6. Anterograde Amnesia

3.9K 345 46
                                    

Mey hanya terduduk di depan mejanya yang menghadap langsung ke arah cermin. Sebuah buku terbuka pasrah di atas meja itu, menanti goresan pena yang sejak tadi tak menyentuhnya. Tak ada suara ketika ia mengetuk-ngetukkan ujung pena di atas meja. Namun, bukan berarti mereka tak mengeluarkan bunyi. Hanya saja, bunyi mereka tak cukup untuk bisa menginterupsi otak Mey yang hanya terfokus pada refleksi dirinya.

Mey kembali menatap bukunya.

Kamis, 15 Maret 2018, tertulis di awal halaman, menandakan tulisan itu baru ditulis kemarin. Ia merunut setiap catatan yang tertulis penuh coretan, kemudian ...

Laci 1, catatan makhluk misterius

Laci 2, catatan mimpi

Pencarian belum berakhir, tertulis di akhir halaman.

Ia menghentikan perselingkuhan antara meja dengan pena yang digenggamnya, kemudian mengembalikan sang pena kepada kekasih sejatinya yang sejak tadi menanti untuk melepas rindu. Namun, sang pena masih enggan bercinta. Ia hanya terbujur kaku di atas kertas putih yang telah ternoda tinta.

Di samping buku itu, terdapat sebuah buku lain, buku cetak yang di sampulnya tertulis, Kumpulan Puisi by Maylene. Kumpulan puisi ibunya yang merupakan seorang pecinta sastra.


Mey mengerutkan kening, lalu kembali menatap cermin.

Kenapa ada cermin di sini?

“Bi! Bi Cicih!” Mey berteriak memanggil pembantunya tanpa mengalihkan pandangan dari cermin.

“Iya, Neng.”

Untung saja Bi Cicih tak sedang jauh dari kamarnya ketika ia memanggil, sehingga ia tak perlu repot-repot mencari perempuan itu ke seluruh pelosok rumah yang nyaris sebesar istana kerajaan Inggris. Tak lama kemudian orang yang ia panggil muncul dari balik pintu kamar. “Ada apa, Neng?”

“Apa meja ini memang selalu di sini?” Mey bertanya.

“Iya, Neng. Dari kemarin memang di sana, kok,”  jawab Bi Cicih. Tidak, Neng. Saya memindahkannya kemarin dari balkon.

Dahi Mey mengkerut, kemudian ia memutar tubuhnya tanpa beranjak dari kursi. “Kalau begitu, tolong bantu pindahkan ke balkon.”

Bi Cicih menarik napas.

“Kenapa, Bi? Aku ngerasa aneh berpikir di depan cermin. Rasanya nggak biasa.”

Wanita setengah baya dengan perawakan gemuk dan rambut diikat ala ibu-ibu rumah tangga itu melangkah menghampiri Mey, kemudian ia duduk di lantai tepat di samping kursinya. “Neng, Nyonya bilang, Neng jangan begini terus.” Bi Cicih menatap majikan kesayangannya nanar. “Kita ... kita semua nerima Neng Mey apa adanya,” lanjutnya.

Mey sejenak menatap Bi Cicih lamat, kemudian ia bangkit dari kursinya. “Aku butuh dunia, Bi. Dan dunia gak bisa menerimaku seperti ini,” ucapnya, “k-kalo Bibi gak mau bantu, aku ... b-bisa s-sendiri,” lanjutnya susah payah sambil mengangkat meja.

Nanar di mata Bi Cicih masih enggan berpaling dari tubuh Mey yang kepayahan. Ia tahu betul mekipun meja itu tak terlalu besar, tapi dengan bahan kayu jati yang padat, kekuatan tubuh Mey yang tipis dan ringkih tidak akan cukup kuat untuk mengangkatnya sendirian.

Mey nyaris saja terjatuh saking kerepotan, sebelum Bi Cicih dengan sigap menahan sisi seberang meja. Mey memandang Bi Cicih di tengah keterkejutan.

Bi Cicih membalasnya dengan sebuah senyuman. “Ayo, Bibi bantu.”

“Makasih, Bi,” balas Mey diiringi senyum tipis.

Bagi Bi Cicih, senyuman itu terasa pahit. Ia mulai kembali mengenang ketika ia masih mengasuh Mey di masa kanak-kanak.

"Does God Really Exist?"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang