2.

6 0 0
                                    

Kriiiing.......!

Suara nyaring jam beker mengiang di sebuah ruangan bernuansa biru putih itu. Jam itu berdering saat menunjukkan pukul lima pagi, hingga sebuah tangan muncul dari balik selimut putih di ranjang sampingnya. Tangan jenjangnya meraba mencoba mematikan jam yang terus berceloteh menyuruhnya bangun.

Berhasil membuat jam itu bungkam, kini tangan itu mulai menyibakkan selimut putih yang menutupi pemilik tangan itu. Hingga menampakkan seorang gadis yang masih terlelap, tapi kesadarannya telah kembali. Perlahan-lahan matanya mulai mengerjap, hingga menampakkan netra coklat kelamnya yang meneduhkan.

Kini ia sudah bangun, dengan wajah khas bangun tidur, gadis itu mulai berjalan menuju kamar mandi dan mulai menjalankan kewajibannya setiap hari.

Dia Raisa, Raisa Medina Raiz, atau dia lebih senang dengan Raisa Raiz. Hanya seorang gadis berusia 16 tahun yang bercita-cita menjadi penulis hebat seperti idolanya. Tinggal sendiri di rumah bergaya minimalis di salah satu perumahan di Jakarta. Ayahnya memiliki perusahaan di Kanada dan ibunya meninggal saat melahirkannya. Inilah sebab mengapa ia bercita-cita menjadi penulis, ia hanya ingin berbagi cerita pada orang lain, tapi ia juga tak terlalu banyak ppercaya dengaan orang asing. Bukan ayahnya tak menyayanginya, tapi ayahnya bilang pergaulan disana tidak baik, maka dari itu Raisa tetap di Indonesia.

Raisa turun ke bawah untuk sarapan, ia memandang prihatin meja makan setiap hari, tak seperti yang diimpikan, ada ayah, ibu, dan saudara. Tapi itu hanya angan-angannya saja, sendiri, itulah yang dirasakan Raisa setiap hari, tapi sepertinya ia sudah terbiasa hidup sendiri. Raisa berjalan menghampiri meja makan dan duduk di salah satu kursi.

"Mbok Yah...! Mas Bayu...!" panggil Raisa.

Kemudia muncul wanita paruh baya dari dapur dengan pakaian biasa dan celemek yang menggantung indah di pinggangnya, tubuhnya agak gempal dengan rambut yang sedikit memutih. Itu mbok Diyah, atau Raisa biasa memanggilnya mbok Yah, ia adalah pembantu di rumah Raisa dan sekaligus pengasuh Raisa dari kecil.

"Ya! Ada apa non?" tanya mbok Yah berdiri di samping kursi Raisa, Raisa hanya menghela nafas panjang.

Kemudian muncul lagi seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahunan datang dari depan dengan seragam hitam khas seorang supir. Dan itu mas Bayu, supir pribadi Raisa yang merangkap menjadi tukang kebun sekaligus di rumah Raisa.

"Ya, non?" tanya mas Bayu.

"Berapa kali sih saya bilang, mbok, mas. Setiap kali saya makan, kalian juga harus makan di meja makan. Saya itu nggak mau makan sendirian!" jelas Raisa.

"Tapi, non. Mbok sama mas Bayu bisa makan di belakang, non"

"Nggak ada tapi-tapian mbok. Sekarang mbok sama mas Bayu duduk terus pimpin doa" perintah Raisa.

"Non, non Raisa dan tuan sudah baik banget sama mbok dan juga mas Bayu, jadi nggak pentes kalo pembantu makan sama majikan" jawab mbok Yah.

"Mbok sama mas Bayu itu udah saya anggap sebagai keluarga saya sendiri, kalian sudah merawat saya dari kecil. Seharusnya saya yang berterima kasih sama kalian" Raisa berhenti sejenak "Yasudah, sekarang mbok sama mas Bayu duduk, terus kita sarapan bareng, nggak ada bantahan lagi!" jelas Raisa. Kemudian mbok Yah dan mas Bayu sarapan bersama dengan Raisa. Inilah yang selalu diinginkan Raisa, sarapan bersama orang yang di sayang. Bersama ayah dan ibu, tapi sepertinya ia harus mengubur impiannya itu dalam-dalam.

***

"Nanti mas Bayu nggak usah jemput, ya. Saya ada urusan sebentar" kata Raisa setelah sampai di depan gerbang sekolahnya.

"Tapi, non. Biar saya anter"

"Nggak usah, mas. Saya cuma sebentar kok"

"Kalau tuan marah saya bisa dipecat, non!" mas Bayu masih berusaha meyakinkan Raisa.

My Famous BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang