Mencoba tetap bahagia meski tanpa kamu. Jangan membuat aku menyalahkan diri sendiri, karena telah membiarkanmu pergi, melihat kau mendapat bahagia yang kau cari.
***
"Maaf sayang, bukan maksud daddy tidak bisa melanjutkan hubungan ini sama mommy kamu. Tapi--" Daddy memegang kedua bahu Cia, menatapnya dengan tatapan yang intens dan serius.
"Tapi keegoisan daddy-kan untuk memilih perempuan selingkuhan daddy daripada tetap tinggal di sini bersama aku dan mommy? Cia tahu itu dad" sungut Cia dengan nada kesal memotong ucapan daddy-nya sambil menangis sesegukan. "Aku bukan anak kecil lagi dad yang gak ngerti apa-apa ketika orang tua nya sama sekali tidak bertegur sapa saat di rumah bahkan keduanya jarang di rumah. Terlebih lagi aku udah lihat dengan kedua mata, kepala aku sendiri, bahwa daddy lebih milih menghabiskan makan siang dengan sekretaris daddy dibanding pulang ke rumah sebentar ketika mommy menyiapkan makanan untuk kita. Apa salah mommy dad? Apa kurangnya mommy di mata daddy?"
Daren menghela napas, mendengar apa yang diucapkan anaknya, "Kalau kamu udah seumuran mommy kamu, kamu bakalan mengerti mengapa mommy dan daddy lebih memilih untuk cerai, mengakhiri hubungan kami, dan memutuskan untuk tidak tinggal bersama lagi.
Cia terdiam sejenak.
"Daddy sama mommy aneh sekali, bilang kalau aku akan ngerti kenapa kalian bisa pisah? Nggak akan. Kalau nanti aku udah seumuran kalian, aku gak bakalan mau mengerti hal itu. Aku gak akan seperti kalian yang nggak ngerti apa yang dirasakan oleh anaknya ketika sepasang suami istri memilih untuk berpisah."
"Cia sayang, daddy tahu ini berat buat kamu."
"Berat buat anak kelas 2 akselerasi SMA, yang sebentar lagi mau ujian nasional, yang masih perlu dukungan semangat belajar, namun kalian menambah beban pikiran aku dengan keputusan untuk berpisah kalian. Apa kalian gak pernah mikirin aku sama sekali? Aku selalu nurutin apa mau kalian selama ini aku harus ikut akselerasi, aku lakuin, walaupun kalian gak ngerti beban untuk masuk, dan program pembelajaran akselerasi itu gak mudah, apa kalian gak bisa ngerti aku?""Dulu, daddy adalah hero aku, aku sayang sama daddy, aku seneng banget kalau dipeluk sama daddy, aku seneng daddy ngajak aku main walaupun aku tahu kerjaan daddy lagi banyak banget. Tapi sekarang, daddy gak kayak dulu lagi. Aku benci sama daddy. Maaf kalau perkataan aku nyakitin hati daddy, lebih baik daddy jangan ganggu aku dulu" Cia langsung berlari menaiki tangga menuju kamar tidurnya.
"Cia sayang dengerin daddy dulu!" Panggil Devan dengan suara yang mulai meninggi. "Daddy gak pernah ajarin kamu bersikap gak sopan kayak gitu"
"Apakah aku harus hormatin daddy yang gak pernah mikirin perasaan anaknya? Yang lebih memilih tante Tasya itu daripada mommy? Haruskah?" Cia segera membuka pintu kamarnya, mengambil semua peralatan melukisnya yang sama sekali belum digunakan olehnya dan masih terbungkus rapi.
"Cia! Daddy belum selesai bicara!"
Tak lama, Cia menuruni tangga dengan peralatan melukis ditangannya. "Aku lupa ngembaliin ini sama tante Tasya. Maaf, peralatan yang diberi mommy saja udah cukup untukku, tidak usah seolah-olah menyogok untuk dapat restu dariku. Aku gak akan pernah menyukainya, walaupun dia memberiku peralatan yang harganya bukanlah harga yang murah, aku gak suka dia beliin ini-itu buat aku"
"Cia! Sejak kapan daddy ajarin kamu jadi anak durhaka seperti ini? Daddy ajarin kamu untuk jadi anak yang bisa hormati orang tua, bukan seperti ini"
"Apakah aku harus menghormati lelaki yang berani selingkuh dibelakang istrinya sendiri? Memangnya ada aturan untuk menghormati selingkuhan orang tuanya? Adakah peraturan seperti itu? Gak ada kan? Astaga! Daddy lucu sekali!" Cia menyerahkan peralatan lukisnya. Namun, tidak diterima oleh daddy-nya. "Mau daddy terima atau aku sendiri yang bakalan masukin peralatan ini ke mobil daddy?" Tanya Cia spontan dia berjalan ke halaman depan menuju mobil daddy-nya.
"Caecilliya Latuciaa" bentak Devan geram melihat sikap anaknya. "Daddy gak pernah ajarin kamu untuk jadi anak pembangkang seperti itu, apa saja yang diajarkan mommy kamu di rumah? Apa nggak diajarin sopan santun kepada orang tua? Percuma kamu dididik di sekolah di rumah tapi sikap kamu seperti ini!" Devan berdiri dari duduknya mencoba mengatur emosi yang menggebu-gebu.
"Daddy tanya apa yang mommy ajarkan kepada aku? Aku diajarin sopan santun, tatakrama sama mommy, mommy yang suka ajarin aku sampai aku bisa seperti sekarang ini. Tapi daddy? Pernah gak sekali aja ajarin aku? Gak pernah, gak pernah sama sekali dad, aku minta daddy temenin aku lomba sains aja daddy gak bisa, daddy lebih mentingin sekretaris daddy itu yang selalu daddy bangga-bangga kan di depan aku dan mommy, selama ini daddy kemana? Nanya keadaan aku? Tahu perkembangan aku setiap harinya? Enggak kan! Cukup dad, sekarang daddy silahkan pergi dengan istri baru daddy, sang sekretaris, keluar dari rumah aku dan mommy!" Usir Cia sambil menyerahkan peralatan melukis kepada Tasya, istri baru daddy-nya yang ketika itu keluar dari mobil dengan tatapan heran.
"Loh kenapa dibalikin sayang? Bukannya kamu suka melukis kata daddy kamu? Kenapa ini belum dipake sama sekali" tanya Tasya dengan suara lembut, namun Cia tahu itu dengar sengaja dilembut-lembutkan.
"Gak usah tante, alat lukis aku masih bagus, lagi pula mommy udah beliin aku yang baru juga" Cia berusaha menolak secara halus pemberian Tasya. Cia berjalan ke bagasi untuk menyimpan barang itu."Tapi, makasih tante sudah baik sama aku, maaf aku gak bisa terima" ucap Cia. "Udah sepantasnya tante harus baik sama kamu sayang, kan kamu anaknya mas Devan, berarti sekarang anak tante juga" ujar Tasya.
"Aku titip daddy ya sama tante, jaga baik-baik ya, kalau gitu aku ke atas dulu ya tante" pamit Cia sambil berlari melewati daddy nya begitu saja.
Sesungguhnya Cia sangat menyayangi daddy-nya itu, dia sudah bekerja banting tulang demi anak dan istrinya, namun rasa benci menutupi semua itu, dia benci harus menerima kenyataan bahwa kini daddy-nya telah bersama wanita lain, meninggalkan dirinya dan mommy-nya.
Cia berharap bahwa ini hanyalah mimpi semata, tapi inilah kenyataan pahit yang harus ditelannya. Dia harus bisa tegar dan lapang dada atas kejadian yang menimpanya ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Selfish
Teen FictionKamu tahu? Apa yang menjadi musuh terbesar dalam hidup seseorang? Jawabannya adalah egonya sendiri. Mengapa begitu? Karena dengan ego atau sering kali kita ketahui dengan egois, orang lebih mempedulikan perasaannya, keinginannya, atau apapun yang be...