BAB 5

550 38 4
                                    

Sepasang mata teduh terus memandang Luna. Sedangkan yang dipandangnya dari tadi berusaha menghindar dari tatapan mata itu karena gugup. Mereka duduk di sebuah meja yang khusus untuk berdua di sebuah restoran kue di lantai satu Sarinah. Sore itu suasana restoran cukup lengang, hanya beberapa meja saja yang terisi.

Musik klasik mengalun dengan lembut, memanjakan telinga yang tadi sedikit panas dengan aliran musik The Angkasa yang mengusung aliran pop rock. Penerangan restoran itupun sedikit redup, manambah kesan romantis dengan musik klasik juga lilin aroma terapi dan setangkai mawar menjadi penghias meja.

Bingung, gugup dan senang. Luna tidak tahu mana yang lebih dominan. Hampir sepuluh menit mereka hanya diam, dan sesekali saling melempar senyum.

Suasana agak mencair setelah pelayan restoran itu datang dan meletakan pesanan mereka di meja. Dua piring kue dark chocolate dengan rhum yang bisa langsung lumer di mulut dan segelas besar strawberry smooty sebenarnya sangat menggoda selera. Namun semua itu tidak begitu menarik selera Luna, karena teman makannya adalah Rio.

Tatapan Rio yang terus tertuju padanya, itu mengalahkan seleranya pada kue dark chocolate.

“Maaf, tadi aku kasar sama kamu,” ujar Rio menyesal sekaligus malu mengatakan itu. Luna memberanikan diri menatap Rio. Berusaha mencari jawaban atas sikapnya yang tiba-tiba dan mengejutkan itu, Luna belum bisa mengatakan apapun. Dia masih sedikit shock, dan tentu saja senang.

“Dari sebelum The Angkasa Tampil, aku terus manggil-manggil kamu, tapi sepertinya kamu tidak dengar aku. Jadi terpaksa aku narik tangan kamu. Maaf  ya ....” tutur Rio.

“M_maksud kamu manggil aku dan narik tangan aku apa?” tanya Luna polos.

Rio tersenyum, pandangannya ia lempar ke arah lain, punggungnya ia sandarkan ke sandaran kursi dan tangannya membolak-balik handphone. Tentu saja ia malu dan gugup untuk menjawab pertanyaan Luna.

“Aku juga enggak tahu kenapa, tapi itu reflex aja pas liat kamu,” ucap Rio. Luna mengernyit bingung.

“Sebenarnya aku ingin dekat sama kamu,” sambung Rio. Dan kali ini Rio sambil menunduk.

Luna sampai menahan nafas saking terkejutnya. Ini adalah kejutan yang menyenangkan. Luna tidak tahu kapan rasa seperti ini ada untuk yang terakhir kalinya. Tapi ini sungguh berbeda. Rasanya Luna jatuh cinta sama Rio. Bukan sekedar mengagumi.

“M_maksud kamu?”

Rio mengangkat wajahnya dan memandang lurus ke mata Luna. Rio menarik nafas dan membuangnya, seolah mencari kekuatan untuk mengatakan sesuatu.

“I want to be a special person in your heart.” Kali ini Rio mengatakannya dengan penuh keberanian dan tanpa keraguan. Tatapannya penuh dengan keseriusan membuat jantung Luna seperti berhenti berdetak untuk beberapa second.

Nafasnya terasa sesak, udara rasanya habis tersedot oleh ucapan Rio yang sangat mengejutkan itu. Tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba orang yang selama ini Luna inginkan menawarkan hal terindah bahkan yang paling terindah di dunia ini. Yaitu cinta. Tapi Luna berusaha untuk terlihat wajar di depan Rio.

“Tapi aku kakak kelas kamu, memangnya kamu enggak malu pacaran sama yang lebih tua?” tutur Luna. Dengan ragu-ragu Rio meraih tangan Luna.

“Aku enggak peduli orang mau bilang apa. Mau ngatain bodoh atau menghina sekalipun aku enggak peduli. Yang pasti aku enggak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa menjadi pacar kamu. Aku suka sama kamu_ aku_ cinta sama kamu. Luna,” tutur Rio sambil menggenggam tangan Luna. Tapi dengan halus Luna melepaskan tangannya dari genggaman tangan Rio.

Luna menelan ludahnya dengan susah payah.

Hey come on, Luna! Kamu sedang ditembak sama orang yang kamu suka. Ngapain kamu mikir lagi. Ayo terima! Seseorang berkata seperti itu dalam hati.

Sadalsuud (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang