Bagian 1: Nyonya Rumah

25 4 2
                                    


Setelah mengurus pemakaman Adimas, yang akan dimakamkan di kampung halamannya, kami akhirnya pulang. Kami memasuki apartemen mewah di lantai 11. Aku mengekorinya yang berjalan santai di lorong apartemen yang sepi. Saat ia berhenti di depan pintu bernomor 1609, ia menekan beberapa digit angka sebelum membuka pintu. Begitu kami memasuki apartemen, ruangan masih gelap. Ia lalu menekan saklar lampu dan ruangan menjadi terang.

Apartemen ini cukup luas. Ada tv besar di dinding dengan sofa hitam yang nyaman di depannya. Warna dinding didominasi warna cokelat dan krem. Di sisi kiri aku melihat dapur yang sangat mewah, semua peralatan masak ditata rapi dan sangat bersih. Aku pasti akan puas dan senang saat memasak dengan semua peralatan mahal itu, berasa jadi koki!

Abrar memasuki sebuah kamar yang pintunya berwarna cokelat. Aku melihatnya masuk kamar, sementara aku menunggunya di sofa depan tv.

Sambil menunggunya keluar kamar, aku kembali menatap isi apartemen ini lagi. Ada sebuah pintu lagi di samping pintu kamarnya, mungkin itu juga kamar.  Biasanya laki-laki lajang yang tinggal di apartemen akan menjadikan kamar satunya sebagai ruang kerja. Di dekat dapur ada pintu lagi, sepertinya pintu kamar mandi. Tidak ada ornamen apa pun di dinding, baik itu tempelan atau wallpaper dinding. Tidak ada warna lain di ruangan ini selain cokelat, hitam dan krem. Aku melirik ke arah balkon. Ada pintu kaca besar di sana. Nampak kelip lampu kota dari tempatku duduk.

Ceklek.

Pintu kamarnya terbuka. Ia sudah mandi dan berganti pakaian dengan celana selutut dan kaos hitam yang membungkus tubuhnya dengan pas.

Astagfirullah! Apa dia nggak punya kaos oblong?

Aku tidak berani menatapnya, aku benar-benar takut melihat laki-laki berotot walaupun ia berwajah tampan. Ini memang hal yang aneh, padahal banyak perempuan di luar sana yang sangat suka melihat roti sobek yang menggiurkan ini. Entah mengapa, aku tetap saja tidak pernah berani menatap laki-laki berotot sepertinya ini.

"Kau tidak mandi?" suaranya terasa dekat, ia sudah berdiri di depanku sekarang.

Aku mengangguk menghadapnya, agar dia berpikir jika aku memang sedang menatapnya. Padahal, aku tidak menatapnya, tapi menatap satu titik tepat di sisi kepalanya agar ia tidak curiga.

"Di mana kamar mandinya?"

"Ada di kamar."

Aku terkejut. Masuk ke kamar orang lain adalah pantangan bagiku. Aku tidak pernah berani masuk ke kamar orang lain, apa pun alasannya. "Tap-tapi... itu kan kamar kamu."

"Lalu kenapa? Kau juga akan tidur di sana." Ia duduk di sofa di sampingku.

Aku menatapnya tak percaya. Aku ingin menyangkal, tapi aku tahu bahwa itulah yang harus aku hadapi. Tidak ada suara yang aku keluarkan, karena memang itulah yang terjadi.

"Ah, apa perlu kuingatkan lagi bahwa sekarang kau sudah menjadi Nyonya Abrar Dirgantara Mahesa?"

Aku tahu!

Iya, laki-laki yang mengaku sebagai sahabat Adimas ini sekarang sudah menjadi suamiku. Kami menikah di rumah sakit, saat Adimas sekarat. Aku bahkan masih merasa bersalah karena harus menuruti ide gila Adimas. Tidakkah ia merasa bersalah telah menikahi perempuan yang akan menjadi istri sahabatnya sendiri?

Huffh!

Aku terlonjak kaget saat Abrar meniup telingaku. Senyumnya sangat menyebalkan, dia seakan berkata 'dasar bodoh!'

"Ck, apa sih tiup-tiup!" sambil menggosok telingaku, aku menggeser dudukku sejauh mungkin darinya.

Abrar melipat tangannya di dada. Matanya menyipit memperhatikanku dari kaki lalu ke kepala kemudian meneliti wajahku dengan seksama. Aku yang risih ditatap begitu langsung saja mencubitnya.

"Arrghh... Kenapa kau mencubitku sialan?!" Abrar langsung mengusap lengannya.

"Kamu yang kenapa! Biasa saja liatnya, kamu pikir aku apa? Manekin?"

Abrar mendekatkan wajahnya, menatapku dengan kesal. Merasa tak nyaman, aku mendorongnya, berharap ia bisa menjauh dariku. Sayang, sampai aku memukulnya sekuat tenagaku pun, Abrar tak menjauh barang sesenti saja.

"Aku hanya ingin meneliti istriku sekarang seperti apa." mata tajamnya seakan menelanjangiku. "Luar dan dalam." bisiknya parau.

Aku merinding mendengar suaranya, berbisik di telingaku sambil meniup pelan.

"Apa yang kau kenakan ini? Kau menutup seluruh tubuhmu, bahkan aku tidak bisa mengira... Berapa ukuran dadamu?"

"Sialan!"

Jurus terakhirku adalah mencubit perutnya dengan kencang kemudian berlari ke kamarnya.

"Dasar mesum!!!"

Dan tawa renyahnya mengiringiku masuk ke kamar mandi.

***

Setelah makan malam, aku langsung masuk ke kamar Abrar dan berbaring bebas di atas kasurnya yang empuk. Badanku pegal semua karena sedari tadi hanya duduk dan menangisi kepergian Adimas. Sambil menguap, aku memeluk guling hitam ini lebih erat. Abrar benar-benar pria mengerikan. Apa maksudnya ini? ranjangnya hitam, sprei dan sarungnya hitam, lemari bajunya hitam, karpet dan ada sofa hitam besar di kamar ini. Bahkan meja riasnya pun tetap saja tidak lepas dari warna hitam. Untung saja dinding kamar ini berwarna krem. Aku tidak bisa membayangkan segelap apa kamar ini jika dinding kamarnya juga berwarna hitam.

"Ahh..."

Aku menoleh saat Abrar membanting tubuh besarnya di sampingku. "Kenapa kamu tidur di sini juga?"

Abrar menumpukan kepalanya dengan tangan, berbaring miring menghadapku. Alisnya terangkat, mempertanyakan apa yang salah dengannya. "Ini kamarku. Tentu saja aku akan tidur di sini."

"Terus aku?"

"Apa maksudmu? Kau bisa tidur di mana saja."

Saat matanya menelurusuri penampilanku. Apa yang salah dengan piyama lengan panjang motif doraemon dan hijab putih? Jujur saja, aku memang tidak terbiasa berhijab saat tidur. Tapi aku juga tidak terbiasa memperlihatkan rambutku di depan orang asing.

"Kau... berapa umurmu?"

"Emangnya kenapa?" tanyaku sengit.

Alisnya terangkat, aku kesal melihat senyumnya yang terus saja mengejekku. "Kau kelihatan seperti keponakanku."

Langsung saja kupukul kepalanya. "Sialan! Turun kamu dari kasur ini. Aku mau tidur!"

Abrar tertawa, mendorongku hingga jatuh ke bawah.

Aku meringis, Abrar sialan! "Sakit! Apa kamu tidak bisa bersikap baik pada perempuan? Dasar brengsek!"

"Tidak untukmu."

Ia menarik selimut, satu bantal dan guling kemudian melemparnya padaku.

"Tidur saja di mana pun kau suka. Aku tak peduli."

Aku mengumpat dalam hati. Abrar memang pria brengsek yang tak berbelas kasih. Tidak bisakah ia mengizinkanku tidur nyenyak di atas kasur hitamnya yang empuk? Awas saja kamu Abrar, aku pasti akan membalasmu.

Malam itu, aku tidur di atas karpet hitam Abrar, tepat di sisi kiri ranjangnya.


Begitu saya tau caranya mempublikasikan cerita, terus bisa langsung up 3 part. hehe... saya lupa bilang kalau vote kalian saya butuhkan juga. Oh iya, saran yaaa...

F R E Y ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang