Bagian 2: Salam Telor

32 4 2
                                    


Seperti biasa, aku bangun subuh, kemudian sholat. Abrar belum juga bangun padahal sekarang sudah jam setengah tujuh. Aku sebenarnya ingin memasak untuk sarapan, tetapi di kulkas hanya ada telur dan air putih. Nasi saja tidak ada, apa yang bisa aku makan?

Aku duduk di depan pintu balkon, sedari tadi aku ingin membuka pintunya namun terkunci. Entah di mana pria brengsek itu menyimpan kuncinya. Aku sudah kelaparan, pintu apartemen ini pun juga terkunci, dan sialnya aku juga tidak tahu paswordnya. Sambil mengetuk pintu kaca, aku menempelkan wajahku, perutku sudah lapar, dan cuma ada telur di kulkas. Masa aku cuma makan telur rebus?

Aku melirik pintu kamar, masih sama seperti beberapa menit lalu. Ia sepertinya akan menjadi suami pemalas yang kejam. Hah! aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasibku hidup dengannya? baru satu hari saja aku sudah kelaparan, apa lagi setahun!

Merasa telur rebus itulah yang bisa kumakan, aku akhirnya beranjak ke dapur. Meja dapur ini benar-benar bersih. Aku bahkan bisa berkaca di marmer hitam itu. Spatula, sendok sup, panci dan kuali digantung sesuai ukuran--dari yang paling kecil sampai yang paling besar. Bahkan kompornya sangat mewah--sejenis kompor elektrik yang bahkan apinya saja tidak muncul. Ahh tidak, bagaimana aku bisa membakar terasi kalau tidak ada apinya? Dasar Abrar bodoh!

Aku mengambil panci kecil kemudian mengisinya dengan air. Sebaiknya aku merebus tiga saja, kalau nanti ia mengamuk karena aku menghabiskan telurnya, bisa mati aku.

Sekarang sudah jam delapan, tidak ada tanda-tanda Abrar akan bangun. Sambil mengupas telur, aku melirik lagi ke balkon. Ada beberapa tanaman di sana, siapa tahu pria itu menyimpan sesuatu yang bisa dimakan. Setelah selesai mengupas telur, aku mengambil jepit lidi yang selalu aku sematkan di ujung rambut.

Mungkin orang-orang akan berpikir bahwa aku adalah perempuan lemah yang tidak bisa apa-apa. Tidak ada yang tahu bahwa aku bisa melakukan sesuatu di luar ekspektasi orang tentang perempuan berhijab. Aku terbiasa hidup keras, mandiri dan terasing. Membuka pintu balkon bukan masalah bagiku. Biarlah pria itu mengamuk karena aku merusak pintu rumahnya.

Sambil berjongkok di depan pintu, aku memasukkan jepit lidi ke lubang kunci kemudian memutarnya dengan perlahan dan penuh konsentrasi. Aku terus memutarnya ke kiri, lalu ke kanan dan

Klik!

Pintu balkon akhirnya terbuka, aku menghirup udara sebanyak-banyaknya. Di sini sangat sejuk dan nyaman, tempat ini akan menjadi tempat favoritku di rumah ini selain dapur mewah itu.

Ada banyak tanaman di sini. Rata-rata tanaman hias dengan pot besar dan ada beberapa bonsai dan tanaman kaktus mini di toples kaca. Di sudut kiri balkon, ada sebuah pot besar penuh dengan bawang merah, kentang, daun bawang yang tumbuh sembarangan di dalam pot. Jangan lupakan limpahan cabe rawit pada batangnya yang kecil. Akhirnya... ada sesuatu yang bisa dimakan di rumah ini.

Lima buah kentang, tiga siung bawang merah, sebatang daun bawang dan segenggam cabe rawit kubawa masuk. Hanya ini yang bisa kudapat untuk di makan sekarang. Sebelum memasak, aku mengintip lagi ke kamar. Syukurlah, Abrar belum bangun, dan aku bisa melihat punggung kokohnya dari sini. Aku menutup pintu pelan-pelan kemudian berjingkat ke dapur dan mulai memasak bahan ajaib yang kutemukan di balkon Abrar pagi ini.

***

Setelah memasak dan merapikan rumah--yang bahkan masih sangat bersih, aku mandi, menghilangkan bau bumbu dan keringat di badan. Untuk amannya, aku memakai celana panjang longgar dan kaos oblong lengan panjang juga hijab yang menjuntai sampai perut.

Apa yang kau kenakan ini? Kau menutup seluruh tubuhmu, bahkan aku tidak bisa mengira... Berapa ukuran dadamu?

Ahh... Aku tidak akan bisa berkeliaran di apartemen ini tanpa hijab. Pria mesum seperti Abrar harus diwaspadai. Mata tajamnya itu bisa saja menyeringai menatapku yang bahkan menutup seluruh badan.

Sekarang sudah jam 10, dan Abrar bahkan belum juga bangun. Aku duduk di meja makan dengan sambal kentang dan telur rebus. Aduuh... perutku sudah keroncongan, tidak mungkin aku makan duluan sementara tuan rumahnya saja belum bangun. Perutku berbunyi lagi, memang belum perih, tapi ini pertanda baruk karena kemarin aku hanya makan roti setangkup dan segelas susu.

"Kau masak apa?"

Tubuhku terlonjak kaget. Abrar sudah berdiri di belakangku, matanya menilik hasil masakanku.

"Heh! Kenapa kamu muncul tiba-tiba? Kamu mau buat aku jantungan?"

Abrar hanya angkat bahu kemudian duduk di sampingku, dengan jarinya, ia mencolet sambal kentang di piring, mengecap rasa masakanku.

"Dari mana kau dapat bahan ini?"

Aku melirik ke balkon, "Itu. Di balkon banyak cabe rawit sama kentang. Aku tidak menyangka, kamu suka menanam sayur di rumah."

Abrar mencolet lagi sambal kentang di piring, mengemut jari telunjuknya dan mengangguk samar. Aku meliriknya yang tak henti mencolet sambal sebelum akhirnya memukul tangan kanannya.

"Dasar jorok! Pakai sendok sana."

Abrar tidak menjawab, ia malah mengambil sendok sup lalu menyendok sambal kentang di piring. Apa ia hanya makan sambal tanpa nasi?

"Eh.. Eh... Tunggu dulu." aku mengambil sendok sup di tangannya.

"Apa lagi? Aku sudah lapar." Abrar melirikku tajam, pria itu sedang lapar mode on , dan itu  mengerikan.

"Beli nasi dulu... Tidak baik buat perut kamu makan sambal tanpa nasi."

"Tidak perlu."

Tanpa menghiraukan saranku, Abrar memakan sambal kentang sampai habis. Memakan semua kentang dan telur yang kurebus kemudian minum banyak karena kepekaan. Dia bahkan tidak menyisakan sedikit pun untukku.

Aku hanya menatapnya heran berdoa semoga saja dia tidak sakit perut.

***

Abrar berjalan tertatih hingga menghempaskan tubuh besarnya di sebelahku. Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Dia sudah 5 kali masuk kamar mandi setelah 10 menit menghabiskan sambal tanpa nasi buatanku.

"Sudah selesai?" aku melirik yang yang masih kesulitan mengatur napas.

Setelah benar-benar tenang, mata tajam Abrar seperti menembus kepalaku. "Kau ingin aku mati ya?"

Benda apa saja yang dapat kuraih langsung saja kupukul ke perutnya. "Dasar laki-laki sinting! Mana ada racun seenak itu!"

"Buktinya perutku sakit setelahnya."

"Faktanya kamu menghabiskan semua sambal di piringku, tanpa sisa!"

Abrar seperti ingin mengatakan sesuatu namun ponselnya berbunyi. Dia langsung berdiri dan berjalan ke balkon.

Sepeninggalan Abrar, aku menghabiskan ketoprak yang diantar kan Mbok Na--perempuan paruh baya yang biasa membersihkan apartemen Abrar. Mbok Na tak banyak protes, ramah dan sering tersenyum. Dia bertubuh tambun, dan seperti perempuan Jawa umumnya, Mbok
Na mengenakan kebaya batik dengan
kain batik. Aku bisa merasakan bahwa Mbok Na perempuan yang penyayang.

"Kau tunggu di sini, aku pergi sebentar."

Tanpa menunggu jawabanku, Abrar mengambil jaket dan pergi begitu saja.

Aku mengamatinya hingga tak tampak. Merutuki kepergiannya yang mrngunci pintu dari luar. Dia pikir aku anak kecil yang akan kabur membeli es krim? Apa susahnya membiarkan pintu tak terkunci?

Satu jam pertama aku hanya bermain tetris di ponsel, satu jam berikutnya, aku teleponan dengan Anisa--teman SMA-ku dulu. Dua jam kemudian aku merasa mati kebosanan dan mulai guling-guling di kasur lalu ketiduran. Aku terbangun saat hari sudah jam 4 sore. Mandi, solat lalu duduk lagi di depan tv. Mencari siaran yang bagus.

Saat matahari terbenam, langit menghitam bahkan bintang sudah bertaburan pun Abrar belum juga pulang. Aku sudah mati kebosanan di apartemen mewahnya ini. Sial!

"Sebentar apanya, dari pagi sampai malam belum pulang!"

Dengan bebasnya aku melepas hijab, membiarkan rambut hitam panjangku tergerai di bawah sinar lampu. Aku melirik jam di nakas, sudah pukul 11. Dengan mata yang sudah sayu, aku pergi ke kamar. Kasur hitam Abrar benar-benar nyaman.

F R E Y ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang