3. Sebaik-Baik Wanita

1.2K 49 6
                                    


"Aku takkan melarangmu dekat dengan dia atau pun siapa saja. Tapi ketahuilah, aku akan selalu berbisik pada Sang Pemilik Cinta, "Tuhan, jaga dia." Kau tau, hati ini milik-Nya. Entah kapan dan di mana rasa ini pada akhirnya berlabuh, kuharap itu kamu..."
-@intan17putri

Sampai di depan pagar sekolah, hati Zahra mencelos melihat lapangan telah kosong, yang berarti siswa dan siswi SMA Assalam sudah masuk kelas dan proses belajar mengajar akan dimulai tak lama lagi.


"Zahra, kamu kok telat lagi?" ucapan itulah yang menjadi sambutan selamat pagi Zahra.

Zahra menunduk, dan cengengesan kemudian. "Aduh, maaf ya, Pak. Saya udah buru-buru kok. Tapi ternyata saya ditabrak Pak. Liat nih," ujar Zahra menunjukkan telapak tangannya yang kotor dan agak lebam.

Dalam hati, Zahra mengucap syukur. Untung saja dia belum membersihkan tangannya. Semoga kesan dramatisnya dapat.

Sebenarnya Zahra tak akan terlambat selama ini jika saja dia tidak syok, sehingga jadi berdiri terlalu lama di TKP karena melamuni cowok sholeh yang menabraknya tadi pagi. Siapa juga yang ngga melamun habis liat Malaikat, coba? Pikir Zahra.

"Ah, palingan juga kamu gosokin tanah depan perkarangan sekolah ke tangan kamu," tuduh Pak Nafis, satpam SMA Assalam.

"Idih, Bapak ngga boleh fitnah loh. Saya jujur."

"Emang kamu ditrabak apa?" tanya Pak Nafis kemudian, kumisnya yang mirip Adolf Hitler berayun-ayun dihembus angin, seakan mengejek Zahra.

Zahra menggigit bagian dalam pipinya, "Sepeda, sih. Hehe..." Zahra nyengir, menahan bibirnya yang ingin mengoceh betapa keren, tampan, baik, dan segala hal indah tentang orang yang menabraknya. "Jangan sampe deh! Malu, Ra!" bisik hati Zahra.

"Tapi kan tetep sakit, Pak." elak Zahra, tak mau menyerah, pokonya dia harus bisa lolos dari jeratan hukuman. "Boleh ya Pak saya langsung ke UKS, habis itu balik ke kelas. Saya ngga mau ketinggalan pelajaran Pak, makanya buru-buru sampe ketabrak sepeda."

"Bukan urusan saya. Semalam kamu sudah diberi keringanan, bahkan tanpa beban boleh masuk kelas gitu aja. Kali ini gak ada toleransi apapun alasannya. Bisa-bisanya kamu telat dua hari berturut-turut."

Bibir Zahra mengerucut sebal. Kalau saja Pak Nafis satpam bertubuh pendek ini tidak sering membantunya lewat gerbang tanpa dihukum, sudah Zahra lawan sedari tadi. Apalagi dia itu sering berdiplomasi di forum-forum online, baik dalam atau pun laur negeri, topiknya sudah internasional, membicarakan kebijkan kontroversi Donald Trump sampai keterbatasan kebebasan pers di Republik Rakyat Cina. Kalau perlu, nanti Zahra ingin ikut ekskul yang ada hubungan dengan Bahasa Arab, supaya bisa debat menggunakan Bahasa Arab, yah kalus susah, bisa di-mix lah pake bahasa inggris.

"Terus saya harus ngapain dong, Pak?"

"Pulang!" sahut Pak Nafis membentak lebih keras.

Zahra menciut, dia nyengir kuda, "Eh, si Pak Hitler," tak sengaja, Zahra segera menutup mulutnya. "Jangan dong..."

Pak Nafis menatap Zahra dengan mata memicing, kumis Adolf Hitlernya bergerak-gerak mengancam. "Sana, sapu itu daun di selokan!"

Zahra menghembuskan napas lega, agak sebal juga. Untung Pak Nafis ngga tau Adolf Hitler yang mana, kalau enggak mungkin sekarang Zahra sudah pulang beneran.

"Cepetan!" desak satpam itu.

"Iya..." sungut Zahra. Dengan enggan diambilnya sapu di belakang pos satpam dan saegera menyapu dedaunan kuning dan kering di selokan dengan seperampat hati. "Apes, deh!" gerutu Zahra, "eh, tapikan jadi jumpa Pangeran," Zahra terkikik, "kira-kira namanya siapa yah?" Zahra mengkhayal semakin jauh, "Justin? Atau Shawn, Marc, Jhonny, Brent, Harry, atau jangan-jangan Song Jong Kii? Ah, engga. Dia lebih menawan daripada mereka bintang Hollywood dan Oppa-Oppa Korea itu, duh pasti namanya terukir sama gue deh di Lauh Mahfuzh!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 16, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cadar dan Ketua Rohis SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang