#28

126 5 0
                                    

Nyatanya Galih tidak ada di sana petang ini. Tempat itu sepi tanpa seorang penjahatpun dan aku celingak celinguk seperti orang idiot yang minta ditodong. Laki-laki itu menghilang kembali persis seperti yang dilakukannya dulu. Mungkin ia malu bertemu denganku atau tidak tega untuk merampokku. Hanya Tuhan dan Galih saja yang tahu kenapa ia tidak muncul di perempatan lampu merah itu.

Aku melempar tas dan melepas high heels dari kakiku begitu saja dan membiarkan barang-barang itu berserakan di lantai ketika tiba di rumah. Pikiranku penuh dengan lamunan tentang Galih, juga kalimat-kalimat Bianca tadi siang. Aku masih belum sepenuhnya menerima saran wanita itu meski jauh di dalam hatiku membenarkan ucapan Bianca. Bahwa Galih bukanlah orang baik-baik dan tidak selayaknya ia mendapat begitu banyak cinta dariku. Sekali lagi ia pernah berselingkuh dan orang seperti itu apa pantas untuk dicintai. Arggh... Sayangnya aku seorang idiot yang masih menyisakan sedikit perasaan untuk orang semacam itu.

"Ve!"

Ya, ampun! Kenapa teriakan itu mesti terdengar sekarang di saat aku ingin menenangkan diri?

Tiba-tiba Reynand menyeruak masuk ke dalam kamarku tanpa permisi atau mengetuk pintu sekalipun. Ia bisa membuatku paranoid karena tingkahnya yang ceroboh itu. Untung saja aku masih berpakaian lengkap ketika laki-laki itu menghampiri tempat tidur.

"Ada apa? Memangnya kamu nggak bisa mengetuk pintu dulu sebelum masuk? Bagaimana kalau aku kena serangan jantung, hah?" Aku bangun dari tempat tidur dan langsung menghardiknya dengan ketus.

"Sorry, tapi ini penting," ucapnya tanpa menampilkan rasa bersalah di wajahnya. "Tadi Mas Aksa menelepon kamu, tapi nggak kamu angkat. Jadi, Mas Aksa menghubungiku. Mbak Shella masuk rumah sakit, Ve," tutur laki-laki itu seketika meredakan segenap kemarahan yang mulai menyebar di dalam rongga dadaku. Aku bahkan belum menjenguk ponsel sejak keluar dari kantor.

"Mbak Shella? Kenapa?" cecarku panik.

"Kata Mas Aksa, air ketuban Mbak Shella pecah dan dia terpaksa harus dioperasi. Tapi, dia bilang nggak usah khawatir karena operasinya berjalan dengan lancar dan Mbak Shella baik-baik saja... "

"Lalu bayinya?" timpalku tidak sabar.

"Bayinya prematur dan harus masuk inkubator... "

"Aku akan ke rumah sakit," ucapku sembari tergesa mencari ceceran sepatu hak tinggi yang beberapa menit lalu kulepas.

"Kita bareng ke sana, Ve."

Aku menatap laki-laki itu sebentar. Ya, Reynand memang harus ikut bersamaku ke rumah sakit. Kalau aku pergi sendiri, apa kata Mas Aksa dan Mami nanti?

"Oke."

Tak banyak yang kami perbincangkan dalam perjalanan menuju rumah sakit dimana Mbak Shella dan bayinya dirawat. Konsentrasiku kerap pecah saat mobil yang kami tumpangi berhenti atau melewati perempatan lampu merah. Separuh pikiranku jatuh pada Mbak Shella dan setengahnya lagi sedang sibuk mencari keberadaan Galih. Bisa saja ia muncul di salah satu perempatan lampu merah yang kami lewati, kan? Hidup selalu tidak terduga.

Tapi, tetap saja hasilnya nihil. Mataku tak berhasil menangkap bayangan Galih diantara kegelapan malam. Ia seolah tahu jika aku sedang menelusuri keberadaannya. Mungkin ia tidak ingin ditemukan olehku. Entahlah.

Kami sampai di rumah sakit sekitar sejam kemudian. Aku memeluk tubuh Mami kemudian Mas Aksa. Kakak kandungku itu terlihat baik-baik saja dan menampilkan mental luar bisa tegar. Mbak Shella juga terlihat baik meski tampak agak pucat dan lemah. Dan kami memutuskan untuk bicara di luar kamar agar Mbak Shella bisa leluasa beristirahat.

"Harusnya Mas Aksa memberitahuku sejak awal soal kondisi Mbak Shella," keluhku kesal. Aku duduk di sebelah Mas Aksa sementara Reynand berdiri tak jauh dari kami. Sedang Mami tampaknya tidak mau jauh-jauh dari Mbak Shella. Wanita itu sangat mengkhawatirkan keadaan menantunya.

"Maafkan Mas, Ve. Semalam kami terlalu panik dan nggak enak kalau mengganggu kalian. Tapi, sekarang sudah baik-baik saja, kan? Jadi, kamu nggak usah khawatir," ujar Mas Aksa seraya menyentuh punggung tanganku. "Keponakanmu perempuan, kamu senang, kan?"

Aku tersenyum kecil mendengar kalimat Mas Aksa. Rasanya menyenangkan ada seorang putri kecil yang memanggilku dengan sebutan tante. Aku pasti akan mengurangi pengeluaran pribadi demi malaikat kecil Mas Aksa. Aku ingin sekali membelikannya banyak hadiah saat ia keluar dari rumah sakit nanti. Tapi, untuk beberapa hari ini kami belum boleh menjenguknya.

"Mas berharap kalian akan segera menyusul," ujar Mas Aksa menghentikan lamunanku.

"Menyusul apa?" Dengan kening berkerut dan tampang polos aku bertanya pada Mas Aksa.

"Menyusul punya momongan-lah, memangnya apalagi?"

Aku mendengus sebal. Harusnya Mas Aksa ingat pada kondisi Mbak Shella dan bayinya sebelum memutuskan untuk meledekku.

"Iya, Mas. Doakan saja." Si bodoh Reynand menyahut disertai seulas senyum tipis menghias wajahnya. Menyebalkan! Harusnya aku menyuruh laki-laki itu bercukur sebelum pergi ke rumah sakit!

Aku hanya bisa melotot ke arah Reynand tanpa bisa melempar argumen apapun. Tidak untuk saat ini. Tapi, aku akan mengajaknya perang nanti setiba di rumah.

"Aku lapar," ucapku sesaat kemudian. Untuk mengalihkan percakapan konyol itu secepatnya. Lagipula faktanya perutku memang lapar.

"Ya, sudah kalian cari makan saja dulu. Oh, ya, Rey. Setelah makan ajak Ve pulang. Kasihan dia, pasti capek sepulang kerja," ucap Mas Aksa menyuruh Reynand seraya menepuk pundak laki-laki itu.

"Tapi Mas... "

"Nggak apa-apa, Ve. Besok kamu bisa ke sini lagi, kan?" Sepertinya Mas Aksa ingin mengusirku jauh-jauh dari tempat ini.

"Ya, sudah Mas. Kami pergi dulu," pamit Reynand sembari menyalami tangan kakak iparnya. Sok sopan!

"Hati-hati nyetirnya, Rey."

"Siap, Mas!"

Huh!

Melihat kekompakan kedua laki-laki itu membuat suasana hatiku menjadi buruk. Aku tahu mereka mulai akrab sebelum ini, tapi kedekatan mereka membuatku sebal.

***

WHEN WE'RE TOGETHER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang