Bab 7 - Hujan

20 4 4
                                    

Hujan itu rahmat Allah,
Sebuah butiran air suci yang turun dari langit,
Setiap tetesnya untuk kebaikan hamba-Nya,
Biarlah tetesan air hujan itu menjadi saksi atas doaku,
Menjadi pendengar setiap untaian doaku,
Menjadi pengiring dalam doaku,

Dalam rinai hujan akan ku ingat semua kenangan kita,
kupanjatkan doa untukmu disana,
Berharap angin yang berhembus membawa doa ku sampai padamu,
Berharap angin itu bisa kau rasakan ada doa di dalamnya,

                              °°°°

Malam ini hujan deras mengguyur kota tanpa ampun. Membasahi seisi alam. Hawa dingin menyeruak disekujur tubuh Adam yang bersandar di pagar balkon kamarnya. Adam menghirup udara, menikmati bau khas hujan bercampur dengan tanah. Suasana begitu damai, lengang, sepi, hanya terdengar suara rintikan air yang jatuh ke tanah.

Jika lagi hujan begini Adam teringat Pak Supat, guru IPA, menerangkan bagaimana proses terjadinya hujan.

"Karena terjadi proses pendinginan, uap air akan berubah menjadi titik-titik air. Jika titik air jumlahnya sangat banyak dan cukup berat, maka udara sekitar tidak mampu lagi menahan, sehingga tetes air tersebut akan jatuh sebagai hujan." demikian Pak Supat menjelaskan. Suaranya menggelegar seantero kelas.

Kami para murid mendengarkan dengan tawa tertahan, karena pak  Supat menerangkan dengan semangat di luar batas, bagaikan api yang berkobar dahsyat di hutan berantara. Cara bicaranya pun super cepat, karena otak sudah dipenuhi kalimat-kalimat sedangkan mulutnya yang  berbicara tidak bisa mengejar kalimat yang sudah disiapkan dalam otaknya, akibatnya bicaranya banyak yang salah. Seperti: yang diotak beliau 'awan kumulonimbus', sedangkan kalau diucapkan menjadi 'awan kumunimbus'. Para siswa menjadi tertawa terbahak-bahak akan hal itu.

Dan lebih lucunya lagi, ketika Pak Supat berkata "Seorang pelajar tidak ada yang namanya pelupa," diam dua detik memandang muridnya. "Kalau pelupa itu seperti nenek-nenek. Dan nenek-nenek itu jalannya pelan karena sudah tua, kakinya sakit. Pak Supat nggak suka kalau pelan itu."

"Pak Supat maunya yang cepat." beliau berkata sambil meloncat satu kali. Siswa-siswa yang tadinya diam menjadi tertawa terpingkal-pingkal. Kelas tampak riuh. Namanya saja Pak Supat, singkatan dari super cepat.

Waw, Pak Supat adalah guru yang bisa membuat suasana kelas yang tadinya bosan menjadi menyenangkan. Sangat hebat, bisa diacungi jempol dua. Meskipun beliau umurnya tua, terlihat sekali dari guratan wajahnya yang keriput, rambutnya yang beruban, dan memakai kaca mata. Tapi dengan semangat, hati ikhlas dan tulus, beliau mengajar kami dengan sabar.

Kenapa suasana hujan itu selalu membuat kita mengangan kejadian yang lewat? Pertanyaan itu timbul dalam benak Adam.

Sejak pertemuannya dengan Tia, Adam jadi senyum-senyum sendiri di kamar. Pikirannya masih membayangkan kejadian tadi. Adam mendongakkan kepala menatap langit malam yang hitam pekat. Gumpalan awan hitam tampak seperti monster yang meneggelamkan gemerlapan bintang. Tapi masih ada benda langit yang mampu mengalahkan awan hitam itu dengan gagah berani, yang mampu mampu mengalahkan kegelapan dengan memancarkan cahaya sucinya, yaitu bulan purnama.

Adam memandang bulan itu lekat-lekat. Kemudian bulan itu tiba-tiba berubah menjadi sekelabat bayangan wajah cantik Tia. Wajahnya bulat, rambut sebahu tergerai, matanya lebar, hidungnya minimalis ditambah bibir mungilnya, jika tersenyum terukir lesung pipit dipipinya.

Adam tersadar dari lamunannya, setelah bulan yang ditatapnya dengan intens tiba-tiba menghilang, bersembunyi dibalik pekatnya awan. "Kenapa jadi mikirin Tia, sih?" gumamnya dalam hati.

Adam mendongak lagi dan mendapati bulan purnama itu menyembulkan diri. Mungkin bulan itu takut atau sedang berjuang melawan pekatnya awan. Malam semakin larut membuat dinginnya angin malam tidak bersahabat. Diliriknya arloji di tangan kirinya, pukul 21.50 WIB. Dia beranjak dari balkon, berjalan gontai menuju kamar tidurnya. Direbahkannya tubuhnya di kasur, melepas penat. Matanya menatap langit-langit kamar yang bernuansa biru dongker. Suara iringan musik alam dari rintikan air hujan mengantarkan tidurnya sampai alam bawah sadarnya.

***

Pukul 07.00 WIB, bel masuk sekolah berbunyi nyaring, menggema di udara, menggelegar keseluruh penjuru sekolah, menyelimuti atmosfer sekolah. Gerbang utama sudah ditutup satpam.

Upacara bendera, rutinitas yang dilakukan setiap senin pagi. Seluruh siswa berbondong-bondong menuju lapangan. Terik matahari pagi ini begitu menyengat setelah hujan deras kemarin. Derasnya air hujan masih membekas membasahi lapangan sekolah, membuat genangan air, dan sebagian tanah becek.

Di depan gerbang utama yang ditutup rapat ada seorang siswa perempuan memohon belas kasian pada satpam. Wajahnya dibuat sedramatis mungkin.

"Pak, please tolong dibukain gerbangnya! Hanya telat satu menit saja," pintanya memohon. Wajahnya dipasang memelas sembari kedua telapak tangannya dikatupkan di depan dada.

"Maaf, Nak, Peraturan tidak boleh dilanggar." pak satpam separuh baya, berkata tegas. Mereka memanggilnya dengan sebutan pak Setia. Sesuai dengan namanya, setia dengan peraturan  yang ditetapkan. Tidak ada senyum di wajahnya, raut mukanya dingin, postur tubuhnya tinggi, berpakaian serba hitam, sepatu fantofel yang necis, dan tak lupa dengan topi satpam yang dipakainya setiap hari.

Sebenarnya pak Setia itu baik, berwibawa, walaupun sudah separuh baya tapi masih terlihat cool, dan orangnya juga lucu. Tapi jika menyangkut peraturan sekolah raut mukanya mendadak dingin.

"Tolong negosiasinya, pak!" pintanya lagi memohon.

Terdengar napas terengah-engah dari sampingnya, reflek, dia menoleh dan mendapati sosok Adam. Ketua osis kok telat?

"Tia? Ngapain kamu disini?" Adam bertanya. "Kamu juga telat?"

"Pak, bukain gerbangnya atau saya manjat pagar ini!" suara berat khas Adam seperti mengancam.

"Tunggu disini! Akan saya panggilkan guru piketnya." ujar pak satpam dengan tegas sembari membalikkan badan.

Mereka menatap punggung pak Setia yang semakin lama menghilang. Terdengar sayup-sayup lagu indonesia raya dinyanyikan dari lapangan. Adam mendengus kesal. Untuk kedua kalinya dia terlambat. Setelah ini dia bakal terkena poin lagi.

Dan sialnya guru piket hari senin adalah guru super ketat, dan paling killer. Para siswa memanggil namanya dengan sebutan pak Gufron. "Kalian berdua ikut saya ke ruang BK." demikian ucapnya tanpa basa basi.

Tia berjalan dengan menundukkan kepala takut-takut. Sedangkan Adam terlihat sekali dari raut mukanya, hanya tenang dan pasrah. Kenapa harus pak Gufron, sih? Kenapa nggak guru lain? Hari ini sial banget! Gerutu  Adam dalam hati.

Ingatan Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang