#1

596 14 0
                                    

"Mami ingin kamu cepat-cepat menikah, Ve."

Lagi-lagi kalimat yang sama, batinku jengah. Rasanya telingaku sudah kebal mendengar kalimat semacam itu sehingga ketika Mami mengulangnya lagi, sama sekali tidak berpengaruh pada suasana hatiku. Bahkan selera makanku masih tetap bagus sampai detik ini. Buktinya aku terus menyuapkan ujung sendok ke dalam mulutku.

Mas Aksa--kakak kandungku satu-satunya--hanya menatapku dengan penuh pengharapan. Tanpa mengatakan sesuatupun, aku sudah bisa membaca seluruh isi pikirannya. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu jelas-jelas mendukung Mami sepenuhnya. Sementara Mbak Shella--istri Mas Aksa--terdiam menikmati makan malamnya dan terlihat enggan terlibat dalam percakapan kami. Ia-lah satu-satunya orang paling netral yang tinggal di rumah ini. Mbak Shella tidak pernah mencampuri urusan orang lain. Setahuku begitu.

"Mami ingin mengenalkan kamu dengan putra teman Mami."

Kalimat ini masih sangat baru dan belum pernah kudengar sebelumnya. Tiap akhir pekan saat aku pulang mengunjungi rumah, Mami selalu mengatakan kalau ia ingin aku segera menikah secepatnya. Tapi, kali ini Mami ingin mengenalkanku dengan seseorang, putra temannya. Sebuah perkembangan baru yang cukup mengusik telinga dan aku membenci kalimat itu.

"Mami ingin menjodohkanku?" tanyaku meminta kejelasan. Padahal sudah jelas maksud Mami seperti itu, hanya saja aku sedikit meragukan keputusan Mami.

"Iya, Ve." Mami menatapku lurus.

"Mi." Aku meletakkan sendok dan garpu di atas piring. Meski masih tersisa beberapa suap nasi di sana, tapi selera makanku sudah terlanjur hilang mendengar jawaban tegas Mami. "sekarang bukan zaman Siti Nurbaya lagi, Mi. Perjodohan sudah nggak relevan lagi di zaman digital seperti sekarang," kilahku sengit.

"Mami tahu," tukas Mami cepat. Ia ikut-ikutan meletakkan peralatan makannya seperti yang kulakukan. Wanita itu menatapku dengan tajam.

"Lalu?" Aku balik menimpal. "Mami takut aku nggak laku? Begitu?"

"Bukan seperti itu, Ve."

Aku menyandarkan punggung dan melenguh. "Lalu?" pancingku dengan nada kesal.

"Umur kamu hampir 30, Sayang," tandas Mami.

"Aku tahu," tukasku cepat. Aku juga tahu jika Mami selalu menyebutku dengan panggilan Sayang hanya jika ada maunya.

"Dengar Mami dulu, Ve." Mami menukas kembali dan terlihat sekali jika ia tidak suka dibantah. Sementara Mas Aksa dan Mbak Shella sudah menyelesaikan makan malam mereka lalu ikut mengarahkan perhatian padaku. "Mami hanya ingin kamu berkenalan dengan putra teman Mami, itu saja. Masalah jodoh atau nggak, itu urusan nanti. Tapi Mami mohon sekali ini saja kamu mau menuruti permintaan Mami. Ya?"

Aku memutar bola mata ke atas, menunjukkan betapa jengahnya diriku. Ini disebut apa? Memalukan? Memilukan? Yang pasti ini membuatku ingin mengeluarkan kembali nasi yang sudah kutelan beberapa menit yang lalu. Sumpah, aku tidak mau masuk dalam kategori wanita yang dijodohkan di zaman digital seperti sekarang.

"Ve." Akhirnya Mas Aksa mengeluarkan suara juga. Ia seperti ingin menyadarkanku dari kebisuan panjang yang kuciptakan. "Mami cuma minta kamu berkenalan, bukan minta kamu menikah," ucapnya.

"Tapi ujung-ujungnya Mami pasti menyuruhku untuk menikah, Mas," tukasku kesal. Yakinlah, jika itu hanya modus Mami belaka. Sebuah perkenalan yang sudah direncanakan semacam ini pasti akan bermuara ke sana, kan? Perkenalan hanyalah sebuah basa-basi menuju ke jenjang pernikahan. Perjodohan!

"Ve!" Mas Aksa menaikkan level suaranya. Sepasang matanya melotot ke arahku. Ya, sebuah amarah tersimpan di sana.

"Aku benar kan?" debatku juga dengan nada yang merangkak naik. Salah Mas Aksa yang sudah memancingku untuk sedikit berteriak di depan Mami dan Mbak Shella.

"Mas minta dengan sangat tolong sedikit hargai Mami," ujarnya dengan merendahkan suara. Andai saja ia masih berkata dengan tingkat nada tinggi, sudah pasti akan terjadi peperangan di meja makan malam ini. "Mami melakukan semua ini demi kamu. Karena Mami sangat menyayangi kamu, Ve. Mami ingin kamu bahagia, kamu mengerti?"

"Aku tahu, Mas. Tapi apa harus dengan cara seperti ini?" Aku menatap ke arah semua orang yang hadir di meja makan. Mencari perhatian dan sedikit simpati dari mereka.

Mas Aksa mendesah berat. Sikapnya malah membuatku ragu kalau ia punya jawaban untuk mendebat kalimatku.

"Mami hanya minta kamu bertemu Reynand, itu saja, Ve." Mami menyela sebelum aku atau Mas Aksa melanjutkan perdebatan yang sudah kusulut beberapa detik lalu.

"Oh, jadi namanya Reynand?" desisku pelan. Senyum getir langsung terukir di bibirku. Seperti apa orang bernama Reynand itu sampai-sampai Mami dan Mas Aksa ngotot ingin mengenalkan aku padanya? Dia bukan anak presiden, kan?

"Dia baik, Ve. Mami sudah beberapa kali bertemu dengannya. Dan Mami rasa dia cocok buat kamu," ucap Mami setengah berpromosi.

"Nggak ada salahnya kamu bertemu dengannya, Ve." Mas Aksa ikut menimpal. "Siapa tahu kamu menyukainya nanti."

"Aku belum ingin menikah, Mi." Aku menatap lurus ke wajah Mami, meminta perhatiannya dengan sangat. "Maksudku, bukan dalam waktu dekat ini. Mungkin beberapa tahun lagi."

"Beberapa tahun itu kapan?" tukas Mami tak sabar. "Mami takut nggak bisa melihat kamu menikah, Ve. Nggak ada yang tahu soal umur, kan?"

"Mi!" seruku tanpa sadar. Aku hanya menatap wanita itu tanpa kata-kata dan segera menarik kedua tanganku dari atas meja yang mendadak gemetar ke pangkuan. Kenapa mesti membahas soal itu? Aku tahu jika semua yang bernyawa pasti akan mati, tapi sungguh aku benci dengan kalimat yang baru saja disampaikan Mami. Kepergian Papi saja sudah membuatku sangat terluka dan masih menyisakan bekas sampai sekarang. Awal usia remajaku hanya berisi lembaran-lembaran kelabu setelah Papi meninggal dan aku benar-benar benci saat seseorang menyinggung soal kematian. Tidak terkecuali Mami.

"Mau ke mana, Ve?" tegur Mas Aksa saat aku bangkit dari tempat dudukku.

"Ke kamar. Aku capek, Mas," tandasku datar.

"Tapi kita belum selesai bicara, Ve... "

"Apalagi yang mesti dibicarakan, Mas?" tanyaku malas. Suara berisik Mas Aksa memaksa langkahku terhenti sesaat.

"Veradita Amara!"

Aku mendengus cukup keras mendengar Mas Aksa meneriakkan sebaris nama panjangku.

"Mami belum selesai bicara... "

"Sudahlah Aksa. Kita bisa bicara lain kali... "

Aku mengayunkan langkah begitu Mami mencegah Mas Aksa untuk menahanku agar tetap tinggal di tempat dudukku. Mereka memang keluargaku, bagian dari hidupku, darah dagingku. Tapi haruskah mereka melakukan ini padaku? Mencampuri urusan pribadiku seolah aku sebuah boneka yang bisa mereka perlakukan semaunya? Tidak. Aku tidak suka mereka melakukan itu padaku. Hidupku adalah milikku dan aku berhak menentukan pilihan sendiri.

Aku sedikit menyesal pulang ke rumah akhir pekan kali ini. Dan tiba-tiba aku sangat merindukan apartemen mungilku beserta kesunyiannya. Tanpa suara Mas Aksa yang selalu meningkat ketika aku mulai bertingkah menyebalkan dan tidak ada perdebatan sekecil apapun di sana.

***

WHEN WE'RE TOGETHER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang