Bab 6 - Api Cemburu

44 4 4
                                    

Manusia hebat adalah manusia yang bisa mengendalikan diri saat dikuasai amarah, apalagi cemburu. Ingatlah Tuhan.
Bagaimana bisa mencintai mahluk-Nya, tapi lupa untuk mencintai sang pencipta?

                               °°°
Minggu pagi yang cerah. Udara sejuk menyapa wajah cantik Tia. Rambutnya hitam legam dibiarkan tergerai sehingga anak rambutnya berterbangan diterpa indahnya angin. Laksana daun-daun mengikuti pergerakan arah angin. Adam duduk disisi kanan Tia yang beralaskan rumput hijau.

Pemandangan didominasi oleh anak-anak kecil bersama dengan orang tuanya. Ya jelas, inikan taman. Banyak permainan untuk anak kecil. Di sini juga tempat yang cocok untuk mengajak pasangan. Sangat romantis.

Tapi, tidak untuk Tia dan Adam. Hari ini mereka diselimuti oleh rasa kehilangan.

"Aku turut berduka cita atas meninggalnya papa kamu," ucap Adam pelan. Dia juga pernah merasakan kehilangan orang yang disayangnya, terlebih lagi keluarganya.

Hening menyelimuti mereka. Tia menunduk diam, tidak menjawab. Tatapan matanya kosong.

"Kematian, jodoh, rezeki, dan takdir itu ada ditangan sang kuasa. Setiap orang memiliki cerita kehidupan yang berbeda. Skenario Allah lebih indah. Kita manusia seperti halnya aktor yang menjalani ceritanya. Manusia bisa berencana, namun Allah yang mengatur kehidupan terbaik untuk hamba-Nya." Adam diam sejenak, memandang birunya langit pagi. "Aku yakin Allah tidak akan memberi cobaan melampaui batas hamba-Nya."

Tia tercengang takjub mendengar kata tadi. Dia belum pernah memikirkan hal itu. Tak disangka Adam memiliki gaya berpikir sebagus itu.

"Sejak kapan papamu meninggal?" tanya Adam lagi seraya menyunggingkan senyum manisnya.

Tia mendongak melihat paras wajah Adam. Garis wajahnya tirus, hidung bangir, bibir tipis, mata yang sipit dengan perpaduan alis tebal, jika tersenyum matanya tampak satu garis, nyaris tidak terlihat kalau ada mata di bawah alisnya. "Tiga tahun yang lalu," jawab Tia. Diam sejenak tiga detik. "Kamu juga kok ada di pemakaman?"

"Kakak aku, kak Angga, dia udah meninggal dua tahun silam. Dua minggu sekali aku berziarah ke makamnya. Dan sekarang aku tinggal sama nenek aku." Adam menjelaskan. Tunggu! Kenapa gue jadi cerita ke Tia?

"Orang tua kamu? Kenapa nggak tinggal sama orang tuamu?" tanya Tia penasaran.

Adam menghela napas panjang. "Papa sama mama udah ce... Cerai." tak sanggup mengucapkannya.

"Kamu yang sabar ya," ucap Tia mencoba menghibur Adam sembari tersenyum tipis. Dari senyum itu tercipta lesung pipit di kedua pipinya.

Subhanallah, sungguh indah senyumanmu Tia. Entah kenapa setiap melihat senyummu itu aku merasakan getaran didadaku. Seolah dunia ini berhenti bergerak.

"Kamu tunggu disini ya... " ucap Adam sembari beranjak dari duduknya. Langkahnya cepat menuj ke tempat yang ingin didatangi.

"Mau kemana?" teriak Tia, berharap suaranya didengar. Adam yang semakin lama semakin jauh dan menghilang ditengah keramaian.

Sekarang Tia sendirian. Matanya memandang salah satu anak kecil yang sedang bermain bersama mama dan papanya. Anak itu tersenyum bahagia. Entah kenapa dia tiba-tiba merasa de javu.

Tiga tahun yang lalu. Momen bahagia menyambut keluarga Tia. Saat itu dia merayakan ulang tahun yang ke 13.

Sudah satu jam Tia dan mamanya menunggu di sebuah restoran dekat kantor papanya. Tapi, papa Tia tak kunjung datang. Di dalam hatinya dia terus merapalkan doa agar acara ulang tahunnya berjalan bahagia sesuai rencana. Namun, tidak untuk hari ini. Allah tidak mengabulkan doa Tia. Allah tidak mendengar doa Tia.

Drrrrttt

Ponsel mama Tia, Elisa berbunyi. Dilayar tertera Nomor tak dikenal. Diangkatnya telpon itu lalu didekatkannya ke telinganya. Setelah beberapa saat ponsel itu terjatuh. Sontak Tia terperanjat. Kebahagiaan yang terpancar di wajah cantik Elisa seketika digantikan oleh rasa cemas, khawatir, dan kesedihan.

Elisa langsung menyambar tangan Tia, langkahnya cepat menuju mobil.

Tidak mengerti, Tia hanya bisa diam. Berbagai pertanyaan berkecamuk Dibenaknya. Ada apa ini? Kenapa dengan papa? Ada masalah apa sebenarnya? Mama mau kemana? Semua pertanyaan itu ingin dia ajukan ke mamanya. Tapi, melihat mama menyetir mobil dengan raut muka panik Tia jadi tidak ingin mengganggu konsentrasi mama. Mulutnya membuka lalu menutup lagi, temggorokannya tercekat. Ditelannya kembali pertanyaan itu bersamaan dengan salivanya. Membiarkan pertanyaan itu terjawab oleh waktu.

***

Sebuah tepukan pelan mendarat di bahu kirinya. Sontak Tia terlonjak dan mendapati pemuda mata sipit itu sudah ada di sampingnya.

"Ngelamun apa? Nih buat kamu." Adam menyodorkan es krim coklat dari tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya memegang es krim untuk dirinya.

"Nggak. Makasih.. " tolak Tia. Dia tidak selera karena mood nya lagi buruk.

"Gue pernah baca artikel kalau rasa coklat itu bisa buat hormon endorfin meningkat loh," katanya, diam sejenak melahap es krimnya sendiri. "Kalau hormon endorfin meningkat mood kamu menjadi lebih baik, mumpung belum meleleh nih, mau?" sodornya lagi.

Tia diam, hanya bergeming. Seketika rasa dingin menyentuh dipipi kirinya. Dengan sengaja Adam mendaratkan es krim itu. Tia menoleh.

"Ups, maaf. Sengaja," Adam terkekeh pelan.

"Nggak lucu tau," kesal Tia dengan raut mukanya kesal. Bibir mungilnya mengerucut, membuat Adam tertawa pelan.

"Ambil nih es krimnya. Purlu gue suapin?"

Mata Tia membelalak mendengar tawaran Adam. Dipandangnya wajah Adam dengan rasa jijik. Terpaksa Tia mengambil es krim rasa coklat itu. Sebenarnya dia suka sekali, tapi dia lagi tidak selera sekarang.

Mereka tampak menikmati es krim itu. Tenggelam dalam situasi kesenangan. Tanpa sadar ada api cemburu yang timbul dari seorang gadis yang duduk di kursi panjang taman tak jauh dari mereka. Cemburu bagai api yang membakar pohon-pohon di hutan dalam sekejap. Hangus tanpa sisa, membekas menjadi abu. Abu itu berterbangan, melayang di hati gadis itu. Sakit yang dia rasakan.

"Ada bekas es krim dipipi kamu," Adam memberitahu sembari menunjuk pipi kanannya sendiri.

Tia mencoba membersihkan dengan tangan, tapi tangannya yang kotor membuat bekas es krim di pipinya semakin belepotan. Sontak Adam membantu membersihkan bekas es krim di pipi Tia dengan jempol ibu jarinya. Untuk pertama kalinya Adam menyentuh wajah mulus Tia. Mendadak suasana menjadi canggung.

Sementara seorang gadis yang duduk di kursi panjang taman mengamati mereka intens. Sorot matanya menyala, jari tangannya mengepal sampai membuat buku-buku kukunya memutih, wajah cantiknya berubah seperti monster, api cemburu berkobar dahsyat.

Maaf jika ceritanya kurang menarik & berbelit-belit, yg pasti saya akan berusaha sebaik mungkin.
Jangan lupa beri komentar buat bab ini, buat semangat ngelanjutin bab selanjutnya😊....

Ingatan Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang