Prolog 2

20 4 3
                                    

saya awalnya kesulitan buat update, dan akhirnya baru bisa setelah tiga minggu.

tolong ya kritik dan saran kalian saya tunggu



"Saya terima nikahnya Freya Anindita binti Ardi Wiratmaja dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Suara baritonnya terdengar lancar saat mengucapkan ijab qobul.

Aku ingin menangis saat ini, saat melihat senyum pucat Adimas seperti menahan sakit. Mata birunya berair saat melihatku yang tak henti menatap sedih padanya. "Adimas..."

"Ssst... Jangan menatapku begitu, Sayang." ia masih tersenyum menatapku.

"Tap-tapi... Kamu... kamu..." lirihku melihatnya terbaring dengan lebam di pelipisnya. Kepala dan tangannya diperban, banyak kabel yang terpasang di tubuh tegapnya yang kini terbaring lemah.

Air matanya jatuh, sebegitu sakitnya ia? "Aku, mungkin aku tidak bisa melihat se--"

"Berhenti bicara ngawur! Kamu akan selamat! Kamu akan tetap hidup, Adimas..." Aku merasa luluh lantak. Ia saja bicara seakan ia akan pergi.

Adimas mengusap pipiku, kali ini aku tidak akan menolak. Ia tersenyum lembut. "Ternyata pipi kamu memang lembut ya? Maafkan aku, Freya." air matanya kembali jatuh. "Aku tidak bisa menjagamu."

Saat aku ingin buka suara, laki-laki yang berdiri di sampingku menahanku. Ia memintaku untuk mendengarkan Adimas.

"Aku mencintaimu, Freya Sayang. Aku mencintaimu dengan lebih dan kurangmu, aku pasti akan merindukan mulutmu yang ketus, senyum manismu... dan Ah aku pasti akan selalu mengingat suaramu yang menenangkan." ada jeda sejenak, "berjanjilah, kau jangan pernah meninggalkannya."

Sambil mengangguk, aku masih berusaha menahan suaraku agar tidak terdengar lirih. "Aku janji."

Adimas menatap laki-laki yang beridiri di sampingku. "Aku titip dia ya, bro. Kamu jangan khawatir, Freya pintar masak kok."

Setelahnya, napas Adimas mulai sesak. Laki-laki yang berdiri di sampingku tadi menekan tombol di atas ranjang. Beberapa dokter dan perawat masuk tergesa-gesa melakukan sesuatu dengan tubuh Adimas. Adimas menggenggam tanganku, tatapannya tak pernah semenyedihkan itu. Genggamannya terlepas saat para perawat meminta kami untuk mundur. Tanpa suara, aku bisa melihatnya berkata 'aku mencintaimu, Freya.'

Kami--aku dan laki-laki yang berdiri di sampingku tadi berdiri di sudut ruangan. Ia berdiri kaku di sampingku, tidak ingin menopangku yang sudah sangat rapuh melihat kejadian ini. Doker masih terus menekankan alat kejut jantung beberapa kali ke dada Adimas, tubuhnya terangkat kemudian turun dan terangkat beberapa kali.  Matanya terpejam, aku masih bisa melihat sisa-sisa air matanya di pipi. Aku memperhatikan Adimas, ia begitu pucat, pipinya yang selalu bersemu saat bersamaku kini seperti vampir, pucat dan dingin.  Setelahnya, aku melihat doker mulai berhenti dan mencabut kabel-kabel di tubuh Adimas. Bunyi pip yang cukup kencang menyadarkanku.

"Nggak... Nggak! Adimas!"

Aku berlari ke sisi ranjang pesakitan Adimas, menggungcang lengan Adimas yang terasa dingin. Aku tahu arti ini semua, namun aku masih menyangkal spekulasi ini. Aku menangis, terduduk lemah saat perawat menutup selimut hingga ke atas kepala Adimas.

Aku merasa sesak, apa yang ia lakukan sekarang. Setelah aku mencoba menerimanya, ia malah pergi, meninggalkanku yang merasa bodoh karena terlambat membuka hati. Aku memang belum mencintainya, tapi aku tahu, aku menyayanginya sebagai temanku, kakakku, atau bahkan seperti aku menyayangi Bang Jansyah. Aku merasa tidak rela dan marah karena ia datang di saat aku mulai menyayanginya. Aku membencinya yang bahkan tidak adil padaku. Mengapa ia begitu egois?

Mengapa kamu pergi secepat ini Adimas?

"Ayo berdiri. Adimas tidak akan hidup lagi walaupun kau menagisinya sampai matamu buta."

Laki-laki itu berdiri menjulang di sampingku. Matanya menatapku, seakan aku ini adalah perempuan paling hina. Tidak ada raut sedih di wajahnya, aku hanya melihat ekspresi datar saja. Rahangnya kokoh, bibirnya yang kemerahan itu sangat kontras di kulitnya yang putih. Aku meliriknya, hidungnya yang mancung membuatku iri dengan hidungku yang kecil. Aku merasa sangat kecil saat menatapnya yang berdiri sangat tinggi di sampingku, tanpa dia membuka baju pun aku tahu, bahwa tubuhnya pasti sangat atletis. Aku harus mengakui bahwa ia benar-benar tampan. Matanya yang tajam benar-benar membuatku kesal, tidakkah ia merasa sedih atas kepergian sahabatnya?

Aku berdiri sambil mengusap kasar pipiku yang basah karena air mata. "Aku tahu!"

"Sebaiknya kita mengurus pemakaman Adimas, secepatnya."




F R E Y ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang