#19

144 3 0
                                    

"Ve! Jogging bareng yuk!"

Rasanya sudah lebih dari sebelas kali aku mendengar suara itu. Kalimat dan intonasi yang sama. Dibarengi dengan ketukan pintu pula. Membuat lubang telingaku gatal. Padahal aku sudah menutup kepalaku dengan sebuah bantal, tapi anehnya suara berisik itu tetap saja bisa ditangkap oleh indra pendengaranku.

"Veradita Amara!"

Aish! Bahkan ia menyerupai Mas Aksa saat menyebut nama panjangku. Membuatku ingin sekali melempar high heels ke wajah laki-laki menyebalkan itu. Aku ingat, kemarin aku menanggalkan sepasang sepatu hak tinggiku di dekat kaki tempat tidur.

Percuma. Toh, aku tidak bisa melanjutkan tidur lagi.

"Apa?" Akhirnya aku membuka pintu kamar dengan sangat terpaksa setelah beberapa menit berlalu. Dengan sepasang mata setengah terbuka, aku melihat laki-laki itu berdiri di depan pintu kamar lengkap dengan kostum joggingnya. "Kalau mau jogging, pergi saja. Aku ngantuk," celutukku sebelum Reynand mengeluarkan sepatah kata.

"Aku mau jogging bareng kamu, Ve. Hari ini kamu libur kan?"

"Ya," jawabku pendek. "tapi, aku masih ngantuk dan ingin melanjutkan tidur. Lagipula ini masih jam enam, Rey."

"Justru pagi-pagi seperti ini udaranya masih segar, Ve. Bebas polusi," cetus Reynand tak kekurangan alasan. "Olahraga bagus untuk tubuh kamu, Ve."

"Kamu duluan saja. Nanti aku menyusul... " Dalam kondisi yang seperti ini--membuka mata lebar-lebar saja sangat sulit kulakukan--aku tidak akan bisa mengimbangi kalimat Reynand. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk saling melempar argumen.

"Kalau aku pergi duluan, kamu nggak akan menyusul, Ve." Dengan gerakan cepat, tanganku sudah berada dalam genggaman Reynand. Laki-laki itu berhasil menahan pergerakan tubuhku. Ia bereaksi cepat sebelum aku kabur dari hadapannya. "Kamu ganti baju dulu, gih. Aku tunggu di depan, oke?"

Hah? Apa aku tidak salah dengar? Reynand baru saja memaksaku agar mau jogging bersamanya? Pendekatan yang ia lakukan cukup keras, ya?

"Jangan lama-lama, Ve!"

Aku terperangah menatap Reynand yang sudah memutar punggungnya dan sedang berjalan ke ruang tamu. Secara tidak langsung aku bisa menangkap bahasa tubuhnya yang seolah berkata, aku nggak suka penolakan, Ve.

Agh! Laki-laki itu bisa membuatku gila!

Setelah berkutat di dalam kamar mandi dan berganti pakaian, beberapa menit kemudian aku keluar. Sungguh, aku melakukan ini bukan karena suka. Melainkan terpaksa.

"Sudah siap?" tegur Reynand begitu melihatku muncul di hadapannya. Laki-laki itu menatapku dari atas sampai ke bawah, seolah baru saja melihat makhluk jadi-jadian. Tentu saja ia tidak akan menemukan Ve dalam balutan blazer atau ditopang sepasang high heels merah jambu yang membuat tubuhku beberapa centi lebih tinggi. Ve yang sekarang berdiri di hadapannya hanyalah seorang wanita biasa dalam balutan kaus dan celana training, lengkap dengan sepatu olahraga--sepatu itu aku beli bersama Bianca saat ada diskon besar buy one get one di salah satu mal beberapa tahun silam dan aku hanya memakainya sekali-- tanpa sapuan make up, dan belum mandi. Aku hanya mencuci muka dan menyemprotkan minyak wangi sekadarnya ke tubuhku.

"Pakai ini," suruhku sembari mengulurkan sebuah topi bisbol berwarna putih polos ke tangan Reynand. Sebenarnya topi itu milik Mas Aksa yang ketinggalan di apartemenku dan sekarang sudah sah menjadi kepunyaanku. Mas Aksa sudah membeli topi yang baru.

"Kenapa nggak kamu saja yang pakai?" tanya Reynand tak langsung memungut topi pemberianku.

"Aku nggak mau pas kita jogging nanti ada orang yang datang terus minta foto bareng kamu. Paham?" Aku mendelik tajam ke arah Reynand dan menemukan sesuatu yang lain terlukis di wajahnya. Pemandangan menyebalkan itu tampak lagi. Duh, kenapa bulu-bulu kasar itu begitu cepat tumbuh di area dagu Reynand? Sumpah, aku tidak pernah tahu berapa hari sekali seorang laki-laki harus bercukur.

"Oh." Reynand manggut-manggut. Tapi, laki-laki itu tidak serta merta mengambil topi dari tanganku. Ia membiarkan benda itu mengambang di udara sementara waktu. "Kamu sebel atau cemburu?" Si bodoh menyebalkan itu malah balas mendelik ke arahku. Berlagak menemukan sesuatu yang tidak beres untuk dicurigai di wajahku.

"Apa?! Enak saja kalau ngomong," sengitku tidak terima. "Cepat pakai atau aku batal ikut jogging," ancamku serius.

"Oke." Laki-laki itu menyambar topi bisbol milikku dan langsung memakainya. Ia lumayan keren saat memakainya. Aku bukan sedang memuji. Itu hanya penilaian dari sudut pandang fashion.

"Kita hanya akan jogging di sekitar komplek, kan?" Aku mengekor langkah Reynand yang sedang bergerak keluar rumah. Dan laki-laki itu hanya menjawab dengan satu anggukan kepala saja.

"Kamu mau kita pergi ke car free day?" tanya Reynand yang tiba-tiba memutar tubuhnya. Membuat jidatku hampir saja membentur dada bidang Reynand. Untung saja sepatuku berhenti di saat yang tepat. "Kita bisa pergi ke sana kalau kamu mau," tawarnya.

"No!" teriakku spontan. Di sana ada lebih banyak kerumunan manusia dan jika dihitung secara matematis kemungkinan Reynand akan dikenali sangat besar. Aku benci membayangkan saat Reynand terlihat sibuk saat gadis-gadis penggila bola meminta fotonya. Tidak! "Kita jogging keliling komplek saja," usulku tetap pada rencana awal. Lagipula jogging di sekitar komplek tidak akan butuh waktu lama. Jadi, aku bisa melanjutkan tidur setelah acara jogging selesai.

"Kenapa? Di sana lebih ramai, Ve. Kita bisa sekalian jalan-jalan... "

"Nggak," potongku cepat. Justru aku menghindari keramaian demi menyelamatkan dirinya dari para penggemar yang akan meminta foto bareng. "kita keliling komplek saja," putusku.

"Oke."

***

WHEN WE'RE TOGETHER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang