Epilog

23 2 2
                                    

Nathan berjalan perlahan menghampiri Lara. Lara melepas selang oksigen ke hidungnya lalu duduk di atas tempat tidurnya. Ia menghapus air matanya dan tersenyum menatap Nathan, "Hai."

"Lo... udah gapapa?"tanya Nathan.

Lara mengangguk. Mata Lara menangkap sesuatu di kaos abu-abu Nathan, noda darah. Lara menyentuh kaos Nathan perlahan, "Lo tau darimana?"

"Damara nelfon gue. Gue panik dan bener-bener pergi ke rumah lo dan gue nemuin lo... di kamar mandi..."ucapnya lemas.

Lara mengangguk paham, "Thanks."

"Gue—gue masih ga ngerti apa sih yang lo pikirin?"

Lara mengangkat kedua bahunya, "Gue udah bener-bener capek, Nat. Gue udah gapunya temen ngobrol, gue—"

"Lo punya gue, Ra. Lo bisa ngasih tau semuanya ke gue dan gue bisa bantuin lo atau nemenin lo atau jadi apapun yang lo butuhin."

"Is it? Lo yakin? Karena faktanya lo udah gaada di samping gue semenjak lo deket sama Meisinta, Nat."ucap Lara akhirnya meneteskan air matanya.

Bagai ditabrak mobil, rasanya terlalu sesak Nathan menerima kenyataannya. "Gue sama Meisinta—"

"Semua kejadian itu udah ngebuka mata gue, Nat."ucap Lara menghembuskan nafas panjang. "Kita emang ngga ditakdirin sama-sama."

"Mak—maksud lo?"

"Jangan salah sangka, keluarga lo keluarga yang paling hangat dan harmonis yang pernah gue temuin dan itu buat kita udah beda level."

"Gaada keluarga yang sempurna, Ra."

Lara menggeleng, "Keluarga gue udah hancur, Nathan. Gue gamau dengan adanya gue di keluarga lo, keluarga lo ikut hancur kek punya gue."

"Ra—please."

Lara menggenggam tangan Nathan. "Gue gaakan pernah lupain lo yang udah dateng dan ngasih warna di kehidupan gue. Dulu gue cuma tau hitam dan putih, berkat lo gue tau semua warna selain itu. Pelukan lo di studio musik, gue juga gabakal ngelupain itu. Itu adalah hal yang paling indah dan hangat yang pernah gue rasain."

"Ra, gue sayang sama lo. Stop semua ini. Kita bisa ngulang dari awal."

Lagi-lagi Lara menggeleng, "Terlambat, Nathan. Kalo kita bisa dipertemukan lagi di waktu mendatang, mungkin semuanya bisa berbeda." Lara tersenyum meskipun air matanya menetes, "Gue sayang sama lo, Nathan Samudra. Tapi kita gabisa sama-sama."

Nathan menatap Lara dan langsung memeluknya erat. Jika bisa, keduanya ingin menghentikan waktu untuk bisa menikmati pelukan mereka untuk terakhir kalinya. Lara memeluk erat Nathan, mencoba mengingat bau tubuh Nathan yang menenangkannya untuk terakhir kalinya. Nathan juga mengeratkan pelukannya mencoba mengingat tubuh mungil Lara yang selalu tenggelam di balik dada bidangnya.

>>>

Setelah kejadian di rumah sakit, Lara tak lagi masuk sekolah. Setiap hari Nathan terus menatap bangku kosong milik Lara berharap ia tiba-tiba muncul dengan alat tulis serba hitamnya.

Nathan semakin dekat dengan Damara dan Tania dan ia memiliki teman baru lainnya. Meisinta pun juga tak terlihat masuk ke SMA Harapan. Rumor mengatakan ia diliputi stress berat sehingga harus dirawat di rumah sakit.

Nathan tak bisa memungkiri, ia merindukan Lara begitu juga Damara dan Tania. Damara yang sahabat dekat dengan Lara, juga tak mendapat kabar apapun dari Lara. Sempat mereka berkunjung ke rumah oma dan opa Lara, namun rumah itu sudah kosong. Mereka menduga, Lara tinggal dengan oma dan opanya di suatu tempat.

Sejak Lara tak ada, Nathan mengambil alih ketua band di SMA Harapan dan sering mengunjungi studio musik. Ia suka membayangkan Lara memainkan keyboard dengan penuh senyuman dan mengajak dirinya untuk bermain musik bersama.

Sasha tak henti-hentinya menanyakan pada Nathan kapan Lara akan berkunjung ke rumahnya. Berulang kali pula Nathan berbohong dengan alasan ini dan itu.

Kehidupannya tak sama lagi semenjak Lara pergi dari hidupnya.

7 years later...

Lara menatap dua nisan di depannya. Ia meletakkan bunga mawar putih di masing-masing nisan dan tersenyum. "Terima kasih, oma, opa."

"Miss Lara."

Lara menoleh lalu mengangguk. "Lara bakal usahain sering berkunjung kok. Bye, oma, opa."ucapnya melangkah pergi dengan Ramon, supir pribadinya.

Sudah tujuh tahun Lara meninggalkan Indonesia dan hijrah ke London dengan oma dan opanya. Selama di London ia tinggal dengan keluarga oma Rosita.

Kini ia sedang dalam perjalanan menuju bandara untuk terbang ke Indonesia. Ia diminta bekerja di perusahaan ayahnya dulu. Selama di dalam pesawat pribadinya, ia tak henti-hentinya merasa gelisah. Kenangan buruknya selama di Indonesia  terus menghantuinya.

Ia terus mencoba menenangkan diri namun sia-sia. Ia harus menemui dokter setibanya di Indonesia.

Saat baru saja sampai di Indonesia, ia sudah dijemput mobil kantor dan langsung menuju kantornya. "Are you alright, Miss? Anda teihat pucat."tanya Ana, sekertaris pribadi Lara.

Lara mengangguk. "Tolong antarkan saya ke rumah sakit setelah dari kantor."

"Baik, Miss Lara."

Setelah semua pekerjaannya selesai, ia melihat jam di tangannya dan sudah pukul sepuluh malam. Saat Lara dan Ana hendak meninggalkan kantor, Lara jatuh pingsan dan Ana segera membawanya ke rumah sakit.

Saat Lara terbangun, ia sudah berada di rumah sakit. Ia melihat lengan kirinya dimana terdapat bekas suntikan. Meski merasa sedikit pusing, Lara mengambil hp dan jas nya lalu berjalan keluar dari ruang UGD.

"Tunggu!!"panggil seseorang saat Lara sudah di depan lobby rumah sakit. Seorang dokter kini berdiri di depan Lara. "Anda pasien yang jatuh pingsan itu kan? Itu karena tingkat stress anda tinggi. Obat anda sudah ada di asisten anda dan semua sudah dibayar olehnya."

Lara mengangguk, "Terima kasih, dokter..."

"Nathan. Nathan Samudra."

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang