Kurang dan lebihmu bisa aku maklumi, Freya. Aku tidak keberatan, malah senang. Kamu tahu? perkataan tajammu itulah yang bisa menjauhkanku dari para perempuan genit."

"Tapi, apa kamu sudah yakin?" jujur saja, aku ragu lelaki seperti Adimas ini mau menjadi suamiku.

"Aku tidak pernah seyakin dan seserius ini seumur hidupku."

Aku menatapnya, mencari sebuah kebohongan di mata biru kristalnya itu. "Baiklah. Aku menerimanya."




F R E Y ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang