#3

227 11 1
                                    

"Mas Aksa?"

Laki-laki itu menoleh dan mengukir sebuah senyum tipis di bibirnya. "Kamu sudah bangun?" tegurnya seraya menutup pintu kulkas.

Aku mengangguk pelan dan berjalan ke arah meja makan. "Kapan datang?" tanyaku berbasa-basi.

"Sejam yang lalu. Tapi kamu tidur dan Mas nggak mau mengganggu," jelasnya seraya meletakkan sebuah botol minuman isotonik ke hadapanku. "Kamu kecapekan lagi?" Laki-laki itu mengambil tempat duduk persis di depanku.

Aku enggan menjawab dan memutuskan meneguk isi botol minuman yang baru saja Mas Aksa berikan. Laki-laki itu sudah sering keluar masuk apartemenku dan tak jarang ia menemukanku tertidur di sofa dengan pakaian kerja yang masih melekat di tubuhku. Sejujurnya aku menelan sebutir obat sakit kepala sesaat setelah sampai di apartemen tadi.

"Kamu sudah makan?" tegurnya kembali. Mengisi keheningan di dalam apartemenku. Seolah tidak pernah ada perdebatan di antara kami semalam.

"Belum," sahutku singkat. Perutku terisi makanan terakhir kali siang tadi saat bersama Bianca.

"Mas beli martabak telur buat kamu," ucapnya seraya membuka sebuah kotak kertas di atas meja dan aku sudah melihatnya tadi.

Apa ia sedang ingin berbaikan denganku? Atau Mas Aksa ingin melunakkan hatiku dengan cara membelikan makanan favoritku?

Mas Aksa mengambil sebuah piring kosong lengkap dengan sendok dan garpu lalu mengisinya dengan beberapa iris martabak telur.

"Makanlah," suruhnya.

"Kenapa Mas ke sini?" tanyaku tanpa basa basi. Untuk sementara aku bisa mengabaikan martabak telur favoritku.

"Mas hanya ingin melihat keadaanmu."

"Mas nggak disuruh Mami untuk membujukku, kan?" tanyaku curiga. Aku menatapnya penuh dengan tuduhan.

"Apa Mas tampak seperti disuruh Mami?" tanya Mas Aksa balik. "Mas sudah sering ke sini untuk melihat keadaan kamu, kan?"

Ya, laki-laki itu benar. Mas Aksa sudah terlalu sering menyambangi apartemenku seperti rumah sendiri. Ia tahu kombinasi angka kunci apartemen, lagipula aku membeli tempat ini juga menggunakan uang Mas Aksa. Aku tahu ia sangat menyayangiku dan selalu memanjakanku sejak kecil, tapi ia adalah pendukung Mami. Mana mungkin aku bisa mempercayainya begitu saja.

Aku mulai melahap martabak telur di depanku tanpa berniat menanggapi kalimat Mas Aksa.

"Akhir minggu ini keluarga Reynand akan datang berkunjung ke rumah," beritahu Mas Aksa sekitar 10 menit kemudian. Setelah ia dengan begitu sabar menungguku menghabiskan isi piring di depanku.

Mas Aksa berhasil membuatku mengangkat dagu. Jadi, ini maksud kedatangannya? Bahkan ia rela merendahkan suara hanya untuk memaksaku pulang demi menyambut kedatangan keluarga Reynand. Lucu sekali.

"Aku nggak pernah bilang menyetujui perjodohan ini," tandasku datar. Sengaja bermaksud mengecewakan Mas Aksa. Aku meletakkan peralatan makanku lalu meneguk minuman isotonikku.

"Ve... "

"Mas." Aku memotong lebih cepat dari yang ia perkirakan. "Aku sudah pernah bilang kan, kalau aku belum ingin menikah sekarang. Bukan berarti aku nggak ingin menikah. Aku akan menikah suatu saat nanti. Tapi, dengan pilihanku sendiri."

"Mas mengerti," sahut Mas Aksa beberapa detik kemudian. Ia seperti membiarkan ada rentang jarak di antara percakapan kami. "Dengar Ve, selama ini Mas selalu memanjakanmu, memberi apapun yang kamu butuhkan. Tapi, nggak selamanya Mas bisa menjaga kamu. Sebentar lagi Mas punya bayi dan Mas nggak bisa selalu memperhatikanmu. Mas hanya ingin ada seseorang yang menjagamu," ujarnya.

"Aku bisa menjaga diri sendiri, Mas."

"Itu hal yang berbeda, Ve. Mas tahu kamu sangat mandiri, bisa menjaga diri sendiri, karena itulah Mas membiarkanmu tinggal di apartemen sendirian. Karena Mas percaya dengan kemandirian kamu. Tapi menikah dan mempunyai pasangan itu sangat berbeda. Ada seseorang di samping kamu saat kamu sedih, berbagi bahagia, dan kamu punya seseorang untuk diajak bicara. Dan Mas nggak bisa melakukan semua itu untuk kamu. Mas mohon mengertilah... "

Aku menghela napas kuat-kuat. Rasanya rongga dadaku penuh dengan beban berat yang tak terlihat dan satu helaan napas tidak akan sanggup mengosongkan ruangan itu.

"Kami sangat menyayangi kamu, Ve," ucap Mas Aksa sejurus kemudian. "kami hanya ingin melihat kamu bahagia dan ada seseorang yang bisa menjaga kamu sepenuh jiwanya. Ada seseorang yang mencintai kamu seperti kami mencintai kamu... "

"Mas," Aku bangun dari tempat dudukku. "apa Mas pikir aku nggak bahagia sekarang ini? Kenapa sih, kalian ingin sekali aku menikah dengan laki-laki itu? Kalian takut aku jadi perawan tua, begitu?" Nada suaraku sudah meningkat drastis ketimbang sebelumnya. Darah di dalam tubuhku perlahan-lahan mengalir ke kepala.

"Ve!" Mas Aksa ikut bangkit dari tempat duduknya. "Mami memilih Reynand karena Mami tahu dia baik dan pantas buat kamu. Mami nggak mungkin memilihkan calon suami sembarangan untuk putrinya, kamu tahu itu?"

Aku menelan ludah. Ya, dan kata-kata Mas Aksa seolah ingin mengingatkan jika pilihanku selama ini salah. Ke-lima mantan pacarku semuanya brengsek dan tidak pernah ada yang serius dengan hubungan kami. Singkatnya tidak ada satupun dari mereka yang ingin menjalani hidup berdua denganku. Mereka semua meninggalkanku begitu saja tanpa perasaan bersalah. Dan semenjak itu penilaianku pada laki-laki cenderung menjadi negatif beberapa tahun belakangan. Aku sama sekali tidak tertarik untuk mencari pasangan hidup dan lebih memilih menikmati kehidupanku sekarang. Menjadi wanita mandiri dan bebas.

"Ve," Mas Aksa berjalan mendekat dan meletakkan tangan kanannya di atas bahuku. "se-nggaknya kamu pulang dan bertemu dengan mereka. Sekali ini saja, Ve. Lagipula semuanya tergantung Reynand. Kalau dia nggak berkenan dengan perjodohan ini, maka nggak akan ada pernikahan," ucapnya dengan pelan. Laki-laki itu sudah berusaha dengan sangat keras untuk melakukan pembicaraan ini denganku.

"Tapi Mas... " Suaraku tersendat ketika Mas Aksa menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Sebuah cara ampuh untuk membungkam mulutku tanpa perdebatan yang menguras emosi. Sudah tak terhitung berapa kali Mas Aksa melakukan hal yang sama guna meredakan gejolak amarahku.

Mas Aksa mengusap kepalaku dengan lembut. Sementara aku sudah larut dalam kehangatan dada bidang Mas Aksa dan disanalah dulu aku selalu menumpahkan seluruh air mata kesedihan. Juga saat Papi meninggal. Mas Aksa tak pernah melepaskan pelukannya padaku sampai aku terlelap karena terlalu lelah menangis.

"Sekali ini saja jangan mengecewakan Mas."

***

WHEN WE'RE TOGETHER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang