Sendiri

10 1 0
                                    

"Nona Lara, apa anda bisa ke kantor polisi sekarang? Ada yang perlu anda tahu."

Sudah tiga minggu sejak pembunuhan ayahnya. Mendapat telfon dari detektif pagi-pagi membuat Lara langsung bangun dan bersiap untuk pergi ke sana.

Ia memakai cardigan berwarna kremnya untuk melengkapi tank top hitam dan hotpantsnya. Ia menyetir mobilnya dengan buru-buru menuju kantor polisi.

"Kami sudah menangkap PSK yang membunuh ayah anda. Hampir saja ia pergi ke luar negeri untuk melarikan diri."ucap detektif itu lalu berhenti di sebuah pintu. "Apa yang dia bilang nanti mungkin akan bikin kaget."ucap detektif Farhan lalu membuka pintu ruangan itu.

Lara masuk dengan detektif Farhan lalu keduanya duduk tepat di depan Siti, pelaku yang membunuh ayah Lara.

"Ini anak korban. Silahkan kamu kasih tau dia siapa yang nyuruh kamu melakukan kegiatan keji seperti itu."

Siti menatap Lara, "Saya.. ga berniat membunuh siapapun. Tapi saya butuh uang dan Maya berjanji akan memberikan itu semua—"

"Tunggu. Maya? Ibu saya?"tanya Lara kaget.

Siti mengangkat kedua bahunya, "Kalau ibu kamu bernama Maya Saraswati."

Jantung Lara seakan keluar dari tubuhnya dan jatuh ke lantai. Ia tak menyangka ibunya melakukan hal sekeji itu. Ia tiba-tiba merasa sesak dan segera keluar dari ruang interogasi.

Ia memegang dadanya dan bahkan air matanya menetes.

"Lara? Anda tidak apa-apa?"tanya detektif Farhan.

Lara mengangguk lalu menarik nafas dalam.

"Ibu anda juga ada di ruang interogasi. Kami tidak bisa mendapat pengakuan apa-apa karena ibu anda tidak mau berbicara sebelum pengacaranya datang."

"Saya... biar saya yang masuk. Saya ingin menanyakan semuanya pada ibu saya."ucap Lara.

"Oke. Kalau anda tidak kuat seperti tadi, anda bisa langsung pergi dari sana."

Detektif Farhan mengantar Lara ke ruang interogasi lainnya dan kini membiarkan Lara masuk sendirian sementara detektif Farhan masuk ke ruangan yang ada di balik kaca.

"Sayang! Untung kamu di sini. Bantu mama jelasin ke detektif itu ya ka—"

"Kenapa, mah?"tanya Lara memotong perkataan ibunya. "Kenapa mama ngelakuin hal sekeji itu?"

Maya kaget mendengar anaknya lalu menggeleng, "Jangan bilang kamu juga percaya omongan PSK itu, sayang. Kamu tau mama kan? Mama masih sayang sama papa kamu!"

"Please, mah. Jujur sama Lara. Stop semua kebohongan ini."ucap Lara yang akhirnya menangis di depan ibunya.

Maya diam, ia masih tak ingin mengakuinya. Namun melihat anak perempuannya terisak, iapun menjelaskan semuanya. Maksud semua tindakannya hanya semata-mata untuk mendapatkan hak asuh atas Lara dan semua perusahaan Martin yang akan jatuh di tangan Lara.

Setelah semua pengakuan ibunya. Lara kembali meninggalkan ibunya tanpa sepatah kata apapun. Ia mencoba menutup pintu ruang interogasi namun suara ibunya masih terdengar.

"Mama ngelakuin semuanya biar kita selalu bareng-bareng sayang! Kamu tau itu kan?!"

Lara berjongkok di depan pintu ruang interogasi sambil menutup telinganya rapat. Tangisnya tak bisa ia tahan lagi.

Detektif Farhan memberikan jaketnya di pundak Lara membuatnya mendongak. Detektif Farhan memeluk pundak Lara sambil membantunya berdiri dan menuntunnya menjauhi ruang interogasi

Ia memberikan segelas teh hangat untuk Lara lalu duduk di sampingnya. "Ngga ada keluarga yang sempurna. Sekarang yang bisa anda lakukan, mengangkat kepala anda, dan terus menjalani hidup."ucap detektif Farhan.

Lara meminum tehnya sedikit lalu melepas jaket milik detektif Farhan dan mengembalikannya. "Terima kasih untuk semuanya. Sekarang saya akan kembali ke rumah."ucap Lara hendak pergi namun detektif Farhan menahan tangannya.

"Anda bisa menyetir sendiri? Atau perlu saya antar?"tanya detektif Farhan.

Lara menggeleng sambil tersenyum, "Saya bisa pulang sendiri kok."

Detektif Farhan melepas tangannya dan membiarkan Lara berjalan lemas pergi meninggalkannya.

Di parkiran mobil, Lara belum menyalakan mobilnya dan memuaskan tangisannya yang terus keluar. Ia mengambil hpnya dan menelfon Damara. Ia menahan tangisnya dan mencoba baik-baik saja.

"Hai, Ra!"

"Lo dimana? Kok keknya rame banget?"

"Gue di acara perusahaan bokap gue nih lagi ulang tahun sama Tania. Kenapa?"

"Gapapa. Gue tiba-tiba pengen aja denger suara lo."

"Tunggu. Lo sakit? Kok suaranya bindeng gitu?"

"Gue cuma pilek biasa. Kena debu, alergi gue kumat. Yaudahlah have fun salam buat Tania dan bokap nyokap lo ya."

"Lo seriusan ga kenapa-napa kan, Ra?"

"Iyalah! Udah gausah khawatir. Gue duluan ya."ucap Lara mematikan telfonnya.

Kini jarinya mencari satu nama. Nathan. Lara menatap sebentar nomor Nathan lalu memberanikan diri menelfonnya. Cukup lama Nathan mengangkatnya hingga terdengar suara perempuan yang sedang mengangkatnya.

"Eh, napa lo nelfon calon suami gue?"

"Nathan dimana? Napa lo yang angkat?"

"Nathan lagi foto keluarga. Lo gatau Sasha lagi ulang tahun? Udah stop ganggu Nathan. Dia udah bahagia sama gue."ucap Meisinta mematikan telfonnya.

Tak lagi memiliki perasaan. Atau tak bisa merasakan perasaan. Lara tak mengerti lagi perasaannya. Ia menyetir mobilnya menuju rumah dengan melamun. Klakson mobil lain hanyalah satu-satunya yang membuatnya sadar dari lamunannya.

Sesampai di rumah, ia berpesan pada bibinya untuk mengatakan pada siapapun ia sedang tak ada di rumah. Ia naik ke kamarnya sambil menguncinya lalu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.

Gue... udah bener-bener gakuat ngadepin semuanya sendirian.

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang