11. Malam dan Alarm

2.4K 258 17
                                    

Suara alarm bersahutan memecah heningnya malam, mengusik jiwa-jiwa yang tertidur. Lelap yang hinggap perlahan meninggalkan tubuh Denis. Ia mengerjap-ngerjapkan mata. Apa yang terjadi?

Satu per sekian detik setelah otaknya menyadari alam sekitar, tubuhnya segera bangkit dari kursi. Sial! Aku tertidur! batin Denis sembari bergegas mengentakkan langkah kaki dengan cepat. Dengan satu lirikan ia bisa menangkap pintu gerbang yang terbuka.

Tak sempat memastikan apakah itu rusak karena dibobol atau memang ia lupa mengunci pintu gerbang, ia terus berlari sambil memaksakan otaknya untuk segera pulih sempurna dari tidur.

Langkahnya terhenti di depan dua buah lorong, berusaha mendeteksi kejanggalan di sekitarnya dengan seksama. Ditajam-tajamkannya kelima panca indera, di antara suara alarm yang tak hentinya berdengung memenuhi gendang telinga. Beberapa detik kemudian, suara benturan benda terdengar dari salah satu lorong, diikuti sebuah bayangan yang berkelebat tepat di arah sumber suara. Suara yang memberinya instruksi ke arah lorong mana ia harus berlari.

Tak lebih dari tujuh puluh langkah, ia menemukan salah satu pintu kaca terbuka lebar. Dilewatinya pintu itu, dinyalakannya lampu ruangan, hingga ia mendapati sebuah 'kapal pecah' dengan ruang-ruang kosong yang ditinggalkan sejumlah perangkat komputer dan laptop yang seingatnya, siang tadi masih ada di sana.

Adrenalinnya semakin terpacu. Ia berlari ke sana kemari, mencari kejanggalan, mencari jejak. Derap langkahnya masih terdengar di antara suara nyaring alarm yang terus bersahutan, memberikan keuntungan bagi siapa saja yang baru saja membuatnya kecolongan. Kenapa satpam harus menggunakan alas kaki bersuara keras sementara maling harus meredam suara langkah kakinya sekecil mungkin? Pantas saja maling selalu berhasil meloloskan diri. Kebiasaan yang tidak adil.

Entah berapa ratus atau mungkin ribu langkah yang ia ambil, pikirannya enggan mengakui bahwa dirinya telah kalah, bahwa orang-orang yang membodohinya di depan hidung itu telah memenangkan perlombaan petak umpet ini.

Sementara itu, hiruk pikuk terjadi di depan gerbang utama. Penduduk sekitar berkumpul seakan suara alarm yang bersahutan adalah panggilan makan malam. Tak lama kemudian, suara sepatu mulai terdengar dari sisi dalam gerbang yang terbuka, diikuti seorang pria yang tampak berlari kepayahan.

Wajah pria itu tampak merah dengan keringat mengucur deras hingga membasahi kerah seragam security-nya. Raut mukanya terlihat panik. Ia perlahan berhenti berlari, lalu tertunduk, bersimpuh memegangi lutut dengan dada naik turun, berusaha mengambil kendali atas napasnya.

Keramaian pun menghampirinya, memberondongnya dengan berbagai pertanyaan, persis seperti wartawan memberondong artis yang baru saja keluar dari sidang perceraian. Pertanyaan-pertanyaan itu hanya berlalu begitu saja di telinga Denis yang masih payah, hingga seseorang yang tampak dituakan di antara keramaian itu menepuk pundaknya.

Denis membalas tepukan itu dengan mengangkat kepala. Wajahnya mengejar tatapan dari sang pria. "Me-mereka lolos."

"Ke mana?"

Denis kembali menundukkan kepala, tanpa lupa memberikan sebuah gelengan kepala sebagai jawaban.

***

Kali ini Denis hanya bisa tertunduk di atas kursi putar yang meskipun didesain senyaman mungkin, tapi tidak cukup untuk memberikan kenyamanan pada hatinya.

Nyalinya ciut, tak mampu mengangkat wajahnya yang terasa seperti badut dengan hidung bulat berwarna merah. Andai ketika itu ia membawa cermin, mungkin ia akan memeriksa wajahnya memastikan bahwa ia tidak benar-benar berubah menjadi badut sirkus.

Berhadapan dengannya, hanya dibatasi oleh sebuah meja kaca, duduk seorang pria tua. Pria tua itu mengetuk-ngetuk meja dengan irama yang tidak berubah sejak sekitar satu menit yang lalu, seakan sengaja memukul-mukul jantung Denis agar mengentak lebih keras dan cepat.

"Ehm, oke. Denis, saya rasa kita sudah tahu kita berada di posisi seperti apa." Akhirnya Norman membuka percakapan pagi itu. "Kamu sudah cukup banyak berulah dan meresahkan di perusahaan ini. Beberapa waktu yang lalu saya masih bersabar dengan tingkah kamu," lanjutnya.

Meskipun tidak menyebutkan secara spesifik, Denis sudah tahu apa yang dimaksud Norman dengan kata 'berulah'. Dalam hati Denis, tentu saja tidak bisa disebutkan sikap sabar ketika atasannya itu tidak bisa memecat anak buahnya yang memimpin aksi mogok karyawan. Denis punya landasan dan dukungan yang terlalu kuat untuk dibantah ketika itu.

Tapi hari ini, di ruangan itu, Denis tidak berdaya. Tak sepatah kata pun yang bisa ia ucapkan sebagai pembelaan diri atas kesalahan yang baru saja ia lakukan tadi malam. Saat ini, ia adalah tikus rumahan yang baru saja terjebak oleh kucing pemilik rumah yang sudah sejak lama mengintainya dari balik lemari.

Kini, salah satu-jika tidak satu-satunya-orang yang berani berdiri tegak dan menatap mata ular yang ada di hadapannya tak lagi mampu mengangkat kepalanya. Ia kalah telak!

Norman menghentikan ketukan tangannya, kemudian menarik badannya ke belakang untuk menyandarkan punggung pada kursi. Pria itu sejenak menghela napas seolah mendramatisasi keadaan.

"Dengar, sebelumnya biar saya luruskan dulu. Di sini, kita tidak memiliki masalah secara pribadi. Saya atasan kamu, dan kamu adalah bawahan saya. Kita bekerja secara profesional. Dan ketika saya harus mengambil tindakan, itu murni masalah profesionalitas."

Hati Denis menggerutu tanpa suara, semua orang di perusahaan tahu ini tidak lepas dari masalah personal. Namun, ia juga tahu hal itu bukan hal tepat untuk diungkapkan, setidaknya dalam situasi yang tengah terjadi di ruangan itu.

Waktu berjalan terasa begitu lambat. Setiap kalimat yang diucapkan Norman mulai dari "Bagaimana kamu bisa ketiduran?" "Bagaimana maling itu bisa lolos?" "Bukankah seharusnya kamu begini dan tidak begitu?" "Tapi kenapa kamu malah ini dan itu?" dan pertanyaan-pertanyaan serta cercaan lainnya lewat begitu saja di telinga Denis. Ia jelas sudah tahu bagaimana pertemuan itu akan berakhir.

Setelah sejumlah basa-basi yang disampaikan Norman, akhirnya mereka sampai pada inti pembicaraan. "... dan, dengan segala rasa hormat, mulai besok kamu tidak usah datang ke kantor lagi. Untuk masalah gaji dan pesangon, kamu tidak usah khawatir. Saya sudah suruh Santi untuk merekap semuanya, dalam waktu maksimal tiga hari ke depan, semuanya sudah masuk rekening kamu."

Meskipun telah bisa menebak dari awal, dada Denis tetap saja sesak mendengar perkataan itu. Tentu saja, ia belum tahu harus kemana mencari pekerjaan baru. Ijazah, usia, modal apalagi yang bisa ia andalkan? Jika bukan karena seseorang di masa lalunya yang merekomendasikan ia ke tempat ini, hari ini mungkin ia masih pengangguran.

"Ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Norman.

"Tidak, Pak. Terima kasih." Denis hanya bisa berucap pahit.

Norman kemudian menyodorkan tangannya kepada Denis, pertemuan itu pun berakhir. Ditutup oleh sebuah jabatan yang entah bisa dikatakan penghormatan atau ejekan.

Denis berlalu meninggalkan ruangan dengan tertunduk lesu, mengecap pahit yang tiba-tiba hinggap di lidahnya tanpa sebab. Langkahnya gontai tak bertenaga, pikirannya mengawang, sesak di dadanya semakin menjadi, tak tahu harus membawa kata apa untuk diucapkan sebagai oleh-oleh untuk istri dan putri semata wayangnya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Hola, kasihan Denis, jadi pengangguran lagi.

Btw di atas ada sedikit clue tentang salah satu rahasia di cerita ini, kalian nyadar apa enggak? Yang nyadar dikasih makasih. 😂

Btw(part 2) surat balasan Risma di part selanjutnya aja ya. 😅

Maaf kalo part ini agak biasa aja. Kasih kritik saran dong ya 😁

As always, jangan lupa ninggalin jejak 👣

Btw(part 3) sekarang saya bisa nyisipin emoji. 😎

*gapenting 😂😂

See ya

"Does God Really Exist?"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang