[2] Hilangnya Bala Bantuan

45 7 0
                                    

Author POV

"Iya ma, nanti aku telfon Tante Tia. Dea matiin dulu ya teleponnya, ini mau berangkat ke kampus." Ucap Dea mengakhiri panggilan dengan sang Ibundanya.

Dea beranjak pergi meninggalkan rumahnya. Hari ini ia akan kembali beraktifitas di kampusnya setelah cukup lama mengambil cuti. Biasanya jika Dea tidak terburu-buru berangkat ke kampus, ia akan naik Bus Trans Jakarta, tetapi jika ia buru-buru maka ia memilih untuk mengendarai motornya sendiri.

Menjadi mahasiswi jurusan psikologi adalah impian Dea sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Mimpi Dea sebenarnya sangat sederhana. Ia ingin menjadi seorang psikologi untuk membantu orang-orang di sekelilingnya yang mengalami masalah akan kejiwaannya maupun masalah berat dalam hidup. Dea ingin merangkul mereka, memberi mereka perhatian, dan menyembuhkan agar mereka tidak merasa sendiri, agar mereka tidak merasa diasingkan.

"Lo udah ngampus lagi? Kok semalam nggak bilang ke gue kalau hari ini udah kuliah lagi? Kan gue bias jemput lo tadi." ucap Yoga saat menemui Dea di Kafe Senja.

"Gue nggak mau ngerepotin lo Yog" ucap Dea seraya mengaduk-aduk minumannya, "Gimana kerjaan lo Yog? Ada kendala? Kemarin waktu makan malam kan kita belum sempat bicara banyak." Dea melanjutkan ucapannya.

"Semuanya baik-baik aja, no problem" jawab Yoga pada Dea yang hanya dibalas dengan anggukan kepala oleh Dea dan entah mengapa tiba-tiba suasana menjadi hening, tak ada yang membuka suara baik Dea maupun Yoga.

"Hmm, De, lo mau nggak jadi model gue? Ada lomba fotografi dan gue butuh seorang model" ucap Yoga memecah keheningan.

"Hah?" ucap Dea memelototi Yoga "Eh em, model? Lo nggak salah Yog? Lo tau kan gue itu orangnya paling mati gaya kalau udah didepan kamera, udah kaya manekin tau nggak, nanti malah hasil foto lo jadi jelek Yog."

Sedari kecil, Dea memang tidak suka jika difoto. Ia lebih suka untuk menjadi tukang foto saja daripada harus menjadi objek dalam sebuah foto, apalagi harus berpose layaknya seorang model.

"Ckckck, Dea, makanya kalau ada orang ngomong itu didengerin dulu sampai selesai" Yoga berdecak heran mendengar celotehan Dea.

"Maksud gue, lo itu jadi model bukan kaya model-model umum gitu, yang pose-pose gitu. Nggak lah, lagian gue juga tau lo mana bisa berpose layaknya seorang model, lagian nanti lo juga gue foto ngga sendiri, tapi bareng-bareng sama anak Panti Asuhan Harapan Ibu." ucap Yoga memperjelas perkataannya.

Dea menghembuskan nafas lega saat mendengarkan penjelasan Yoga. Ia kira ia akan menjadi model seperti pada umumnya, berpose ini itu yang baru Dea bayangkan saja sudah membuatnya mati gaya .

"Yaudah kalau gitu gue balik ke tempat kerja ya, nanti kalau lo udah kelar urusan kampus telfon gue aja, biar gue jemput, bye De" ucap Yoga seraya mengusap puncak kepala Dea dan tersenyum manis padanya.

"Tumben manis." Dea berucap dalam hatinya lalu menyunggingkan senyumnya sembari menatap kepergian Yoga dari Kafe Senja.

**

Brak!

Suara gaduh itu berasal dari dalam rumah Langit. Langit yang masih berada di luar rumahnya untuk memarkirkan motor seketika membulatkan matanya penuh amarah kemudian segera berlari ke dalam.

"Pokonya saya gak mau tau, minggu depan hutang-hutang kamu harus lunas!" itu suara yang pertama kali Langit dengar saat masuk ke dalam rumahnya. Ia mendapati tantenya sedang menangis ketika para rentenir bank mengacak-acak rumahnya.

"Hey! Saya sudah bilang berapa kali bahwa saya yang akan membayar hutangnya, jangan apa-apakan tante saya, dia tidak ada hubungannya dengan ini semua!" ucap Langit sedikit emosi kepada para rentenir yang sudah mengacak-acak rumahnya.

Langit HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang