Chapter 6

1.4K 171 16
                                    

Aku tertegun, apa yang harus aku lakukan? Keringat dingin membasahi tubuhku, aku melirik Bryan, meski aku tak bisa melihat wajahnya, aku tahu kalau ia memiliki ekspresi yang sama denganku: takut. Aku kembali memandang ke depan, Pria itu masih memandangi kami tajam, tak ada pilihan lain selain menuruti kemauannya, aku membuka penutup kepalaku.

Bryan terlihat tersentak, terkejut melihat apa yang aku lakukan, ia tak kunjung membuka penutup kepalanya, dan kini, hanya wajahku yang dapat dilihat pria itu.

"Dan, kau, buka penutup kepalamu!" Pria itu menunjuk Bryan.

Bryan terlihat terkejut, aku mengangguk padanya, meyakinkannya, pada akhirnya ia memilih menurut dan membuka penutup kepalanya. Pria itu mengangguk.

"Kalian benar-benar orang yang diturunkan Alpha untuk genosida?" Tanyanya memastikan, dari nadanya aku tahu kalau ia ragu.

Aku menarik nafas, matanya kini bertatapan dengan mataku yang tak lagi memakai penutup wajah. "Ya." Jawabku dengan nada yang diyakinkan.

Ia tersentak, namun sesaat kemudian ia tertawa terbahak-bahak. "HAHAHA, ALPHA SUDAH GILA!"

Aku menahan nafas didepan pemandangan menyeramkan itu, seorang pria kekar yang tertawa terbahak-bahak. Namun kemudian mencoba mengikuti keadaan dengan ikut tertawa kecil, Bryan disampingnya masih berdiri mematung, bergeming tanpa ada senyum di bibirnya, namun aku membiarkannya saja.

"Ya, kupikir juga aneh Alpha mengangkat remaja seperti kami untuk genosida, tapi itu kebenarannya." Kataku mencoba meyakinkannya.

Ia berhenti tertawa dan mengusap air mata di matanya yang jatuh karena tertawa terbahak-bahak. "Baiklah, kembali bertugas." Ia mengisyaratkan agar aku dan Bryan keluar dari ruangannya.

Aku menangguk, lalu menarik lengan Bryan yang masih terpaku tak tahu harus berbuat apa.

Lorong di luar ruangan itu sepi dengan temaram lampu redup di setiap sepuluh meter, membuat suasana sedikit mencekam, pintu-pintu berderet semakin membuat suasana bagai keadaan di film horor, aku bahkan membayangkan sesosok monster menyeramkan atau seorang psikopat gila dengan senjata tajam di tangannya keluar dari salah satu pintu itu dan mengejar kami, namun pikiran itu kucoba buang jauh-jauh.

"Kau tidak meminta denah tempat ini?" Tanya Bryan seraya memakai kembali penutup kepalanya.

Aku menatapnya, lalu memukul lengannya. "Kau gila? Bagaimana jika setiap orang yang diutus Alpha sebenarnya sudah diberi pelatihan dan denah tempat mereka bekerja? Pria itu bisa semakin curiga kalau kita bukan diturunkan Alpha untuk genosida!"

Bryan mengangguk. "Jadi, kita akan berkeliling tempat ini dan mencari pintu menuju Odintas, begitu?"

"I guess?" Kataku ragu seraya memakai penutup kepalaku, lalu mengangkat senjataku. Satu-satunya perlindunganku saat ini. Aku mengangguk pada Bryan untuk isyarat, apakah ia siap. Ia membalas anggukan ku, namun ia tetap diam di tempatnya.

Aku menggeleng, lalu berjalan melewatinya. Aku tahu ia tak tahu harus berbuat apa sekarang, disituasi seperti ini. Kami berjalan tanpa tahu arah dan tujuan, hanya berjalan menyusuri lorong kosong temaram yang terlihat tanpa ujung, lalu dihadapan kami, lorong itu bercabang tiga.

Bryan menyentuh pundakku, aku menoleh, ia memberi isyarat.

Haruskah kita berpencar?

Aku berpikir sebentar, aku takut jika kami berpencar, kami takkan bisa bertemu lagi. Tembok ini membentang puluhan kilometer, tempat ini sangat besar, mungkin mustahil untuk bertemu lagi ditempat yang sama di dalam tembok ini bagi orang yang belum mengenal tempat itu sendiri. Tapi kupikir, berpencar cukup membantu melacak pintu menuju Odintas.

Bryan kembali menepuk pundakku, menanyakan jawabanku. Aku mengangguk, lalu memberi isyarat.

Aku ke kanan, kau ke kiri, cari jalan menuju Odintas, lalu cari kembali jalan keluar ke Synithis, kita akan bertemu di Plaza Synithis.

Bryan mengangguk, lalu berjalan ke arah yang kubilang. Aku menghela nafas, berat, hanya menyusuri lorong cenderung gelap ini. Sendirian. Berbelok ke kanan, ke kiri, tanpa arah, sampai di ujung lorong buntu. Aku mendengus, hanya lorong buntu dengan pintu diujungnya. Aku menendang pintu itu, lalu terbentang pemandangan yang sangat kontras dengan Synithis, lebih hijau, lebih maju, lebih indah. Odintas.

***

Aku kembali menyusuri lorong itu, sambil terus mengingat-ingat arah kemana aku berlari. Kanan, kiri, kiri, kanan, kiri, dan sebagainya, namun aku tak yakin dapat mengingatnya. Pintu keluar telah terbentang didepan mata ketika sebuah tangan menarik pundakku, seseorang dengan seragam yang sama denganku.

Bryan? Batinku. Bukan, dia bukan Bryan, tubuhnya bahkan lebih tinggi dari Bryan dan aku.

Ia menyuruhku untuk mengikutinya, aku hanya menurut dan mengikuti apa maunya. Menyusuri lorong yang, sedikit berbeda kali ini. Dengan lampu redup berwarna merah setiap sepuluh meter, aku berjalan dibelakang penjaga itu, dan, terdiam, aku menginjak cairan kental berwarna merah. Darah.

Tubuhku membeku, sementara dia terus berjalan dihadapanku, kupikir ini waktu yang tepat untuk berlari berbalik meninggalkannya. Perlahan, aku berjalan agar tak terdengar derap langkah kakiku, berbelok, lalu berlari sekuat tenaga.

Derap langkah kaki itu kini terdengar dibelakangku, dia mengejarku! Tanpa pikir panjang, tanpa arah, aku hanya berlari menyusuri lorong redup itu, sesekali menabrak tembok karena cahaya redup yang tak jelas, hanya berharap menemukan jalan keluar.

Seberkas cahaya bersinar dihadapan, Synithis. Aku mempercepat lariku, berharap itu bukan hanya ilusi belaka.

Tidak, itu bukan hanya ilusi, itu nyata, pintu terbuka itu nyata, pintu menuju Synithis. Aku segera berlari keluar, menyusuri jalan-jalan kecil Synithis, menuju Plaza Synithis.

Aku membuka penutup kepalaku agar tak terjadi salah sangka antara masyarakat Synithis, namun sepertinya mereka sudah tak aneh dengan kedatangan seorang penjaga ditengah-tengah mereka.

Satu jam. Dua jam. Bryan tak kunjung datang, dia tak datang bahkan sampai senja menjelang, di tidak pernah kembali. Dia tidak pernah kembali lagi.

***

ALPHA (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang