Alumni Warung Kopi

14 0 0
                                    

   Langit malam yang gelap, semakin gelap karena awan hitam yang membawa hujan..
Hujan deras membuat suara seng yang berisik terkena air yang turun dari langit.
Bintang di langit tak terlihat karena tertutup awan hujan, orang yang berlalu-lalang pun sepi karena takut terbasahi..

   Hujan seakan jadi alasan warung kopi yang biasanya ramai jadi sedikit sepi. Aku sekarang berada di sebuah warung kopi, ditemani hujan yang turun dan segelas kopi sachet buatan dalam negeri yang telah diseduh sebagaimana biasanya. Aku memang bukan penggemar kopi, tapi aku ingin mencari tau tentang kopi. Hujan yang turun seakan mengajak pikiranku kembali mengingat saat aku berada di kampung halaman saudaraku itu.

                             ***

Liburan telah tiba, aku memutuskan untuk berlibur di rumah sepupuku di Bandung. Aku memanggilnya ibuk. Dia mempunyai anak laki-laki yang bernama Dimas. Aku cukup lama berada disana. Oleh karna itulah aku banyak bertemu dan berteman dengan orang-orang baru. Aku pun dikenalkan dengan teman-teman Dimas. Aku sering diajak dimas bertemu dengan teman-temannya. Mengenal mereka membuatku sering pergi ke warung kopi di pasar induk ditempat sepupuku bekerja, yang membuatku mengenal banyak orang yang memiliki banyak cerita menarik.
   Salah satunya mas Herman seorang bos pasar yang menyuplai beberapa toko sembako di pasar ini, dan yang menjuluki aku dan kawan-kawan baruku “Alumni Warung Kopi” karena terlampau sering ke warkop pasar induk.
Mas Herman, mungkin kebanyakan orang tak menyangka dia termasuk bos di pasar ini. Penampilannya biasa saja, tak istimewa maupun terlihat seperti orang kaya semestinya. Dia biasa memakai kaos oblong yang terkadang berwarna hitam ataupun kadang juga putih. Kaos oblong merk minimarket yang banyak tersebar di nusantara, celananya pun hanya celana kolor sedengkul yang mungkin beliau beli dipasar ini juga. Kalau kau ingin mencari dia di pasar, cukup pergi ke warkop biasa aku duduk bersama kawan-kawanku.
Beliau orang yang baik, sering membayar kopi kami saat di warkop. Dan beliau juga sering bercerita perihal hidupnya.
“Saya itu dulu orang gak punya mas, usaha bapak saya bangkrut saat saya masih SMP” tutur beliau saat kami pertama kali bertemu kami di warkop.
Ya, dulunya keluarga mas Herman termasuk orang yang kaya di kampungnya, namun saat dia kelas 1 SMP usaha bapaknya bangkrut karena ditipu karyawannya. Setelah itu, bapaknya sakit-sakitan dan saat beliau kelas 2 SMA bapaknya meninggal. Karena beliau merupakan anak pertama dari 2 bersaudara di keluarganya, beliau harus menjadi tulang punggung keluarganya dan memutuskan tidak melanjutkan pendikannya. Beliau sempat putus asa saat itu, dirinya sempat sering mabuk-mabukkan setelah bapaknya tiada. Bahkan pernah tertangkap polisi karena mabuk di tempat umum.
“Masa lalu saya kelam mbak, saya pernah masuk bui, walau itu Cuma lima hari karena mabuk di pinggir jalan. Karena saya tak punya uang saya pun dibebaskan lima hari setelahnya. Gak seperti teman-teman saya yang bebas setelah dua hari karena membayar kepada polisi” tuturnya saat itu.

                           ***

   Di penjara dia jadi bulan-bulanan tahanan lain. Dan setelah dibebaskan ibunya menangis melihat beliau babak belur penuh luka lebam di mukanya.“Ibu saya nggak marah, dia Cuma bilang kalo saya begini terus pasti bapak saya menangis di sana. Dan kata-kata ibu menyadarkan saya ”.

Setelah kejadian tersebut mas Herman mulai mencari pekerjaan, beliau punya mimpi adiknya harus lulus SMA, kuliah jika memungkinkan. Beliau bekerja serabutan. Pagi di pasar, sore jadi pedagang asongan, dan malam hari dia berjualan rokok di terminal. Kegigihan usahanya dilihat oleh pejabat di terminal.

“Setelah sekitar dua tahun kerja serabutan, saya diajak jadi OB di terminal mas, mbak. Saya langsung menerimanya wong saya juga pengen kerja tetap” Cerita beliau padaku dan kawanku.

Beliau bekerja sebagai OB di terminal selama satu tahun, selama satu tahun itu pula saat beliau tidak mendapat shift sebagai OB mas Herman berjualan rokok disekitar terminal. Penghasilannya digunakan untuk pendidikan adiknya yang saat itu kelas 6 SD. Sedangkan untuk biaya hidup, gaji ibunya yang bekerja sebagai buruh di pabrik masih mencukupi, dan sisa gajinya dia tabung untuk usaha yang dikemudian hari beliau bentuk.

“Sekitar satu tahun saya jadi OB saya minta untuk keluar pada bos saya, lalu dengan pesangon yang saya dapat dan tabungan yang saya kumpulkan sedari saya bekerja di pasar saya beranikan diri untuk membuka toko.” Ceritanya sambil menyalakan rokoknya.
Tahun demi tahun terlewati, toko yang beliau dirikan berangsur-angsur menjadi besar. Namun toko yang mas Herman dirikan juga pernah mengalami masa-masa sulit saat banjir melanda kota ini tahun 2007. “toko saya pernah kebanjiran tahun 2007, hampir semua barang dagangannya rusak terkena air”. Tapi dia tidak patah semangat, dia tetap melanjutkan tokonya dengan sisa-sisa uang yang dipunyainya.
Lambat laun tokonya besar dan dia membuka toko di lain tempat. tokonya juga mulai menjadi tempat kulakan toko-toko lain termasuk toko dipasar induk warkop tempatku bertemu beliau dan mendengar cerita-cerita beliau dan orang lainnya. Adiknya sekarang tengah menjalani pendidikan jurusan manajemen di Universitas Brawijaya Malang. “biar dia kuliah manajemen , nanti biar dia membantu mengurus manajemen usaha saya biar makin maju dan bisa jadi tempat kerja bagi orang lain” tuturnya. Sungguh niat yang mulia untuk membuka lapangan pekerjaan untuk orang lain.

                            ***

   Mas Herman bisa seperti sekarang itu karena usaha beliau yang benar-benar gigih. Melewati berbagai problematika hidup yang mungkin bagiku atau kawan-kawanku sulit untuk bisa dilewati begitu saja. Bukan sekedar masalah mengerjakan tugas yang tak bisa dimengerti ataupun masalah anak SMA tentang berkelahi... Dari mas Herman kami belajar banyak mengenai bagaimana kami harus berusaha.
“Kalian itu beruntung dek, bisa sekolah. Gak perlu minder kalo kalian gak pinter, buktinya saya yang SMA gak lulus bisa seperti sekarang. Masa lalu bukan acuan, masa lalu saya cukup suram.
   Tapi yang terpenting bagaimana kita menjalani masa kini agar masa depan kita lebih baik” Ucap mas Herman sembari tertawa.
“Gak papa kalian disebut nakal karena sering ngopi disini, tapi saya percaya kalian para Alumni Warung Kopi ini pasti bisa jadi orang sukses, rezeki orang Allah yang ngatur mas” Lanjut beliau.
“Aamiin..” ucap kami serentak.
Setelah banyak cerita kami dengar di warung kopi. Kami para alumni warung kopi, sebutan yang disematkan pada kami oleh mas Herman, bertekad untuk bisa menunjukkan pada guru-guru yang sering mengucapkan kata seperti ”kalian pasti tidak bisa masuk universitas negeri setelah lulus” atau “kalian mau jadi apa setelah lulus, Cuma bisa merepotkan orang lain”. Kami mulai agak sedikit sungguh-sungguh belajar. Meskipun menurutku sudah terlambat karena kami sudah semester 2 kelas 2.
Pada saat kelas 3 sendiri aku mengikuti banyak tes untuk perguruan tinggi. Salah satunya beasiswa Astra, aku tinggal selangkah lagi bisa mendapatnya setelah ikut tes. Namun sayangnya aku gagal lolos tes kesehatan karena mataku minus dan memakai kacamata. Tapi aku teringat orang tuaku dan kata-kata dari mas Herman, jadi aku tetap mendaftar sana sini dan akhirnya diterima di perguruan tinggi negeri di Palembang.
Kawan-kawanku Alumni Warung Kopi. Semuanya mendapat tempat setelah lulus SMA. Ada Edo yang di terima di Hubungan Internasional Universitas Brawijaya, Haris yang sedang menjalani masa pendidikan polisinya, Dicky yang masuk jurusan manajemen yang dia inginkan di UIN Malang, maupun Aba yang masuk manajemen bisnis di UNS. Ya, kalimat guru tak terbukti pada kami. Dan kami bangga akan hal itu, meskipun masa depan kami juga masih abu-abu. Namun setidaknya kami bisa membuktikan pada mereka bahwa kami yang sering pergi ke warung kopi juga bisa seperti siswa-siswi yang mereka bangga-banggakan. Dan kami berhasil membuktikan meskipun kami memang nakal karena sering bolos kelas, tapi kami bisa mencapai tujuan kami setelah lulus SMA.
Ya dari warung kopi aku belajar. Belajar banyak hal yang tak kudapat di sekolah. Tak perlu kopi berfilosofi, atau harus sesuai masa kini. Cukup kopi sachet yang dibilang gak enak ataupun apapun yang bisa kau beli untuk menemani obrolan yang kadang tak perlu dan kadang pula terlalu serius. Bukan apa yang ada yang hidangan untuk kita, tapi siapa saja yang menemani obrolan-obrolan kita jika berada di warung kopi. Ada kalimat yang aku dan kawanku akan selalu ingat. “Pergilah ke sini, ke warung kopi. Saling bercerita tentang kehidupan ini. Saling berbagi, meskipun hanya sesruput kopi atau hanya meminjamkan sebuah korek api”.

All The Memories Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang