Chapter 10

1.4K 150 15
                                    

Lorong gelap,

Hanya lorong gelap, tanpa penjaga, tanpa senjata, dan tanpa pengawasan. Hanya lorong dengan lampu-lampu redup kuning yang tak cukup untuk menyinari keseluruhan lorong, lampu setiap berpuluh-puluh meter sekali ada diatas langit-langit lorong.

Sesekali, entah darimana, angin dingin berhembus perlahan membuatku merinding, ditambah suasana lorong yang seperti ini membuat nyaliku ciut.

Bryan menghela nafas, dari sikapnya, sepertinya ia juga takut, sama sepertiku. Sesekali ia menggenggam senjata yang ada ditangannya semakin erat, seakan takut sesuatu terjadi pada benda yang ada ditangannya itu.

Ia melangkah. Satu demi satu. Perlahan.

Masih tak terlihat ada ancaman, setidaknya.

Bryan melangkahkan kakinya, berjalan perlahan menyusuri lorong suram ini dengan aku berada dibelakangnya.

Sesekali aku menengok kebelakang, takut tiba-tiba gerombolan penjaga tembok ini berlari ke arah kami. Namun sepanjang aku berjalan mengikuti Bryan, bagian belakang terlihat aman-aman saja.

Bryan berbelok ke arah kiri, ia lebih hafal tentang lorong-lorong di tembok ini dibandingkan aku. Jelas. Ia bahkan tidak ketahuan sebagai penyusup sampai ia menembaki para penjaga yang tadi menyekapku.

Ya, salah satu penjaga itu adalah Bryan, ketika waktu yang tepat, ia menembaki penjaga itu. Gerakan tiba-tibanya berhasil membuat beberapa penjaga pingsan setidaknya, beberapa sisanya berhasil berlari keluar ruangan untuk menemukan bantuan yang lebih besar, termasuk pria dari Proedros.

Ia kembali berbelok, kini ke arah kanan, dan terbentanglah mimpi burukku disini: lorong merah, lorong dengan lampu merah.

Bryan berbalik menatapku, seakan menanyaiku --atau mungkin mengejekku yang berlari ketika datang ke lorong ini.

Aku mendengus.

Bryan membuka penutup kepalanya, yang kini memudahkannya untuk berbicara, ia kembali berjalan sembari sesekali menjelaskan tentang tembok ini, beberapa hal yang ia tahu.

Sedetik kemudian mengalirlah kisah tentang lorong merah ini. Sebuah kisah yang tidak bisa disebut dongeng, legenda, ataupun fiksi. Kisah yang tidak bisa dijadikan pengantar tidur. Sebuah kisah tentang kematian.

***

Bryan merapatkan tubuhnya kedinding, ia kembali memakai penutup kepalanya agar tak mudah dikenali.

Menurutnya, Flor dan Eve ada dibalik salah satu pintu yang berjajar di lorong ini.

Ia begitu yakin hanya karena satu hal: dibalik pintu-pintu yang berjajar dilorong merah ini adalah tempat eksekusi mati bagi warga Synithis dan Kaki.

Secara tidak langsung, bisa dibilang kalau lorong ini adalah tempat bersemayamnya penduduk-penduduk yang sama sekali tidak bersalah.

Andai mitos hantu balas dendam masih tetap eksis di Centropolis, maka sudah dibilang kalau tempat ini adalah tempat paling berhantu di kota ini. Sayangnya hantu tidak pernah lagi ada di Centropolis, yang ada hanyalah teror virus yang menghantui setiap jaringan di kota, itupun bisa diatasi dengan mudah.

Dengan menajamkan pendengarannya, ia berjalan sambil sesekali meloncat menghindari genangan cairan berbau amis.

Darah.

Itu ada dimana-mana, di lantai, dinding, bahkan sesekali menetes dari langit-langit. Aku bahkan yakin kalau lampu berwarna merah yang ada di sepanjang lorong ini juga terbuat dari darah.

Bau amis ini membuatku ingin muntah, menciumnya saja sudah membuatku ingin segera berlari keluar dari tembok ini tanpa memikirkan lagi Flor dan Eve, apalagi aku melihat bahwa sumber bau amis itu ada disekelilingku, itu sudah cukup membuatku ingin segera mundur.

Tapi bayangan Flor dengan mulut dan mata ditutup sambil diikat ke sebuah kursi dengan seorang penembak didepannya sedang membidik kepalanya dengan sebuah senjata api yang selalu tepat sasaran membuat tekadku berubah: menolong Flor dan Eve, lalu berlari keluar.

Namun aku tahu, hidup tak pernah semudah itu.

Kau tau? Bahkan jika lautan yang terlihat tenang pun selalu memiliki gangguan, badai, ombak raksasa, atau topan yang mengangkat air dari dirinya.

Aku kembali fokus pada tujuanku, mengabaikan kata-kata puitis yang tiba-tiba menghinggapi otakku.

Tidak, aku tak perlu memikirkan kata-kata puitis itu dan repot-repot menuliskannya pada selembar kertas, aku takkan mati, aku yakin, aku takkan mati, begitu juga dengan Bryan, Flor, dan Eve.

Seketika aku tersadar kalau aku telah tertinggal jauh dari Bryan yang telah jauh didepanku.

Sontak, aku segera berlari menyusulnya, mengabaikan cipratan darah yang akan meninggalkan bekas berwarna merah di celana panjangku, itu bukan masalah besar.

Bryan berhenti, ia berbalik, meskipun wajahnya tertutup penutup kepala, aku tahu ia menatapku.

Dan ketika itu pulalah aku tersadar kalau suara sepatu yang menginjak sebuah genangan tanpa hati-hati bisa menghasilkan suara, apalagi di dalam lorong yang sunyi seperti ini, suaranya bisa membesar dua kali lipat.

Sedetik kemudian aku menyesali perbuatan cerobohku yang bisa membuat aku dan Bryan tertangkap dan masalah menjadi lebih rumit lagi.

Namun... ya, masalah menjadi semakin rumit saat ini, namun masalah itu bukan berasal dari aku dan Bryan, masalah itu--adalah sebuah teriakan melengking dari salah satu ruangan yang seketika bergema di seluruh penjuru lorong ini.

Flor.

***

ALPHA (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang