Terimakasih Cenan

56 4 2
                                    

"Five! six! seven! eight!" Gadis itu meliuk liukkan badannya mengikuti irama musik. Ia terus berhitung sesuai gerakan yang telah terancang.

"Indah masuk!!" salah seorang gadis lain maju kedepan menggerakan badannya dengan tarian modern. Gadis itu menari sesuai dengan apa yang telah ia pelajari tadi.

"Bagus! Putra, Bagas! Gerakan variasi!"

Setelah indah menyelesaikan solo modernnya formasi pun berubah. Semua pemain melingkar kepala menunduk. Tepat saat musik berganti semua pemain duduk bersila.

Lalu muncul gadis yang sedari tadi menghitung setiap gerakan dance. Kini giliran gadis itu untuk menari solo. Tubuh proposionalnya menarikan tarian tradisional asal Bali. Ia menghayati setiap inchi gerakan sehingga meninggalkan kesan yang apik bagi orang yang melihatnya. Matanya pun ikut bermain, melirik-lirik seperti para penari Bali biasa melakukannya.

Tangan dan jemari lentiknya dengan luwes bergerak kesana kemari. Rambut panjangya berlarian kesana kemari. Hingga waktunya untuk gadis itu menari solo habis dan dilanjutkan dengan semua pemain ikut menari tarian Bali.

Formasi kembali berubah. Musikpun kembali berganti dengan musik modern sebagai tanda untuk berpindah dari tarian Bali ke tarian modern lagi.

Sampai akhirnya musik berhenti maka latihan mereka pun ikut berhenti. Gadis itu tersenyum senang. Semua penari bertepuk tangan karena latihan hari ini ada kemajuan daripada kemaren.

"Sampe disini latihannya. Terimakasih buat kalian semua, gue harap latihan minggu depan lebih baik dari pada ini. Tetep semangat dan jaga kesehatan kalian." Aruna mengakhiri latihan ini dengan berdoa. Lalu para penari itu pulang, terkecuali Aruna.

Gadis berseragam SMU itu masih berada di tempat latihan. Ia melihat video yang menunjukkan dirinya serta tim dance lain yang sedang berlatih. Video tersebut baru saja ia ambil karena harus ia kirim kepada Paulina ketua tim dance. Paul tidak datang hari ini karena dirinya tengah sakit. Aruna pun diberi tugas oleh Paul untuk menghandle latihan pada hari ini.

Aruna melirik arlojinya. Jam 18.45. Gawat! Ia pasti dimarahi lagi oleh Mamanya. Gadis itu buru-buru membereskan benda miliknya lalu bergegas pulang menaiki cimot--motor scoopy-- kesayangannya.

"Anak gadis kok pulang malam!"

Aruna menghentikan langkahnya kala mamanya menyindir dirinya. Gadis itu tersenyum getir. Selalu seperti ini. "Aruna habis latihan dance, Ma."

"Lagi-lagi dance. Sudah berapa kali mama bilang, tinggalin dance kamu! Lihat kakak kamu gak pernah ngebantah omongan mama!" Aruna menggigit bibirnya guna melampiaskan rasa sesak di dalam dadanya. Perih. Sakit. Jelas saja, selalu begini. Jujur Aruna lelah dengan keadaan ini.

"Ma, Aruna capek. Aku pengen istirahat dulu."

"Aruna! Mama belum selesai bi-"

Ceklek.

Maaf Ma...

Aruna mengunci pintu kamarnya. Menjadikan pintu itu sebagai sandaran, perlahan tubuhnya merosot. Kelopak matanya tak mampu lagi membendung air mata yang sedari tadi ia tahan. Menangis. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Mau bagaimana lagi? Gadis itu hanya bisa meratapi betapa sial hidupnya.

Tuk.

Aruna menghapus air matanya cepat. Ia tak mau jika Rennanda mengetahui kalau ia baru saja menangis. Namun percuma saja, pepatah mengatakan ada asap maka ada juga apinya, seperti mata Aruna yang tetap sembab walaupun air mata telah berhenti mengalir di pipinya.

Aruna beranjak dari tempatnya membuka jendela kamar guna memudahkan akses Rennanda untuk masuk ke dalam kamarnya.

Kebiasaan Rennanda membuat Aruna tak habis pikir. Kenapa ia sangat hobi menaiki balkon kamarnya dari pada memilih lewat dari pintu depan.

Rennanda menatap Aruna intens.

Aruna menaikan alis kanannya.

Laki - laki itu menghela nafasnya berat. "Lagi?" dan hanya dibalas dengan senyum kecut Aruna.

"Kenapa lo nggak berhenti ngedance aja sih, Na. Lo nggak capek diginiin terus?"

"Cenan! Lo tau sendirikan gue nggak bisa ninggalin dance."

Dance. Hobi yang sudah menjadi separuh dari raganya. Lewat gerakan tubuhnya membuat ia merasa menjadi bebas. Dengan menari dirinya meluapkan semua perasaannya.

Semua emosi yang selalu ia pendam ia tumpahkan lewat tarian. Dengan begitu ia merasa seperti hidup kembali. Entahlah, hanya saja saat ia menari ia seperti menemukan dunianya sendiri. Tanpa seorangpun yang boleh mengusiknya. Termasuk Mamanya.

"Lagian gue fine - fine aja kok hidup kayak gini," lanjut Aruna.

Rennanda memandang sinis Aruna. "Seriously? Tiap malem gue kesini dan sering liat lo nangis. Lo masih bilang kalo lo baik baik aja?"

"Udahlah, Cen. Gue lagi nggak mau bahas masalah ini. Oke?" Rennanda menghembuskan nafasnya. Ia sudah pasrah dan mengikuti kemauan sahabatnya itu.

Dalam diam Rennanda mengamati Aruna menonton film drama korea di laptop. Tapi yang terlihat malah film itu menonton Aruna yang tengah melamun. Rennanda berdecak, ia gemas dengan sikap sahabatnya. Bilangnya nggak papa padahal lagi ada apa apa. Dasar cewek!

"Na, ikut gue yuk."

Aruna sedikit terlonjak karna tepukan Rennanda di pundaknya. "Kemana?" Aruna mengecek arloji yang melekat di tangan kirinya. "Jam setengah delapan, Cen. Lo mau nyulik gue kemana?"

Rennanda mengusap - usap tengkuknya dan menyengir. "Gue juga nggak tau sih. Tapi pengen bawa lo keluar rumah biar lo jadi ngerasa tenang gitu."

Gadis itu melongo mendengar penuturan Rennanda barusan. Sedetik kemudian tertawa kecil. "Cen, gue nggak sedepresi itu kali. Tenang aja gue baik baik aja."

"Tapi gue ngeliat lo lagi nggak baik baik aja, Ana. Ck, come on gue nggak bisa lo bohongin."

Cenan benar, ia pun tahu itu. Ia butuh sesuatu untuk menenangkan pikirannya. Tapi mengingat dirinya baru saja pulang ia jadi takut meminta ijin pada Mamanya untuk keluar rumah. Aruna juga sedang tidak ingin berdebat dengan Mamanya lagi.

Aruna terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengeluarkan suaranya kembali. "Gue nggak bisa, Cen," putusnya.

Rennanda menaikkan alis kanannya.

Belum sempat Aruna menjawab Rennanda menghela nafasnya kasar. Ia sudah tahu jawabannya. "Gue bakal minta ijin sama nyokap lo. Lo tinggal siap-siap aja. Sepuluh menit lagi gue kesini." Pemuda itu tersenyum menenangkan lalu menepuk - nepuk puncak kepala Aruna penuh rasa sayang.

Tanpa ba bi bu lagi Rennanda melesat menuju balkon dan kembali kerumahnya.

Tanpa sadar Arunaa tersenyum. Selalu ada cara bagi Rennanda untuk membuatnya kembali tersenyum. Aruna sangat bersyukur mempunyai sahabat seperti Rennanda yang selalu ada setiap saat untuknya. Semoga saja.

                                🍭🍭🍭


Hai, ini cerita kedua ku😊
Terimakasih untuk yang sudah mampir di lapak ini, semoga kalian suka:')
Aku menerima kritik dan saran kalian semua kok😄

Percaya Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang