Kasih Ayahku

492 0 0
                                    

Ayahku bernama Sibero dan ibuku bernama Ernawati . Dua orang ini yang sangat aku sayangi di duni ini . Ayahku adalah pahlawan keluarga ku . ayahku adalah tulang punggung keluarga kami yang kami sayangi . Berperan menjadi seorang ayah dan seorang ibu bukanlah hal yang mudah . Harus mengurus rumah,mengurus keperluan anak, dan juga pekerjaan di kantor . Beruntunglah kita yang masih mempunyai orang tua yang lengkap. Lain nyatanya dengan temanku, Rina. Dia adalah seorang gadis yang cantik dan pendiam . Sayangnya ibunya meninggal setelah melahirkan adiknya . Aku menulis cerita ini terinspirasi darinya . Aku mulai berteman dengannya sejak masuk sma . Dia Termasuk orang yang cuek ketika kita belum mengenalnya . Tapi ternyata dia adalah gadis yang baik dan ramah setelah lebih dalam berkenalan dengannya .
Suatu hari dia menceritakan tentang kehidupannya kepadaku. Karena ia tidak percaya jika cerita dengan oranglain .

Diawali dengan kepergian ibunya. Sedih bukan main kita harus menerima kenyataan dia lebih dulu tiada. Rasanya hati ini telah hancur tak berbentuk lagi . Namun dia sadar , dia masih memiliki malaikat kecil buah hati bersamanya yang harus ia jaga . Gadis , malaikat kecil yang menguatkan Rani, dia yang memberikan cahaya kehidupan untuk tetap berjuang. Dan Gadis, wanita satu satunya dia cintai saat ini setelah ibunya telah tiada. Rani mulai bercerita dengan tentang
Langit diluar rasanya masih terlihat gelap,belum ada sinar yang biasanya menyapaku setiap paginya. Aku tidak tau apa dia sedang bersembunyi atau memang cuaca sedang mendung , ku pandandi langit dari jendela ruang tamu sambilmenunggu temanku datang menjeputku pagi ini untuk berangkat ke sekolah .
“Gadis”suara lantang yang terdengar dari dapur .
“Iya Nek ada apa ?”jawabku sambil berjalan menghampirinya .
“Hari ini ayahmu datang nak , semalam dia telpon tapi kamu sudah tidur “jelasnya kepadaku sambil mengaduk-aduk nasi yang sedang di kukusan .
“Hah, nenek serius? Ini belum waktunya lebaran atau tahun baru kan . Kenapa ayah datang lebih awal
nek?” tanyaku dengan penuh semangat. Rasanya hari ini aku ingin membolos saja, agar bisa cepat-cepat bertemu dengan ayah .
“Saat libur tahun baru nanti, ayahmu akan bertugas ke sorong selama 4 bulan . jadi dia mengambilnya sekarang . Walau sebentar katanya yang penting bisa ketemu kamu “.
Entah harus merasa sedih atau senang aku mendengarnya. Aku sangat senang ketika dia bisa datang lebih cepat. Namun, aku juga sedih ketika dia harus bertugas ke Sorong. Rasanya, Tuhan telah memberiku jarak yang begitu jauh antara aku dan Ayah. Rasanya aku ingin sekali ikut bersama Ayah tinggal di Bogor, ikut dia kerja di Jakarta ataupun di Sorong. Yang kuinginkan hanya ingin tetap tinggal dekat bersamanya, agar aku bisa merasakan bahagianya hidup bersama ayahku sendiri.
Siang ini, ketika Ayah sudah ada di rumah. Aku memberanikan diri meminta izin kepadanya untuk menginap di sekolah selama satu malam.

“Yah, besok aku ada perkemahan di sekolah. Jadi nanti sore aku  akan berangkat ke sekolah lagi untuk menginap”kataku kepadanya yang saat itu sedang duduk menonton tv.
“Ngapain?”singkatnya begitu dia menjawab.
“Itu acara pengukuhan anggota baru paskibraka. Ini pertama kalinya aku ikut acara pengukuhan untuk anggota yang baru dan terakhir kalinya aku ikut. Tahun depan kan aku  udah lulus, Yah”jelasku kepada Ayah agar ia mengizinkanku  untuk pergi nanti sore.
“Engga usah, dirumah aja”jawabnya pelan tak melirikku sedikit pun.
“Apaan sih! ini nggak boleh, itu nggak boleh. Terus aja nggak boleh, semuanya nggak boleh. Aku bukan anak kecil lagi Yah”tanpa sadar, aku menjawab denga nada tinggi. Lalu, kutinggalkan saja dia yang sedang menoton dan aku pergi masuk kamar.
Aku menangis hingga tersengguk-sengguk karena merasa semua yang aku inginkan dilarang. Terkadang, aku merasa selalu diawasi ketika Ayah sedang datang kerumah Nenek. Seakan-akan semua kegiatan di sekolah yang ku lakukan itu tidak boleh. Ketika di luar rumah aku harus saja menghubunginya memberi kabar setiap saat. Rasanya membosankan,  seolah-olah aku masih anak kecil yang harus selalu diawasi olehnya. Bukannya tak senang ketika Ayah berkunjung. Aku senang Ayah datang karena bisa jalan-jalan bersamanya dan dia bisa mengatarku kesekolah setiap hari, seperti teman-temanku yang lain. Hanya saja terkadang sifatnya yang berlebihan membuatku merasa tidak nyaman.
Terdengar suara pintu kamarku terbuka, aku harap itu Ayah yang datang untuk menenangkanku dan memberiku izin untuk berkemah nanti sore. Kenyataannya bukan dia yang datang. Tapi, seorang wanita cantik yang memakai daster batik dengan rambut dicepol menghampiri tempat tidurku.
“Dis”panggilnya lembut. “Udah nangisnya, kenapa kamu kok malah nangisnya”lanjutnya.
Aku hanya diam tak menjawab sepatah kata pun. Aku hanya mengecilkan suara tangisku agar tak terdengar olehnya dan mengontrol senggukanku saat itu dan memalingkan wajah ke dinding agar tidak menatapnya.
“Sudah bangun”perintahnya dengan lembut. “Nggak usah nangis lagi, kamu udah beres-beres buat sore nanti belum?”tanya Nenek kepadaku sambil mengelus-elus rambutku.
“Belum, aku kan minta izin dulu baru beres-beres Nek”jawabku dengan nada sesengukkan.
“Yasudah, Gadis beres-beres sana”
“Tapi Nek? Ayah kan…” belum sempat aku lanjutkan perkataanku, Nenek menarik lenganku untuk beranjak dari tempat tidur.
Sambil aku mempersiapkan barang-barang keperluanku, Nenek memberiku nasehat. Saat aku menangis tadi, selain karena kesal. Aku juga merasa bersalah karena sudah berbicara dengan nada tinggi kepada Ayah. Saat sorenya aku berangkat kesekolah bersama Ayah. Biasanya sehabis aku menyalimi tangan Ayah, dia membalasnya dengan mencium keningku tapi tidak untuk saat itu. Rasanya sikapnya menjadi dingin karena kejadian tadi siang.
Sudah beberapa hari ini aku tak pernah pergi dan pulang sekolah bersama Ayah. Dio yang selalu menjemputku setiap hari, biasanya kalau Ayah tak ada Dio memang selalu menjemput ke rumah, karena kita bertetangga. Ibunya Dio lah yang selalu menyuruhku berangkat bersamanya.
“Ma, itu siapa yang jemput Gadis, dia udah punya pacar memangnya?” dengan penasaran Ayah bertanya-tanya kepada Nenek, melihat anak gadisnya setiap hari diantar jemput oleh seorang laki-laki.
“Itu Dio, tetangga di belakang rumah. Nggak tau pacaran atau tidak. Dari Gadis kelas satu memang mereka sering bareng kalo kesekolah”
***
Hari ini Ayah pulang ke Bogor, dengan penerbangan Palembang – Jakarta pukul 12.45 wib. Aku merasa sedih dan masih merasa sangat bersalah karena belum minta maaf kepadanya. Padahal hari ini, dia pulang dan tahun depan aku baru bertemu lagi ketika lebaran idul fitri. Dan terlebih lagi dia akan ke Sorong nanti, dan jarak kami pun akan semakin jauh.
“Ayah”panggilku lembut dengan rasa takut-takut. “Gadis minta maaf karena masalah tempo hari, Yah. Maaf karena Gadis berbicara dengan nada tinggi dan sudah membentak Ayah” kataku sambil mengusap air yang jatuh membasahi pipiku.
Ayah langsung menghampiriku dan memelukku begitu erat untuk menenangkanku sejenak agar tidak menangis lagi, pelukkan hangatnya melunturkan prasangka gelisahku. Sambil mengelus-elus kepalaku Ayah berkata “ Maafkan Ayah juga ya Gadis, maaf karena Ayah terlalu melarang Gadis. Maaf karena ke khawatiran Ayah membuat kamu nggak nyaman. Ayah cuma mau ngasih perhatian ke Gadis,tapi maaf kalau cara Ayah salah ya nak”
Tersentak hatiku saat itu, perasaanku mulai tak enak seperti ada seribu panah yang merasuk dalam tubuh ini, rasanya semakin sulit untuk bernapas. Tangisku pun semakin tak bisa mereda saat itu. Aku merasa sangat bersalah kepadanya. Mungkin, karena Ayah dan aku tidak tinggal serumah, Ayah bingung bagaimana menjaga seorang anak yang sudah beranjak remaja. Aku tak bisa menghentikan tangisku dan tak rela melepas pelukannya saat itu. Rasanya aku seperti anak kecil yang cengeng, dan terlihat sangat manja.
***

Tetesan embun masih menempel nyaman diatas kaca jendela pagi ini. Tampaknya sinar yang biasanya menyapa masih bersembunyi dibalik gumpalan kapas dilangit. Udara baru, suasana baru, tempat baru dan baru tengah malam tadi aku sampai di Kota Hujan ini. Sebuah kota yang menyimpan berbagai kenangan ketika aku masih kecil dulu. Dan udaranya yang jarang sekali aku rasakan di Palembang, pagi ini aku merasakannya. Udara dingin dan hembusan angin yang menusuk kulit terkadang membuat tubuh ini butuh kehangatan. Keluar dari kamar terlihat seorang laki-laki berkaos putih sedang membuat dua cangkir coklat hangat di dapur.
“Sudah bangun Dis”sapa pria itu sambil mengaduk-aduk susu coklatnya.
“Sudah daritadi Yah. Cuma tadi aku ngelamun dulu di jendela”jawabku sebari menghampirinya.
“Ini minum, mumpung masih hangat”sambil memberikan secangkir coklat hangat kedapaku.
Laki-laki yang berkaos putih pagi ini, dia adalah Ayahku. Seorang single parents selama 12 tahun terakhir ini , memiliki kulit sawo matang, berhidung mancung, berambut ikal dan tampan. Sosok yang sudah biasa mengurus setiap keperluannya sendiri dan sekarang akan ditambah sibuk dengan mengurus serta mengawasiku setiap harinya. Dan suasana seperti ini adalah yang kutunggu-tunggu  sejak dulu.
Ayah, dia cinta pertamaku ketika aku melihat dunia ini. Dia juga laki-laki yang pertama kali mengajarkan aku cinta pertama. Seseorang yang penjagaannya lebih dari seorang perwira tinggi bahkan seorang Superhero sekalipun. Ayah, memang tidak melahirkanku. Namun, setiap tetesan keringat yang jatuh  dari tubuhnya adalah salah satu bukti pengorbanan dia untukku. Dan bagiku hanya satu Superhero yang di dunia ini, yaitu ayahku.
***
Pagi ini Ayah mengajakku ketempat peristirahatan Ibu, tempat yang terakhir kali aku datangi 7 tahun lalu. Terlihat jelas bahwa dia tak bisa menegarkan dirinya didepanku, dia selalu memalingkan wajahnya agar aku tidak mengetahui bahwa dia menangis. Kepergian ibu mungkin telah meninggalkan kekosongan yang tidak terjelaskan untuk Ayah.
Lalu Rani meneteskan air mata setelah selesai bercerita. Ayahnya sudah seperti ayahku. Dan ibunya sudah seperti ibuku, walalupun aku belum pernah bertemu sebelumnya dengannya. Sungguh aku terbawa dalam suasana. Sangat sedih rasanya jika aku berada diposisinya. Hidup dengan tidak didampingi seorang ibu dari kecil. Aku pun menenangkannya dengan memberikan ia pelukan hangat.
Yaa, baru sebentar kami berteman tapi sudah seperti keluarga.
Memang benar, tidak akan pernah ada orang yang siap menghadapi perpisahan, apalagi perpisahan karena kematian. Termasuk Ayah Rani yang tidak pernah siap untuk kehilangan istrinya sejujurnya. Alm Ibu nya yang sudah memberi banyak arti kehidupan, melukis banyak warna,  dan banyak kenangan untuknya. Mungkin itu alasan hingga sekarang Ayah Rani belum menikah lagi, dia masih belum bisa berpaling dari cinta istrinya. Dulu Ayah Rani pernah meminta izin kepadanya  untuk menikah, namun itu tak pernah terjadi hingga saat ini. Mungkin banyak hal yang dipikirkannya, tapi sulit untuk diungkapkan. Bagi dia dan Rani yang paling tidak tertahankan itu adalah rindu. Ibu, kami mencintaimu, setulus dan sesederhana itu. Semoga kau berbahagia disana bersama penciptamu yang sangat menyayangimu. Do’a kita selalu diam-diam tanpa pernah melemah, begitu pula dengan rindu kami. Semoga nanti kita bisa berkumpul kembali seperti dulu.

Pengalaman TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang